Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) merombak desain insentif makroprudensial dan memperkuat koordinasi lintas lembaga untuk memecah kebuntuan pertumbuhan kredit. Ekonom menilai dari sejumlah jurus, 'cawe-cawe' alias intervensi pemerintah ke BUMN dinilai menjadi kunci sukses atau tidaknya peningkatan pertumbuhan kredit ke depan.
Salah satu jurus yang dilakukan BI adalah kalibrasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang kini lebih menitikberatkan pada jalur suku bunga (interest rate channel) ketimbang sekadar kuantitas penyaluran kredit (lending channel). Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menilai positif langkah tersebut.
Menurutnya, langkah BI memangkas porsi insentif sisi penyaluran dari maksimal 5% menjadi 4,5% tetapi melipatgandakan insentif bagi bank yang responsif menurunkan suku bunga kredit menjadi maksimal 1%, dinilai tepat sasaran.
“Masalah setahun terakhir ini bukan sekadar ketersediaan likuiditas, melainkan transmisi penurunan suku bunga acuan ke bunga kredit yang lambat dan tidak merata. BI mencoba mendobrak rigiditas ini agar bank lebih agresif memangkas bunga kredit sehingga permintaan bergerak,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (22/12/2025).
Kendati demikian, Josua memberikan catatan tebal. Efektivitas insentif jalur suku bunga ini akan terganjal apabila persaingan perebutan dana pihak ketiga (DPK) melalui pemberian suku bunga khusus atau special rate masih marak. Menurutnya, secara alamiah perbankan akan menahan penurunan bunga kredit demi menjaga marjin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) dan menutup biaya dana (cost of fund) yang masih tinggi.
Oleh karena itu, Josua menilai langkah eksternal BI yang ingin memperkuat koordinasi dengan pemerintah—khususnya terkait BUMN yang memicu tingginya undisbursed loan dan praktik special rate—justru berpotensi menjadi faktor determinan atau game changer.
Baca Juga
- Biang Keladi di Balik Seretnya Penyaluran Kredit Bank
- Bank Masih Enggan Turunkan Bunga Kredit, Ini Penyebabnya
- Alasan BI Tetap Pede Target Pertumbuhan Kredit Minimal 8% Tercapai
“Fokus BI pada perilaku BUMN ini bisa menjadi pembeda yang paling menentukan. Kredit yang sudah disetujui tetapi belum cair [undisbursed loan] umumnya mencerminkan proyek tertahan atau keputusan belanja modal [capex] yang ditunda. Penanganannya jelas berada di ranah kebijakan sektoral dan percepatan belanja pemerintah, bukan sekadar moneter,” tegasnya.
Josua menguraikan bahwa jika koordinasi ini sukses menekan praktik special rate di kalangan perusahaan pelat merah maka dampaknya akan menjalar dua arah. Pertama, dari sisi penawaran (supply), biaya dana perbankan akan turun seiring meredanya tekanan suku bunga khusus sehingga bank lebih berani memangkas suku bunga kredit.
Kedua, dari sisi permintaan (demand), percepatan realisasi belanja BUMN akan menggerakkan roda proyek yang selama ini macet, sehingga pencairan kredit meningkat secara organik.
Sementara itu, terkait inisiatif business matching yang dirancang otoritas moneter, Josua memandangnya sebagai pelengkap untuk mengurangi asimetri informasi dan mempercepat pembentukan pipeline kredit. Kendati demikian, dia mengingatkan bahwa pertemuan tersebut tidak otomatis mengubah keputusan ekspansi pelaku usaha apabila risiko bisnis masih dinilai tinggi.
“Paket kebijakan ini berpotensi memperbaiki arah, tetapi kunci untuk membalikkan tren perlambatan kredit tetap pada keberhasilan menurunkan biaya dana dengan memberantas special rate dan mempercepat realisasi proyek riil. Baru setelah itu, dorongan insentif likuiditas BI akan jauh lebih efektif,” tutupnya.
Data terakhir menunjukkan pertumbuhan kredit perbankan berada di level 7,74% secara tahunan (year on year/YoY) per November 2025, jauh di bawah capaian periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 10,79% (YoY). Adapun, BI menetapkan target pertumbuhan kredit 2025 dalam rentang 8% hingga 11%.
Oleh sebab itu, BI ingin kredit perbankan tumbuh lebih tinggi. Untuk mewujudkan itu, Bank Sentral akan memperkuat koordinasi kebijakan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Solikin M. Juhro mencontohkan bahwa untuk mengatasi tingginya undisbursed loan sebesar Rp2.509,4 triliun per November 2025, BI akan berkoordinasi dengan pemerintah. Langkah ini berangkat dari pertimbangan bahwa debitur yang belum menarik komitmen kredit kemungkinan berasal dari korporasi plat merah alias BUMN.
