Pantau - Kementerian Transmigrasi memproyeksikan kawasan transmigrasi di Indonesia berpotensi menciptakan nilai ekspor baru sebesar Rp85–120 triliun per tahun jika dikembangkan secara terintegrasi.
"Dari sisi perdagangan luar negeri, kawasan transmigrasi diproyeksikan mampu berkontribusi nilai ekspor baru sebesar Rp85-120 triliun per tahun terutama dari sawit hilir, kakao terfermentasi, specialty coffee, sagu, perikanan, dan peternakan," ungkap Menteri Transmigrasi M. Iftitah Sulaiman Suryanagara.
Pernyataan tersebut disampaikan Iftitah dalam acara Diseminasi Hasil Riset dan Rekomendasi Kebijakan Tim Ekspedisi Patriot Tahun 2025 di Jakarta, Selasa, 23 Desember 2025.
Potensi ekspor itu dinilai dapat dioptimalkan melalui pengembangan kawasan transmigrasi secara terintegrasi.
Pengembangan tersebut mencakup pembangunan infrastruktur dasar, hilirisasi melalui Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih sebagai agregator, serta pemberian kepastian status pemanfaatan lahan.
Upaya terintegrasi ini diperkirakan mampu meningkatkan nilai tambah kawasan sebesar 20–35 persen.
Selain itu, realisasi investasi diproyeksikan meningkat 15–25 persen dan biaya logistik nasional dapat ditekan hingga 10–20 persen dalam kurun tiga sampai lima tahun ke depan.
Jika dijalankan secara konsisten, pengembangan kawasan transmigrasi juga berpotensi mendorong peningkatan produktivitas ekonomi nasional hingga Rp320–410 triliun per tahun.
Tantangan Infrastruktur dan Rantai NilaiMeski demikian, Iftitah mengakui pembangunan kawasan transmigrasi masih menghadapi tantangan besar.
Berdasarkan riset Tim Ekspedisi Patriot, lebih dari 70 persen kawasan transmigrasi belum memiliki infrastruktur dasar yang berfungsi optimal.
Permasalahan yang ditemukan meliputi kerusakan jalan produksi, sistem irigasi yang tidak menjangkau lahan, ketersediaan air bersih dan listrik yang tidak stabil, serta ketiadaan fasilitas cold storage.
Kondisi tersebut menyebabkan lebih dari 60 persen komoditas unggulan masih dijual dalam bentuk mentah.
Ketergantungan petani terhadap tengkulak bahkan mencapai lebih dari 65 persen sehingga nilai tambah ekonomi dinikmati di luar kawasan transmigrasi.
Salah satu contoh yang disoroti adalah permintaan kemiri di Aceh yang mencapai lebih dari 5.500 ton per tahun, namun belum terkonsolidasi menjadi industri hilir.
Di Papua Barat, Kawasan Transmigrasi Salor memiliki lebih dari 243 ribu hektare lahan padi dengan pola tanam dua kali setahun, tetapi keuntungan petani tertekan akibat tingginya biaya logistik.
Sementara itu, wilayah Barelang di Kepulauan Riau dinilai memiliki potensi energi surya sebesar 5,03 kilowatt-peak per hari serta kedalaman laut 15–27 meter yang ideal untuk pengembangan pelabuhan internasional dan pusat industri maritim.
Investasi Presisi Berbasis DataIftitah menegaskan bahwa persoalan utama bukan terletak pada kekurangan dana, melainkan investasi yang belum tepat sasaran.
"Investasi kecil yang presisi jauh lebih berdampak dibanding proyek besar yang tidak terhubung ke rantai nilai. Berdasar temuan tersebut, TEP 2025 menyusun peta investasi berbasis data yang siap untuk ditawarkan," ujarnya.




