Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej mengungkap, Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) sempat mempertanyakan dan bahkan tidak sepakat dimasukkannya pasal penyerangan kehormatan atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional yang baru.
Menurut dia, saat itu Jokowi tidak ambil pusing mau dihina atau dicaci.
Advertisement
“Presiden Jokowi dulu itu tidak setuju dengan pasal penyerangan kehormatan terhadap Presiden. Sampai bertanya, kenapa pasal itu harus ada? Saya juga kalau dihina enggak apa-apa,” ujar pria karib disapa Prof Eddy saat kuliah hukum bertajuk “Kupas Tuntas KUHP dan KUHAP Nasional” yang digelar oleh Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM) di Jakarta, Selasa (23/12/2025).
Prof Eddy menjelaskan, sebagai tim penyusun payung hukum, dirinya coba memberikan pemahaman bahwa beleid tersebut bukan dibuat untuk melindungi pribadi Presiden Jokowi, melainkan untuk melindungi institusi kepala negara secara umum.
Ia mencontohkan, hampir seluruh KUHP di berbagai negara memuat pasal terkait penyerangan atau penghinaan terhadap kepala negara, termasuk kepala negara asing.
“Di KUHP seluruh negara ada pasal penghinaan terhadap kepala negara asing. Kalau kehormatan kepala negara asing saja dilindungi, apalagi kehormatan kepala negara sendiri,” tegas Edward.
Lebih lanjut, Edward menekankan, keberadaan pasal tersebut bukan soal kesetaraan di depan hukum (equality before the law), melainkan berkaitan dengan fungsi hukum pidana yang pada dasarnya bertujuan melindungi.
“Hukum pidana itu melindungi individu, masyarakat, dan negara. Individu dilindungi nyawanya, hartanya, dan martabatnya. Negara dilindungi kedaulatan, pemerintahan, dan kehormatannya,” jelasnya.




