Harga emas dunia kembali mencetak rekor dan memberi angin segar bagi saham-saham emiten tambang emas di Bursa Efek Indonesia. Lonjakan harga logam mulia yang menguat tajam secara tahunan mendorong reli saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT J Resources Asia Pasific Tbk (PSAB), hingga PT Archi Indonesia Tbk (ARCI) dalam sepekan terakhir.
Namun di tengah tren positif tersebut, pasar dihadapkan pada dua agenda kebijakan pemerintah yang berpotensi memengaruhi kinerja emiten tambang, yakni rencana pengenaan bea keluar 15% untuk komoditas emas serta percepatan proyek hilirisasi melalui gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME). Kebijakan ini memunculkan pertanyaan baru bagi pelaku pasar seberapa besar tekanan yang akan dirasakan emiten emas, dan apakah sentimen global masih cukup kuat untuk meredam dampaknya?
Sejumlah analis menilai prospek saham emas tetap relatif defensif dibandingkan komoditas lain, terutama batu bara. Tingginya harga emas dinilai masih mampu menjaga margin emiten, meski ruang keuntungan bisa tergerus kebijakan fiskal baru. Dengan kombinasi sentimen global dan domestik tersebut, investor kini mulai mencermati kembali saham ANTM, PSAB, dan ARCI untuk menilai mana yang paling menarik dikoleksi jelang tahun depan.
Merujuk laman Gold Price, harga emas spot mengalami penguatan 3,37% atau ke level US$ 4.486 per troy ounce atau setara dengan Rp 75,24 juta dengan asumsi kurs Jisdor Rp 16.773. Secara tahunan atau year on year, harga emas spot telah melonjak 65,93%.
Hingga akhir tahun ini, Pengamat Pasar Komoditas Ibrahim Assuaibi mengatakan harga emas diproyeksikan masih akan menguat ke level 4.550. “Saat ini emas dunia sudah menyentuh level US$ 4.497. Ada kemungkinan sampai akhir tahun ke level 4.550,” kata Ibrahim dalam keterangannya dikutip Selasa (23/12)
Selama satu pekan terakhir, harga saham-saham emas mengalami penguatan. Misalnya harga saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) naik 7,41% ke level 3.190, PT Merdeka Gold Resources Tbk (EMAS) melompat 8,41% ke level 5.800 dan PT Archi Indonesia Tbk (ARCI) melonjak 7,19% ke level 1.710.
Kemudian PT J Resources Asia Pasific Tbk (PSAB) tumbuh 3,57% ke level 580 dan PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) naik 3,51% atau 40 poin ke level 1.175.
Kinerja saham emiten tambang emas diproyeksikan tetap solid pada tahun depan, walaupun pemerintah mewacanakan pengenaan bea keluar sebesar 15% terhadap komoditas emas. Hingga perdagangan hari ini, harga saham emiten emas masih tetap melaju seiring naiknya harga logam mulia ini secara global.
Pengamat pasar modal Reydi Octa menilai kebijakan bea keluar 15% terhadap komoditas batu bara dan emas berpotensi menjadi sentimen negatif bagi pasar. Namun, khusus untuk sektor emas, dampaknya diperkirakan terbatas seiring harga emas dunia yang terus mencetak rekor sepanjang tahun ini.
“Untuk sektor emas cenderung lebih stabil karena harga emas masih diproyeksikan tetap tinggi,” ujar Reydi kepada Katadata, Selasa (23/12).
Menurut dia, selama harga emas bertahan di level tinggi pada tahun depan, margin keuntungan perusahaan tambang emas akan relatif aman. Kondisi ini membuat tekanan dari kebijakan bea keluar tidak terlalu memengaruhi kinerja keuangan emiten emas.
Berbeda halnya dengan sektor batu bara. Reydi menilai bea keluar 15% berpotensi menekan margin laba emiten batu bara akibat meningkatnya biaya. Meski demikian, kinerja keuangan sektor ini diperkirakan masih mencatatkan laba.
“Dividen mungkin akan berkurang, tetapi tetap ada,” kata dia.
Selain rencana bea keluar, pemerintah juga menyiapkan kebijakan hilirisasi melalui gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) yang dinilai dapat memberikan sentimen positif secara tidak langsung terhadap pasar, termasuk saham tambang emas.
Head of Research Korea Investment and Sekuritas Indonesia Muhammad Wafi menyebut proyek DME memiliki sejumlah keuntungan, antara lain kepastian serapan pasar domestik serta insentif pajak dan royalti. Namun, proyek tersebut juga memiliki tantangan besar, terutama dari sisi kebutuhan belanja modal atau capital expenditure (capex) yang tinggi serta risiko keekonomian. Harga jual DME, kata dia, harus bersaing dengan LPG bersubsidi.
Bagi emiten emas seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Merdeka Gold Resources Tbk (EMAS), kebijakan gasifikasi batu bara tidak memberikan dampak langsung terhadap kinerja bisnis. Namun secara makroekonomi, keberhasilan proyek DME dinilai berpotensi memperbaiki neraca perdagangan dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
“Kalau untuk emas tidak ada kaitan langsung. Tetapi emiten emas yang memiliki lini bisnis energi terintegrasi bisa melihat peluang efisiensi energi ke depan,” ujar Wafi.
Ia menambahkan, kebijakan hilirisasi tetap berpeluang memberikan manfaat tidak langsung melalui stabilitas pasar domestik. Pemerintah juga dinilai berpotensi memberikan fleksibilitas kuota domestic market obligation (DMO) bagi perusahaan yang mendukung agenda hilirisasi.



