Pemerintah meminta lebih banyak para pelaku industri yang menjalankan tata kelola lingkungan, termasuk soal pengelolaan limbah. Selain itu, industri juga perlu meningkatkan keikutsertaan dalam program Extended Producer Responsibility (EPR).
Program EPR merupakan atau kebijakan lingkungan yang mengharuskan produsen/perusahaan bertanggung jawab atas seluruh siklus produk yang mereka distribusikan, mulai dari tahap desain hingga akhir masa pakainya, termasuk pengumpulan dan daur ulang limbah.
Deputi Bidang Pangan, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Leonardo A. A. Teguh Sambodo, mengatakan tanpa perubahan kebijakan yang mendasar, Indonesia akan menghadapi krisis sampah dalam waktu relatif dekat. Bappenas memproyeksi, timbunan sampah domestik bisa mencapai lebih dari 82 juta ton per tahun pada 2045 jika pola pengelolaan saat ini tidak berubah.
"Sejak tahun 2019 baru sekitar 26 produsen saja yang sudah menyerahkan peta jalan EPR mereka. Ada kesenjangan nyata antara ambisi yang ditetapkan pemerintah melalui regulasi dan realitas dari kesiapan industri. Sehingga kita mungkin akan bertanya dan juga ini akan didiskusikan pada siang hari ini, mengapa industri kita 80-74 persennya masih ragu menerapkan EPR," ungkap Leonardo di acara AH Connect Antara, di Antara Heritage Center, Jakarta, Selasa (23/12).
Leonardo menilai kondisi tersebut mencerminkan masih lemahnya kesiapan ekosistem industri dalam menjalankan EPR, yang seharusnya menjadi instrumen utama dalam mendorong ekonomi sirkular. Kata dia, tanpa intervensi kebijakan yang kuat, pemerintah memperkirakan tempat pemrosesan akhir (TPA) di berbagai daerah berpotensi penuh total pada 2028.
Dalam kerangka tersebut, EPR diposisikan bukan sekadar kebijakan lingkungan, melainkan kebijakan transformasi industri. Melalui EPR, menurut dia, tanggung jawab pengelolaan pascakonsumsi digeser dari pemerintah kepada produsen, seiring dengan kontrol produsen terhadap desain dan material produk.
"Semua kondisi ini menunjukkan bahwa ruang perbaikan kita masih luas. Indonesia perlu memperkuat mekanisme penegakan hukum dan pada saat yang sama melaksanakan pemberian insentif bagi industri yang sudah mulai langkah sirkular. Di sini lah harmonisasi regulasi menjadi kunci," lanjut dia.
Bappenas mengidentifikasi tiga hambatan utama, yakni tumpang tindih regulasi, dominasi pelaku usaha skala kecil dan mikro dengan biaya kepatuhan tinggi, serta ketergantungan pada jenis material tertentu yang membuat industri daur ulang domestik belum stabil dan standar kualitas belum seragam.
Sementara itu, Kepala Pusat Industri Hijau di Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Apit Pria Nugraha, menyebut kesiapan industri terhadap EPR sifatnya variatif, tergantung pada skala usaha dan kompleksitas rantai pasok.
"Kemarin ada konsen juga masalah registry. Tapi pada dasarnya nanti kita akan bicarakan, baik itu dengan pelaku industri, dengan asosiasi, dengan semua pihak-pihak IT," jelas Apit dalam kesempatan yang sama.
Industri besar, khususnya sektor makanan dan minuman, kata Apit, dinilai relatif lebih siap. Sementara pelaku usaha kecil dan menengah masih membutuhkan kepastian hukum, penyederhanaan tata kelola, dan insentif.
"Jadi tidak ada satu kebijakan yang bisa menyelesaikan semuanya, ini harus harmonis. Dan sekali lagi tadi kalau menjawab kesiapan industri, saya rasa itu relatif terhadap industri yang mana dulu," sambung dia.


/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fimages%2F2025%2F12%2F23%2F68f80d433bd0ee5cb9731e7c1f88c286-IMG_20251222_094543.jpg)


