Muhammad Jazir ASP wafat pada Senin (22/12) ba’da Subuh di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Ia adalah Dewan Syuro Masjid Jogokariyan Yogya, sosok yang mengarsiteki tata kelola masjid tersebut yang kini menjadi rujukan manajemen masjid di Indonesia.
Ia terlibat langsung dalam pengelolaan masjid dan pembinaan jamaah, dengan penekanan pada fungsi masjid sebagai ruang pendidikan dan pemberdayaan umat.
Sejak pagi hari, jamaah berdatangan ke Masjid Jogokariyan, tempat mendiang Kyai Jazir disemayamkan sebelum dimakamkan.
Sekitar pukul 07.00 WIB, salat jenazah mulai dilaksanakan. Setelah satu saf selesai, saf berikutnya kembali dibentuk. Pola ini berlangsung berulang kali hingga menjelang waktu Dzuhur. Dua lantai masjid terisi penuh. Jamaah juga meluber ke halaman masjid, badan jalan, hingga gang-gang permukiman sekitar.
“Sejak pagi orang datang terus, tidak putus untuk mensalatkan almarhum,” ujar seorang relawan Masjid Jogokariyan kepada Pandangan Jogja, Senin (22/12).
Mendidik Umat dari Masjid
Penulis dan dai Salim A Fillah menyebut Kyai Jazir sebagai sosok yang membina umat secara langsung melalui masjid, bukan hanya lewat ceramah atau simbol keagamaan.
“Kami dididik dan diasuh beliau sejak tahun 2000 sampai sekarang. Dan kami merasakan betapa besar perhatian beliau kepada umat,” ujar Salim, Senin (22/12).
Menurut Salim, Kyai Jazir secara konsisten mendorong agar masjid berfungsi sebagai tempat pendidikan umat dalam berbagai aspek kehidupan.
“Pesan terakhir yang kami dengar dari beliau satu: tetap masjid. Dan yang kedua, bagaimana masjid mendidik umat agar melek dalam semua aspek—ekonomi, politik, sosial, budaya. Dari situlah peradaban terpadu dimulai,” ujarnya.
Prinsip tersebut diterapkan melalui pengelolaan masjid yang aktif, pembagian peran jamaah, serta keterlibatan masjid dalam persoalan sosial di lingkungan sekitar.
Upaya pembinaan itu dijalankan sejak usia muda. Kyai Jazir terlibat dalam pengkaderan pemuda dan remaja masjid, serta menjadi salah satu pendiri Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI).
Salim menyebut Masjid Jogokariyan sebagai contoh penerapan pendekatan tersebut di tingkat kampung.
“Jogokariyan ini hanya role model kecil. Masjid-masjid yang lebih besar tentu bisa melakukan jauh lebih banyak dan memberi dampak yang lebih luas bagi umat,” ujar Ustadz Salim.
Ilmu untuk Diamalkan
Anggota DPD RI DIY, Ahmad Syauqi Soeratno, yang hadir dalam prosesi pemakaman, menyebut Kyai Jazir sebagai sosok yang menjadikan ilmu sebagai sarana pembinaan umat, bukan sebagai otoritas yang disimpan.
“Beliau guru yang luar biasa. Tidak pernah merahasiakan ilmu. Bagi beliau, ilmu itu maknanya kemanfaatan.”
Menurut Syauqi, Kyai Jazir berulang kali menekankan pentingnya persatuan umat dan peran masjid dalam menjawab kebutuhan sosial masyarakat.
“Saya sangat terkesan dengan istiqomah beliau membawa semangat itu. Rasanya ini patut dan pantas untuk kita jaga dan pertahankan.”
Masjid dan Kebutuhan Dasar Warga
Tokoh lain yang juga hadir dalam prosesi pemakaman tersebut adalah Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo. Salah satu hal yang paling ia ingat tentang sosok Kyai Jazir adalah ketika ketika dirinya masih menjabat sebagai Bupati Kulon Progo.
“Beliau pernah menegur saya: tidak hanya membuat masjid kalau mau punya amal jariah. Urus juga warga Girimulyo yang kekurangan air. Kalau mereka punya air, bisa bersuci, bisa wudhu, amal jariahnya mengalir,” kenang Hasto.
Menurut Hasto, pesan itu menunjukkan cara pandang Kyai Jazir yang menempatkan masjid sebagai bagian dari upaya memakmurkan masyarakat.
“Beliau mengajarkan bahwa masjid harus memakmurkan masyarakat. Itu yang sangat membekas,” ujarnya.




