TABLOIDBINTANG.COM - Di sebuah ruang yang dibatasi tembok tinggi dan pintu besi, pagi itu terasa berbeda. Bukan sunyi yang mendominasi, melainkan senyum, tawa kecil, dan mata yang berbinar.
Hari Ibu tahun ini dirayakan dengan cara yang sederhana namun sarat makna di Lapas Wanita Kelas IIA Tangerang.
Wanita Filantropi Indonesia (WFI) hadir membawa pesan lembut bertajuk “Ibu, Cahaya Tanpa Batas”, sebuah pengingat bahwa kasih seorang ibu, dan kasih antarsesama, tidak pernah kehilangan maknanya, bahkan dalam keterbatasan ruang dan waktu.
Dipimpin oleh Jesmawati Tanjung, S.E., M.I.Kom, atau yang akrab disapa Uni Jes, WFI merayakan Hari Ibu bukan sekadar dengan seremoni, melainkan dengan kehadiran yang penuh empati.
Bagi WFI, setiap perempuan tetap layak dirangkul, didengarkan, dan dikuatkan—di mana pun mereka berada.
Perayaan ini menghadirkan dr. H. Boyke Dian Nugraha yang berbagi edukasi seputar kesehatan reproduksi perempuan.
Di tengah suasana yang hangat dan terbuka, para warga binaan menyimak dengan penuh perhatian, menyerap pengetahuan yang tak hanya relevan hari ini, tetapi juga penting untuk kehidupan mereka kelak.
Sesi ini dipandu dengan akrab oleh Selvi Kitty, penyanyi sekaligus anggota WFI, yang menjembatani dialog dengan empati dan kehangatan.
200 Bingkisan
Bagi Salis Farida Fitriani, Kepala Lapas Wanita Kelas IIA Tangerang, edukasi semacam ini adalah kebutuhan mendasar. Bukan hanya soal kesehatan fisik, tetapi juga tentang pemahaman diri dan penghargaan terhadap tubuh perempuan.
Tak hanya edukasi, momen Hari Ibu semakin terasa melalui penyerahan bingkisan kepada 200 warga binaan. Sebuah gestur sederhana, namun sarat makna, bahwa mereka tidak dilupakan.
Suasana semakin hidup ketika karya-karya warga binaan ditampilkan lewat tarian, pertunjukan seni, dan fashion show kerajinan tangan.
Di atas panggung kecil itu, kreativitas menemukan ruangnya. Percaya diri tumbuh, dan harapan kembali disemai.
“Kami ingin setiap perempuan merasa dihargai dan berharga,” ujar Uni Jes. “Di mana pun mereka berada, mereka tetap pantas mendapatkan perhatian, edukasi, dan kasih sayang.”
Hari itu, yang tersisa bukan hanya rangkaian acara, melainkan perasaan hangat yang tinggal lebih lama. Sebuah perayaan Hari Ibu yang mungkin tak mewah, namun penuh makna—tentang cahaya yang tak pernah padam, bahkan di balik tembok lapas.



