Perbincangan mengenai dosen yang sulit dihubungi, renggangnya relasi akademik antara pengajar dan mahasiswa, hingga perbandingan dengan kampus-kampus luar negeri kembali ramai di media sosial. Narasi tersebut kerap berangkat dari pengalaman personal alumni yang menyatakan bahwa dosen di universitas luar negeri relatif mudah diakses, terbuka untuk diskusi, dan menempatkan mahasiswa sebagai mitra intelektual yang setara. Di Indonesia kisah-kisah semacam itu segera memicu respons berlapis: kritik tajam, pembelaan struktural terhadap kondisi dosen, hingga refleksi jujur dari para akademisi yang mengalami langsung kompleksitas sistem pendidikan tinggi nasional.
Fenomena ini tidak dapat dibaca secara benar atau salah. Opini bahwa dosen di Indonesia bersikap “seperti dewa”, berjarak, atau terjebak dalam budaya feodal memang menemukan pembenaran empiris dalam sebagian kasus. Namun generalisasi semacam itu berisiko menutup persoalan yang jauh lebih struktural dan sistemik, sekaligus mengaburkan akar masalah yang sesungguhnya berada di luar relasi personal dosen dan mahasiswa.
Realitas menunjukkan bahwa dosen di Indonesia bekerja dalam ekosistem pendidikan tinggi yang sarat beban administratif, target kinerja kuantitatif, serta tuntutan publikasi ilmiah yang tidak selalu sejalan dengan prinsip keilmuan yang ideal. Semakin tinggi jabatan fungsional seorang dosen, semakin besar pula beban non-akademik yang harus ditanggung, mulai dari kepanitiaan, akreditasi, pelaporan kinerja, hingga tugas-tugas struktural yang menyita energi intelektual. Kondisi ini berdampak langsung pada relasi pedagogis antara dosen dan mahasiswa, bukan karena tidak berkomitmen mendidik, melainkan karena ruang dan waktu akademik yang semakin terfragmentasi.
Dalam konteks tersebut, pandangan Prof. Stella Christie, ilmuwan kognitif Indonesia yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, menjadi sangat relevan. Prof. Stella Christie secara konsisten menegaskan bahwa dosen yang unggul adalah peneliti dan inovator yang mengajar berdasarkan hasil risetnya sendiri. Mahasiswa, menurut pandangan ini, berhak memperoleh pengetahuan yang mutakhir, kontekstual, dan lahir dari proses keilmuan yang hidup, bukan sekadar reproduksi materi ajar yang statis atau pengulangan buku-buku lama.
Pandangan tersebut merefleksikan model universitas riset yang telah lama berkembang di negara-negara maju. Persoalan mendasarnya terletak pada sejauh mana ekosistem pendidikan tinggi Indonesia memungkinkan dosen menjalankan peran ideal tersebut secara konsisten, khususnya di bidang humaniora dan ilmu sosial. Bidang-bidang ini sering kali dipersepsikan kurang produktif secara ekonomi, meskipun justru berperan sentral dalam membentuk nalar kritis, kepekaan etis, serta kerangka berpikir kebijakan publik yang berkeadilan.
Riset di bidang humaniora tidak selalu menghasilkan paten, produk komersial, atau dampak ekonomi instan. Nilainya terletak pada kemampuan membentuk cara berpikir, mempertajam sensitivitas sosial, dan mengoreksi arah pembangunan melalui kritik ilmiah. Sayangnya, rezim pengukuran kinerja akademik yang terlalu menekankan kuantitas publikasi dan indeksasi global kerap memarginalkan riset jenis ini, sekaligus menempatkan dosen humaniora pada posisi yang semakin rentan secara struktural.
Kritik Prof. Stella Christie mengenai banyaknya jurnal di Indonesia yang tidak berbanding lurus dengan kualitas dan dampaknya patut dicermati secara serius. Persoalan tersebut tidak berhenti pada isu mutu akademik. Praktik biaya publikasi ilmiah yang tinggi dan tidak transparan telah berkembang menjadi masalah laten dalam dunia akademik nasional. Tidak sedikit jurnal yang tidak mencantumkan biaya publikasi secara terbuka di laman resminya. Informasi biaya terkadang muncul setelah naskah dinyatakan lolos seleksi awal atau setelah penulis diminta menyesuaikan template, sehingga menempatkan dosen pada posisi dilematis untuk menarik tulisannya karena terlanjur.
