Penyitaan Agunan Tak Jelas, Biaya Kredit Terancam Naik

wartaekonomi.co.id
5 jam lalu
Cover Berita
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketidakpastian mekanisme penyitaan agunan dinilai berpotensi meningkatkan biaya kredit di sektor jasa keuangan, terutama bagi pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) skala kecil seperti koperasi dan bank perkreditan rakyat (BPR). Kondisi ini dinilai memperbesar risiko penagihan kredit dan berdampak langsung pada perhitungan bunga serta biaya pembiayaan bagi konsumen.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai hingga kini belum terdapat mekanisme penyitaan agunan yang tegas, terstruktur, dan memberikan kepastian hukum ketika debitur mengalami keterlambatan pembayaran.

Huda menjelaskan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui POJK 22/2023 memang telah mengatur tata cara penagihan kredit, namun regulasi tersebut belum secara rinci mengatur prosedur penyitaan agunan. Akibatnya, masih terdapat celah ketidakpastian hukum dalam proses pengambilalihan aset yang diagunkan.

“Jika telat bayar, harus ada mekanisme sendiri terkait penyitaan aset PUJK yang diagunkan,” ujar Huda, dalam keterangannya kepada Warta Ekonomi, Selasa (23/12/2025).

Baca Juga: Polemik Pelarangan Debt Collector di Sektor Keuangan

Menurutnya, ketiadaan mekanisme penyitaan yang jelas membuat PUJK menghadapi risiko gagal tagih yang lebih tinggi. Risiko tersebut pada akhirnya dimasukkan dalam perhitungan harga kredit, baik dalam bentuk bunga yang lebih tinggi maupun tambahan biaya lain, sehingga berdampak langsung pada konsumen.

Selain itu, Huda menilai ketidakpastian ini juga membuka ruang bagi munculnya praktik penagihan informal yang berpotensi meresahkan masyarakat. Ia menekankan bahwa proses penyitaan seharusnya dilakukan melalui jalur hukum yang kuat dan transparan.

“Harusnya melalui proses persidangan perdata yang kuat jika telat bayar dan harus ada penyitaan,” katanya.

Baca Juga: Awas! Wacana Penghapusan Debt Collector Bisa Bikin Kredit Macet Membengkak

Dalam praktik di lapangan, Huda mencatat masih sering terjadi pengambilalihan aset tanpa dokumen resmi dan tanpa pendampingan aparat penegak hukum (APH). Situasi tersebut tidak hanya memicu konflik antara debitur dan kreditur, tetapi juga meningkatkan risiko hukum bagi PUJK yang melakukan penagihan.

Ia menambahkan, kejelasan aturan penyitaan agunan akan membantu menciptakan keseimbangan antara perlindungan konsumen dan kepastian usaha bagi lembaga keuangan. Tanpa kepastian tersebut, PUJK cenderung bersikap lebih konservatif dalam menyalurkan kredit.

“Tanpa kejelasan, lembaga keuangan akan memperketat kredit atau menaikkan biaya sebagai kompensasi risiko,” ujarnya.

Lebih jauh, Huda menilai kepastian mekanisme penyitaan bukan semata persoalan penagihan, melainkan bagian dari upaya menjaga efisiensi sistem pembiayaan secara keseluruhan. Ketidakpastian hukum dinilai berpotensi meningkatkan biaya ekonomi akibat sengketa kredit dan praktik penagihan yang tidak terstandar.

Dalam konteks tersebut, ia menekankan pentingnya peran regulator untuk memperjelas prosedur penyitaan agunan agar risiko kredit dapat dikelola secara lebih efisien dan berkeadilan, baik bagi konsumen maupun pelaku usaha jasa keuangan.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Ramalan Karier Shio 24 Desember 2025: Peruntungan Tikus, Kelinci, Monyet, Ayam, Anjing, hingga Babi
• 12 jam lalutvonenews.com
thumb
Ketum PP Muhammadiyah Kenang Ustaz Jazir Jogokariyan, Teladan Penggerak Masjid dan Dakwah Umat
• 10 jam lalusuara.com
thumb
Cilegon Raih Predikat Sangat Tanggap Narkoba, Perda P4GNPN Resmi Disahkan
• 6 jam lalurealita.co
thumb
Savyavasa Bukan Sekadar Hunian Mewah, Teguh Ostenrik Menyulapnya Jadi Karya Seni Hidup
• 13 jam lalutabloidbintang.com
thumb
Menkomdigi Meutya Hafid Raih Wonder Mom Awards 2025, Sebut Era Digital Beri Ruang Inklusif bagi Perempuan
• 23 jam laluwartaekonomi.co.id
Berhasil disimpan.