Hitekno.com - Rencana pemerintah menerapkan registrasi kartu SIM menggunakan teknologi biometrik pengenalan wajah (face recognition) mulai 1 Januari 2026 menuai sorotan dari kalangan pakar keamanan siber.
Meski digadang-gadang mampu menekan praktik penyalahgunaan SIM prabayar, kebijakan ini dinilai belum sepenuhnya aman jika tidak dibarengi tata kelola data yang ketat.
Internet & IT Security Consultant, Alfons Tanujaya, menilai penerapan registrasi SIM berbasis biometrik memang memiliki potensi positif, khususnya dalam memerangi kejahatan digital yang marak memanfaatkan SIM anonim.
“Konsep registrasi SIM face recognition bisa menekan eksploitasi SIM prabayar, menekan SIM anonim penipuan SMS dan scam digital,” ujar Alfons melalui akun Instagram pribadinya, belum lama ini.
Namun demikian, Alfons mengingatkan bahwa teknologi biometrik bukanlah solusi instan yang bebas risiko. Ia menekankan bahwa akurasi sistem pengenalan wajah masih memiliki keterbatasan.
“Teknologi FR (face recognition) tidak 100 persen akurat,” imbuhnya.
Menurut Alfons, salah satu tantangan utama datang dari perbedaan spesifikasi dan kualitas kamera pada perangkat ponsel yang digunakan masyarakat. Kondisi tersebut dapat memengaruhi akurasi verifikasi wajah dalam proses registrasi.
Ilustrasi face recognation. [UnsplashLebih jauh, Alfons menilai risiko terbesar bukan terletak pada teknologinya, melainkan pada pengelolaan data biometrik pengguna.
Ia mengingatkan bahwa kebocoran data wajah memiliki dampak jangka panjang yang sangat serius.
“Wajah nggak bisa diganti. Kalau bocor, dampaknya seumur hidup,” tegas Alfons.
Baca Juga:
Registrasi SIM Card Pakai Face Recognition Mulai 2026, Pakar Ingatkan Ancaman Kebocoran Data
Karena itu, ia menilai kunci utama penerapan biometrik bukan sekadar penggunaan teknologi canggih, tetapi bagaimana tata kelola data dijalankan secara disiplin dan transparan.
“Data harus terenkripsi, tidak disimpan mentah, dan diaudit secara independen,” jelasnya.
Alfons juga menegaskan bahwa data biometrik yang dikumpulkan tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain di luar registrasi kartu SIM.
Ia meminta agar regulasi penggunaan biometrik disusun secara hati-hati agar tidak membuka celah pelanggaran privasi di masa depan.
Sejalan dengan itu, mantan Komisioner Ombudsman RI periode 2016–2021, Alamsyah Saragih, turut mengingatkan adanya potensi risiko dalam kebijakan registrasi SIM berbasis biometrik yang diumumkan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Alamsyah menyebut setidaknya terdapat tiga risiko utama terkait keamanan data dan pelanggaran privasi. Salah satunya, karakteristik data biometrik pengenalan wajah yang berbeda dengan kata sandi atau password.
“Biometrik pengenalan wajah bukan seperti password yang bisa diganti secara berkala,” ujarnya.
Ia menjelaskan, sekali data biometrik digunakan, maka data tersebut akan terus melekat pada individu dan tidak dapat diubah, sehingga membutuhkan perlindungan ekstra ketat sejak awal penerapannya.


