JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim, termasuk panas ekstrem dan gelombang panas yang kerap terjadi, tak hanya merusak ekosistem, pertanian, dan kesehatan manusia. Bukti baru menunjukkan, peningkatan suhu juga bisa memperlambat aspek penting perkembangan anak usia dini.
Padahal, masa tumbuh kembang anak usia dini 0-6 tahun yang merupakan periode emas atau golden age turut menentukan keberhasilan hidup anak pada masa depan. Bahkan, diyakini investasi pada pengembangan anak usia dini memberi imbal balik jauh lebih besar terhadap pembangunan manusia dibandingkan tahap sesudahnya.
Kenyataannya, peningkatan suhu global terjadi. Dunia mencatat suhu yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2024 dan pemanasan planet menimbulkan risiko signifikan bagi perkembangan serta kesehatan manusia.
Hasi riset tim peneliti New York of University (NYU), Amerika Serikat, yang diterbitkan di Journal of Child Psychology and Psychiatry, dikutip dari laman Sciencedaily, Rabu (24/12/2025), menunjukkan pengaruh pemanasan global terhadap kemampuan belajar anak usia dini.
Jadi, anak-anak yang mengalami kondisi cuaca amat hangat, khususnya suhu maksimum rata-rata di atas 30 derajat celsius, kurang mencapai tonggak perkembangan literasi dan numerasi yang diharapkan dibandingkan anak-anak yang tinggal di lingkungan lebih dingin.
Anak-anak yang terpapar suhu maksimum rata-rata di atas 32 derajat celsius cenderung kurang berkembang sesuai perkembangan normal dibandingkan mereka yang terpapar suhu lebih dingin.
Selain itu, efek negatif ini paling terasa pada anak-anak dari latar belakang ekonomi kurang mampu, mereka yang tinggal di daerah perdesaan, serta kekurangan akses air bersih dan sanitasi yang memadai.
“Temuan ini menyoroti kebutuhan mendesak akan kebijakan dan intervensi untuk melindungi perkembangan manusia di dunia yang makin hangat,” kata penulis utama Jorge Cuartas, asisten profesor psikologi terapan di NYU Steinhardt.
Meski paparan panas dikaitkan dengan dampak negatif terhadap kesehatan fisik dan mental sepanjang siklus hidup, studi ini memberikan wawasan baru bahwa panas berlebihan berdampak negatif pada perkembangan anak usia dini di berbagai negara.
Temuan ini menyoroti kebutuhan mendesak akan kebijakan dan intervensi untuk melindungi perkembangan manusia di dunia yang makin hangat.
Cuartas melakukan studi tersebut bersama Lenin H Balza dan Nicolás Gómez-Parra, keduanya dari Bank Pembangunan Interamerika serta Andrés Camacho dari Universitas Chicago.
Menurut Cuartas, perkembangan awal meletakkan dasar pembelajaran seumur hidup, kesehatan fisik dan mental, dan kesejahteraan keseluruhan. Karena itu dampak perubahan iklim pada anak usia dini perlu mulai diperhatikan. Para peneliti, pembuat kebijakan, dan praktisi diingatkan agar melindungi perkembangan anak saat dunia makin panas.
Temuan ini didapat Cuartas dan rekan-rekannya dengan meneliti informasi dari 19.607 anak berusia antara 3-4 tahun dari Gambia, Georgia, Madagaskar, Malawi, Palestina, dan Sierra Leone.
Negara-negara ini dipilih karena menyediakan data terperinci tentang perkembangan anak, kondisi kehidupan rumah tangga, dan iklim, yang memungkinkan para peneliti untuk memperkirakan jumlah panas yang dialami setiap anak.
Untuk mengevaluasi perkembangan, tim memakai Indeks Perkembangan Anak Usia Dini (ECDI). Indeks ini melacak tonggak perkembangan dalam empat bidang meliputi keterampilan membaca dan berhitung (literasi dan numerasi), perkembangan sosial-emosional, pendekatan pembelajaran, dan perkembangan fisik.
Para peneliti menggabungkan informasi ECDI dengan data tahun 2017-2020 dari Survei Klaster Indikator Berganda (MICS). Data tersebut mencakup indikator demografis dan kesejahteraan seperti pendidikan, kesehatan, nutrisi, dan sanitasi.
“Dengan menggabungkan kumpulan data ini dengan catatan iklim yang menunjukkan suhu rata-rata bulanan, kami mengeksplorasi potensi hubungan antara paparan panas dan perkembangan awal,” kata Cuartas.
Hasilnya, anak-anak yang mengalami suhu maksimum rata-rata di atas 86 Fahrenheit (30 derajat celsius) memiliki kemungkinan 5 - 6,7 persen lebih kecil memenuhi tolok ukur literasi dan numerasi dasar dibandingkan anak-anak yang terpapar suhu di bawah 78,8 derajat Fahrenheit selama musim sama dan di wilayah sama.
Anak-anak di rumah tangga yang kurang mampu secara ekonomi, rumah tangga dengan akses terbatas ke air bersih, dan daerah perkotaan yang padat penduduk menunjukkan dampak yang paling kuat.
“ Kita amat membutuhkan lebih banyak riset untuk mengidentifikasi mekanisme yang menjelaskan dampak ini dan faktor yang melindungi atau meningkatkan kerentanan anak-anak,” kata Camacho, pengajar dan peneliti di Harris School of Public Poliy di Universitas Chicago.
Penelitian semacam itu akan membantu menentukan target konkret untuk kebijakan dan intervensi yang memperkuat kesiapan, adaptasi, dan ketahanan seiring intensifikasi perubahan iklim.
Menurut Camacho, temuan potensi dampak panas berlebih pada perkembangan anak usia dini perlu ditindaklanjuti melalui kebijakan dan intervensi yang meningkatkan kesiapan, adaptasi, dan ketahanan terhadap iklim. Hal ini untuk mendukung pembangunan manusia di dunia yang mengalami pemanasan global.
Ketua Early Childhood Education and Development (ECED) Council Indonesia, dalam buku terbarunya “PAUD sebagai Fondasi Pembentukan Generasi Unggul”, yang ditulis bersama Gutama, mengatakan masa anak usia dini bukan sekadar fase pertumbuhan.
Masa anak usia dini juga merupakan fase kehidupan yang akan menentukan arah tumbuh kembang manusia sepanjang hayat. Perkembangan anak usia dini dipengaruhi oleh sistem saling terkait, dari lingkungan rumah hingga kebijakan negara.





