Malang: Sepanjang tahun 2025, wilayah Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu) dihadapkan pada satu fenomena sosial yang konsisten dan berulang dalam pemberitaan.
Praktik penggunaan sistem audio berdaya besar atau yang kerap disebut "sound horeg". Kegiatan mulai dari karnaval, hajatan, hingga konvoi kendaraan bermotor dengan suara menggelegar berkembang menjadi isu ketertiban umum yang memicu respons serius dari aparat dan pemerintah daerah.
Fenomena ini tidak muncul sekaligus, tetapi muncul berulang di berbagai wilayah dan waktu berbeda. Konsistensi kemunculannya menjadikan sound horeg salah satu isu sosial paling menonjol dan banyak diperbincangkan di Malang Raya sepanjang 2025.
Awal Sorotan, dari Keluhan Warga ke PemberitaanPemberitaan mengenai sound horeg mulai menguat sejak awal tahun. Berbagai kegiatan masyarakat yang menampilkan perangkat audio berdaya tinggi di ruang publik dan permukiman padat mulai mendapat sorotan. Intensitas suara yang sering kali melampaui ambang batas kenyamanan memicu keluhan warga, terutama terkait gangguan aktivitas harian, konsentrasi belajar anak, waktu istirahat, dan potensi risiko kesehatan pendengaran.
Laporan dari lapangan mencatat penggunaan sound horeg tidak lagi terbatas pada acara-acara tertentu. Praktik ini semakin masif dan mudah berpindah lokasi, menjangkau berbagai sudut Kabupaten Malang, Kota Malang, hingga Kota Batu.
Sepanjang tahun, pola serupa terus terulang. Sound horeg kerap digunakan dalam kegiatan arak-arakan, perayaan hari besar, syukuran, atau sekadar hiburan jalanan tanpa pengaturan teknis yang jelas dan tanpa mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan sekitar.
Aparat kepolisian setempat dalam berbagai kesempatan menemukan sejumlah pelanggaran yang menyertainya. Mulai dari penggunaan perangkat tanpa izin kegiatan keramaian, pemblokiran akses jalan umum, hingga inti persoalan yakni gangguan ketertiban dan ketenteraman umum.
Fenomena ini menjadi perhatian khusus karena bersifat berulang dan bukan insidental. Dalam sejumlah peristiwa, aparat menemukan penggunaan sound horeg masih terjadi meski sebelumnya telah dilakukan imbauan dan penertiban di lokasi atau untuk kelompok yang sama. Konsistensi inilah yang mengukuhkan sound horeg sebagai isu kronis dalam liputan sepanjang 2025.
Baca Juga :
Aturan Sound Horeg Segera Disesuaikan, Pemkab Malang Siapkan Regulasi TurunanEskalasi dari Imbauan ke Penertiban
Menyikapi keluhan masyarakat yang kian meningkat, aparat kepolisian bersama pemerintah daerah mengambil langkah bertahap. Pendekatan awal lebih mengedepankan upaya preventif melalui imbauan dan pembinaan kepada penyelenggara kegiatan. Mereka diminta menyesuaikan volume suara, memperhatikan waktu penggunaan (terutama pada malam hari), dan memilih lokasi yang lebih tepat.
Namun, dalam banyak kasus, imbauan saja tidak cukup. Ketika peringatan tidak diindahkan dan keluhan warga terus berdatangan, aparat terpaksa mengambil langkah tegas berupa penertiban. Aksi ini mencakup pembubaran kegiatan, pengamanan atau penyitaan perangkat audio untuk sementara, hingga proses pendataan dan pemanggilan terhadap pihak penyelenggara untuk dimintai pertanggungjawaban.
Langkah penertiban dilakukan untuk menjaga ketertiban umum sekaligus mencegah potensi konflik horizontal di tengah masyarakat antara kelompok yang ingin berhibur dan warga yang menginginkan ketenangan.
Sosok Ahmad Abdul Aziz alias Memed Potensio yang belakangan dijuluki Thomas Alva Edi Sound. Metrotvnews.com/Daviq Umar Al Faruq
Sound horeg kemudian berkembang menjadi isu sosial yang lebih kompleks, mencerminkan benturan kepentingan di ruang publik. Di satu sisi, para penyelenggara dan pendukungnya memandang sound horeg sebagai bagian dari ekspresi kegembiraan, budaya populer, dan cara merayakan suatu momen secara bersama-sama di ruang terbuka.
Di sisi lain, warga yang terdampak terutama yang tinggal di sekitar lokasi acara, orang tua dengan anak kecil, lansia, atau mereka yang sedang sakit menilai praktik tersebut sebagai gangguan serius. Bagi mereka, kebisingan yang dihasilkan melanggar hak atas ketenteraman dan merusak kenyamanan lingkungan privat tempat tinggal mereka.
Perbedaan pandangan ini menempatkan aparat dan pemerintah daerah pada posisi penengah yang tidak mudah. Mereka dituntut menjaga keseimbangan yang adil antara kebebasan berekspresi dan beraktivitas masyarakat dengan hak warga atas lingkungan yang sehat dan nyaman.
Baca Juga :
Pasien Penderita THT di Lumajang Meningkat Akibat Sound HoregWacana Pengaturan dan Regulasi yang Lebih Tegas
Seiring berjalannya waktu dan fenomena yang terus berulang, diskursus mengenai perlunya pengaturan yang lebih jelas dan tegas semakin menguat. Pemerintah daerah mulai mendorong pembahasan aturan turunan atau penegasan regulasi yang sudah ada, terkait batas maksimal tingkat kebisingan, kewajiban perizinan kegiatan yang melibatkan sound system besar, hingga mekanisme pengawasan dan sanksi bagi pelanggar.
Pembahasan ini menunjukkan bahwa sound horeg tidak lagi dipandang sebagai persoalan sepele atau temporal. Fenomena ini diakui sebagai tantangan tata kelola ruang publik yang membutuhkan penanganan sistematis, edukatif, dan jika perlu, represif secara hukum. Wacana regulasi menjadi penting agar praktik hiburan dan ekspresi budaya masyarakat dapat berlangsung tanpa mengorbankan hak dasar warga lainnya dan ketertiban umum.
Hingga penghujung 2025, sound horeg tetap menjadi isu aktual yang sesekali muncul dalam pemberitaan. Meski berbagai upaya penertiban dan imbauan telah dilakukan, fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan ketertiban berbasis aktivitas masyarakat massal memerlukan pendekatan komprehensif dan berkelanjutan.
Dalam kaleidoskop sosial Malang Raya sepanjang tahun, sound horeg tercatat bukan sekadar tren hiburan sesaat. Ia merupakan fenomena sosial yang mencerminkan dinamika ruang publik yang semakin padat, geliat budaya populer urban, serta tantangan riil dalam penegakan ketertiban dan pencarian titik temu berbagai kepentingan di masyarakat.



