Proses pemulihan pascabencana hidrometeorologi di Sumatera membutuhkan hunian sementara atau huntara untuk para penyintas. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, merancang huntara yang dapat dikerjakan sendiri oleh warga secara cepat dan murah dengan memanfaatkan kayu gelondongan yang terbawa banjir bandang.
Berdasarkan data geoportal Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang diakses pada Selasa (23/12/2025), total jumlah rumah rusak berat akibat bencana di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mencapai 47.141 unit. Adapun jumlah pengungsi mencapai lebih dari 450.000 jiwa.
Karena itu, huntara menjadi salah satu kebutuhan penting bagi para penyintas bencana saat ini. Huntara akan membantu para penyintas dalam jangka menengah sambil menunggu hunian tetap (huntap) bisa terbangun. Pembangunan huntap tentu membutuhkan waktu yang tak sebentar.
Huntara juga diperlukan agar penyintas tak terus menerus hidup di tenda pengungsian komunal yang kondisinya serba terbatas dan bersifat darurat. Dari sisi psikologis, ini dapat pula membantu proses pemulihan penyintas.
Tim pakar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) pun merancang huntara yang memenuhi kebutuhan tersebut. Huntara ini dapat dibangun secara mandiri oleh warga dengan mudah, murah, dan cepat.
“Prinsipnya, orang yang tidak memiliki keterampilan pertukangan sekalipun bisa melakukannya,” ujar Koordinator Kelompok Kerja Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Bencana Hidrometeorologi Sumatera UGM Ashar Saputra, Selasa (23/12/2025), di Kampus UGM, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.
Ashar, yang juga memimpin tim perancangan huntara itu, mengatakan, material utama huntara menggunakan kayu-kayu gelondongan yang terbawa banjir bandang beberapa waktu lalu. Selain untuk menekan biaya, ini sekaligus menjadi solusi bagi sampah kayu yang jumlahnya melimpah pascabencana tersebut.
“Ketika huntara nantinya sudah tidak diperlukan lagi, bahan-bahan organik itu tak menimbulkan masalah baru bagi lingkungan,” ujar dosen teknik sipil itu.
Jenis kayu yang dapat dipakai pun bisa bermacam-macam, termasuk kayu kualitas rendah seperti sengon atau kelapa. Menurut kajian tim UGM, huntara dengan struktur kayu ini dapat bertahan selama 3-5 tahun sehingga cukup memadai hingga hunian tetap terbangun nanti.
Ashar menjelaskan, kayu-kayu gelondongan itu dirajang menjadi papan berukuran tebal 3 sentimeter (cm) dan lebar 12 cm. “Adapun panjang kayu disesuaikan dengan potongan yang tersedia saja,” katanya.
Untuk struktur yang membutuhkan kekuatan topang seperti tiang atau kolom, tiga lapis papan disatukan dengan dibaut. Adapun untuk struktur seperti kuda-kuda atau balok, dua lapis papan disatukan dan satu lapis papan untuk bagian dinding.
Satu-satunya material yang masih membutuhkan pembiayaan adalah galvalum atau seng untuk atap rumah. “Warga bisa mengerjakan ini secara bergotong royong tanpa memerlukan tukang. Alat yang dibutuhkan hanya gergaji, bor, palu, dan kunci pas,” tutur Ashar.
Tim Fakultas Teknik UGM pun telah membuat huntara contoh skala penuh berukuran standar 6 meter x 6 meter atau seluas 36 meter persegi. Dengan tenaga kerja enam orang, dibutuhkan waktu tiga hari untuk menyelesaikan pembangunan.
Ashar menambahkan, huntara ini pun bisa dipindahkan secara mudah karena sistemnya modular alias bongkar-pasang. Hal ini akan berguna ketika lokasi pembangunan huntara ternyata di kemudian hari ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana yang tak boleh ditempati. “Huntara bisa dipindahkan ke lokasi yang lebih aman,” ujarnya.
Ashar mengatakan, pekan depan, tim UGM memulai percontohan pembangunan huntara ini di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh. Kabupaten itu merupakan salah satu daerah yang paling parah terdampak banjir dan longsor beberapa waktu lalu.
Di lokasi itu, tim akan melatih dan mendampingi para penyintas dan pemangku kepentingan lainnya untuk membangun huntara tersebut. Target awalnya, 10 unit huntara bisa terbangun.
“Setelah itu, orang-orang yang sudah dilatih diharapkan bisa menjadi fasilitator untuk menyebarkan cara membangun huntara ini ke daerah lain,” kata Ashar.
Ke depan, Ashar berharap pemerintah daerah bisa membuat sentra pengolahan kayu gelondongan menjadi papan di setiap desa yang membutuhkan huntara. Papan-papan itu kemudian didistribusikan ke warga untuk bahan membangun huntara masing-masing.
Warga bisa mengerjakan ini secara bergotong royong tanpa memerlukan tukang. Alat yang dibutuhkan hanya gergaji, bor, palu, dan kunci pas,
Ardhya Nareswari, dosen arsitektur UGM sekaligus anggota tim perancang huntara, menambahkan, desain huntara ini juga memperhatikan aspek kenyamanan dan kesehatan penghuni. Salah satunya dengan memastikan berjalannya sirkulasi udara dan pencahayaan alami di dalam huntara.
Ada pula dua ruangan di dalam huntara yang bisa dipakai sebagai kamar tidur atau keperluan lain. Selain itu, huntara juga sudah dilengkapi bagian untuk kamar mandi sebagai standar nasional.
“Tapi, apakah penempatan kamar mandi itu di dalam modul huntara atau di luar, nanti bisa disesuaikan dengan kebutuhan warga. Yang jelas, kamar mandi itu untuk kebutuhan satu keluarga, bukan komunal,” kata Nareswari.
Sementara itu, Rektor UGM Ova Emilia menjelaskan, UGM berupaya hadir menyumbangkan sumber daya yang dimiliki untuk membantu penanggulangan bencana di Sumatera. Selain kelompok kerja bidang rehabilitasi dan rekonstruksi, UGM telah membentuk enam kelompok kerja dalam bidang lain.
Keenam kelompok kerja lintas disiplin ilmu itu adalah tanggap darurat, geoportal informasi dasar kebencanaan, kajian kebencanaan terintegrasi, prosedur standar operasi mitigasi bencana, kesehatan dan psikososial, serta komunikasi publik. Seluruh tim telah bekerja sejak awal-awal masa bencana.
“UGM sebagai institusi pendidikan berupaya memastikan bagaimana ilmu ikut berkontribusi dalam perencanaan, pengambilan keputusan, dan tindak lanjut penanggulangan bencana,” kata Ova.