"Terkait dengan undisbursed loan, itu kan kalau kami bilang ke pemerintah, ya mungkin ada korporasi itu kan milik pemerintah. Nah, misalkan seperti itu kami sampaikan, kami koordinasikan," ungkapnya.
Selain itu, BI mengidentifikasi perlambatan pertumbuhan kredit karena masih tingginya suku bunga kredit perbankan di tengah penurunan suku bunga acuan (BI Rate) besar-besaran. Akibatnya, permintaan tidak terakselerasi karena biaya pinjaman masih tinggi.
Data BI memang menunjukkan transmisi kebijakan moneter belum berjalan mulus. Meskipun Bank Sentral telah memangkas suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 125 basis poin (bps) sepanjang tahun ini, penurunan suku bunga kredit perbankan tercatat baru mencapai 24 bps.
Solikin menjelaskan lambatnya transmisi itu akibat masih maraknya praktik pemberian suku bunga khusus (special rate) dari bank kepada deposan kakap.
Dia mencontohkan, meskipun suku bunga dana pihak ketiga (DPK) secara umum berada di kisaran 2,3% hingga 2,5%, banyak pemilik dana besar menuntut imbal hasil di level 5% hingga 6%, jauh di atas suku bunga penjaminan.
Solikin menambahkan BI akan terus berkomunikasi dengan pemerintah terkait fenomena pemberian special rate yang telah mendistorsi pasar tersebut. Apalagi, sambungnya, bank-bank BUMN juga banyak memberikan tingkat bunga khusus.
"Kalau bank-bank [milik pemerintah] itu menurunkan, yang mana sebagian sudah, pasti yang lain ikut. Jadi konteks koordinasinya seperti itu, tanpa memberikan distorsi yang unnecessary [tidak perlu]," jelasnya.
Selain sisi penawaran dana, BI bersama OJK juga terus mengawal transparansi harga melalui publikasi suku bunga dasar kredit (SBDK) secara berkala. Solikin menekankan bahwa transparansi ini bertujuan agar publik dapat membedah komponen pembentuk bunga kredit, mulai dari biaya dana (cost of fund) hingga margin keuntungan bank.
“Kami sampaikan lampiran SBDK tiap bulan agar masyarakat tahu berapa margin keuntungan yang dipatok bank. Kecuali premi risiko yang memang sulit diukur, komponen lainnya seperti biaya dana itu semua ada datanya,” jelas Solikin.
Sebagai langkah konkret berikutnya, otoritas moneter berencana memfasilitasi pertemuan langsung antara perbankan dan pelaku usaha melalui skema business matching. Inisiatif ini dirancang untuk menjembatani asimetri informasi yang kerap menjadi penghambat penyaluran kredit.
“Ke depan, kami nanti ajak para korporasi dan perbankan untuk business matching, kita temukan mereka. Kurang apa? Mau informasi apa? Langkah-langkah ini kami upayakan agar pembiayaan lancar dan ekonomi tumbuh lebih kuat,” katanya.
Selain berkoordinasi dengan pemerintah dan OJK, BI turut memperkuat Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) melalui dua jalur utama, yakni jalur kuantitas (lending channel) dan jalur harga (interest rate channel).
Adapun per 16 Desember 2025 lalu, BI mempertahankan besaran total insentif KLM paling tinggi sebesar 5,5% dari DPK. Kendati demikian, komposisi di dalamnya diubah secara signifikan.
Bank sentral memangkas porsi insentif dari sisi penyaluran kredit (lending channel) dari semula maksimal 5% menjadi 4,5%. Sebaliknya, BI melipatgandakan insentif bagi bank yang responsif terhadap suku bunga (interest rate channel) dari semula paling tinggi sebesar 0,5% menjadi paling tinggi sebesar 1%.
Dengan demikian, jika perbankan ingin mendapatkan guyuran likuiditas maksimal dari otoritas, maka mereka harus segera menurunkan suku bunga kreditnya sejalan dengan kebijakan pemangkasan suku bunga BI.
“Ini yang kenapa kami sebutkan sebagai ketidaksempurnaan, ketidaksatunafasan, ini harus di-address dari berbagai channel atau berbagai instrumen, termasuk kami harus koordinasi dengan berbagai instansi, dengan OJK, dengan LPS, dan pemerintah untuk bisa tackle with [atasi] isu ini," ujar Solikin.


/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F16%2Fa3a499c5-373d-4f14-b317-998ecc457828_jpg.jpg)