Kondisi ini sangat membebani dosen, terutama yang berasal dari perguruan tinggi swasta. Tidak semua dosen memiliki akses dana penelitian internal atau hibah eksternal yang memadai. Kampus negeri relatif memiliki infrastruktur pendanaan yang lebih stabil, selain gaji dan tunjangan, sementara dosen di kampus swasta kerap harus menanggung sendiri biaya publikasi yang tidak kecil. Situasi ini menjadi semakin kompleks pada masa krisis, ketika banyak perguruan tinggi swasta berjuang untuk mempertahankan jumlah mahasiswa.
Pada titik ini membutuhkan peran Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Upaya mengurangi komodifikasi jurnal tidak cukup dilakukan melalui imbauan etis atau moral akademik semata. Negara perlu ”hadir” dengan menambah jumlah penerbit jurnal ilmiah yang dikelola atau difasilitasi oleh pemerintah, dengan standar mutu, sistem reviewer yang baik, serta model pembiayaan yang adil dan transparan. Penambahan jumlah penerbit jurnal berkualitas akan memperluas akses publikasi, mengurangi praktik “harga terselubung”, dan mencegah pasar publikasi dikuasai oleh segelintir penerbit.
Langkah tersebut bukan sekadar soal teknis publikasi, melainkan bagian dari upaya melindungi martabat akademik. Ketika akses publikasi menjadi lebih rasional dan terbuka, dosen dapat kembali memusatkan energi pada riset substantif dan pengajaran bermutu, dan tidak terkendala publikasi yang mahal dan jumlah penerbit yang tidak seimbang.
Situasi komodifikasi ilmu ini memiliki sedikit irisan dengan perubahan perilaku belajar mahasiswa di era kecerdasan buatan. Generasi Z tumbuh seiring dengan perkembangan AI dan menganggap teknologi ini sebagai alat bantu utama dalam mengakses informasi. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya keliru, karena AI memang dirancang untuk meningkatkan efisiensi belajar maupun bekerja. Namun ketergantungan pada AI berpotensi ”mendangkalkan” proses berpikir dan mereduksi pengalaman intelektual yang seharusnya dialami mahasiswa.
Pendidikan tinggi sejatinya bukan semata soal hasil akhir, melainkan tentang proses intelektual yang melatih daya analisis, penalaran kritis, dan refleksi. Pendidikan hukum, sosial, dan humaniora bertujuan mengajarkan metode berpikir melalui objek kajian tertentu. Ketika AI dijadikan jalan pintas utama, proses internalisasi pengetahuan menjadi tereduksi, sementara kemampuan elaborasi, argumentasi, dan pemaknaan kian melemah.
Dalam konteks ini pendekatan “elaborasi” yang diperkenalkan oleh Prof. Stella Christie menjadi relevan. Mahasiswa didorong untuk mencatat, menjelaskan kembali, dan mengolah materi dengan bahasa serta kerangka berpikir mereka sendiri. Pendekatan tersebut menuntut kehadiran dosen yang aktif membimbing, berdialog, dan menantang mahasiswa secara intelektual, sekaligus menempatkan AI sebagai alat bantu pendukung, bukan ”pengganti proses berpikir”.
Kualitas relasi akademik tidak dapat dilepaskan dari struktur kerja dosen. Beban administrasi yang menumpuk, tuntutan publikasi berbiaya tinggi, serta tekanan ekonomi akan selalu berimplikasi pada kualitas pengajaran dan pembimbingan mahasiswa. Kritik terhadap dosen yang dianggap “tidak terjangkau” kehilangan relevansinya jika tidak disertai evaluasi terhadap sistem yang membentuk kondisi tersebut.
Perdebatan publik mengenai dosen dan mahasiswa seharusnya menjadi pintu masuk bagi reformasi pendidikan tinggi yang lebih baik. Penyederhanaan administrasi, transparansi biaya publikasi, penambahan penerbit jurnal oleh pemerintah.
Martabat akademik tidak dibangun dari tuntutan sepihak kepada dosen atau mahasiswa. Martabat tersebut lahir dari sistem yang adil, transparan, dan memungkinkan ilmu pengetahuan di Indonesia berkembang, bahkan di tengah tantangan besar pendidikan tinggi pada era kecerdasan buatan.



