Di Pulau Semau, Waktu Seakan Melambat

kompas.id
6 jam lalu
Cover Berita

Perahu motor merayap pelan di atas Teluk Kupang yang teduh. Haluannya mengarah ke seberang, menjauh dari kebisingan kota. Semau, pulau yang dituju, bisa jadi tempat mencari ruang sunyi kala melewati pergantian tahun.

Semau hanya sepelemparan batu dari Kota Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur. Hingga Selasa (16/12/2025), wajah Semau seperti Kupang masa lampau. Pembangunan infrastruktur yang tak masif justru menguntungkan Semau. Yang alami, banyak dijumpai di sana.

Tidak sampai 15 menit, perahu merapat di Pelabuhan Hansisi. Pelabuhan tak pernah sepi, beroperasi hampir 24 jam melayani penumpang umum dan carteran menggunakan perahu kayu. Juga feri yang beroperasi setiap hari melayani rute Kupang-Semau.

Petualangan di pulau seluas sekitar 246 kilometer persegi itu dimulai dari Hansisi di timur laut. Jalanan sepi. Di sisi kiri kanan, banyak lahan ditumbuhi rumput liar. Hujan yang mengguyur beberapa pekan terakhir membuat daerah yang biasanya kering kerontang kini menghijau.

Di tengah hamparan, sapi-sapi bergerombol mencari rumput. Bukan sapi liar, melainkan peliharaan yang digembalakan. Ada pemiliknya. Di paha belakang tampak tulisan atau simbol. Tulisan digurat dengan besi panas, jelas membekas. Penanda agar sapi tidak tertukar atau dicuri.

Terus melaju di jalanan mulus, melewati perkampungan. Pagar-pagar pembatas halaman disusun dari batu karang tanpa semen. Model pagar unik khas suku Timor. Mereka memanfaatkan batu karang yang berseliweran. Struktur tanah di daerah itu berbatu karang.

Tak ada kendaraan melaju kencang, menggambarkan kehidupan yang  lambat. Warga berdiri sambil ngobrol selama berjam-jam di pinggir jalan. Mereka seperti tidak dikejar waktu. Santai. Slow.

Terdengar ucapan dalam bahasa Helong, bahasa daerah setempat. Di Kota Kupang dan banyak kota besar lainnya, bahasa daerah perlahan tenggelam oleh sistem yang tidak memberi ruang tumbuh. Juga penuturnya yang merasa inferior saat berbicara dengan bahasa ibunya.

”Kupang dengan suasana kotanya, sementara Semau dengan perdesaan. Ini sangat kontras, dua tempat yang berdekatan. Semau bisa jadi pilihan jika menepi,” kata Mario, warga Surabaya, Jawa Timur, yang dijumpai beberapa waktu lalu.

Ia berkunjung ke Semau di sela-sela kegiatan selama satu minggu di Kota Kupang. Hanya sehari, ia sudah menjelajahi beberapa sudut ikonik Semau. Merekam keseharian masyarakat, pesona di darat, hingga keindahan pesisir. Ia berjanji akan balik lagi suatu saat nanti.

Baca JugaMeresapi Alam di Tepian Sermo
Beragam pilihan 

Kepala Desa Letbaun, Carlens Bising, mengatakan, banyak tempat di Semau yang bisa didatangi. Ia pun memaparkan beberapa destinasi. Ada tempat yang hening di Desa Letbaun dan Desa Uiasa. Di sana ada rumah penduduk yang disewakan.

Pantai Otan menawarkan pemandangan pesisir. Ada resor dengan berbagai kamar. Pengelolaan ala hotel bintang. Jika ingin menghemat, ada vila yang dibangun masyarakat lokal. Harganya tidak lebih dari Rp 150.000 per malam.

Bisa juga ke Uitao yang menyediakan penginapan dan makanan rumahan. Di sini pengunjung bisa berinteraksi dengan masyarakat. Mereka bisa merasakan denyut kehidupan masyarakat yang semakin terbuka dengan tamu. 

”Kehidupan yang santai, tidak mengejar materi seperti orang-orang di kota. Semua makanan yang alami bisa didapat di sini. Lahan luas, jadi bisa tanam apa saja. Ada daging, ikan apalagi. Banyak. Kami tidak takut lapar. Tinggal kerja dan nikmati,” kata Carlens.

Khusus ikan, Semau menyuplai kebutuhan ikan ke Kota Kupang. Kebanyakan ikan karang yang dipanah dari dasar laut. Di Semau, jarang ditemukan ikan yang disimpan di dalam tempat pendingin. Ikan yang disantap kebanyakan baru dibawa pulang nelayan.

Wedis Pono, pengelola wisata di Desa Uiasa, mengatakan, salah satu kendala adalah tidak ada transportasi umum. Namun, mereka menyediakan sepeda motor atau mobil untuk disewa. Tarif mobil Rp 300.000 per hari, sedangkan sepeda motor Rp 100.000.

Menjelang akhir tahun seperti saat ini, mereka bersiap menyambut tamu. Penginapan disiapkan, stok makanan ditambah. ”Kami akan ajak tamu ikut merasakan kehidupan masyarakat. Ke kebun, beri makan ternak, atau memancing,” ucapnya.

Semau berada di seberang Kupang menjadi penawar bagi masyarakat kota yang sehari-hari menjalani hidup serba cepat dan terburu-buru. Berada di Semau, merasakan kehidupan mengalir begitu pelan. Waktu pun seakan berjalan lambat.

Baca JugaBerkontemplasi dalam Kesegaran Lereng Arjuno

Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pemkot Makassar Percepat Koperasi Merah Putih, Perkuat Ekonomi Kerakyatan
• 9 jam lalufajar.co.id
thumb
OJK Rilis POJK 32 2025, Aturan Baru Penyelenggaraan Paylater
• 2 jam lalukumparan.com
thumb
Keluh Mata Elang Usai Aplikasi Matel Dihapus: Kami Tak Bisa Kerja Lagi
• 7 jam lalukompas.com
thumb
Harga Cabai Naik-Turun Bikin Resah, Mentan Amran Ungkap Penyebab Sebenarnya
• 19 jam laludisway.id
thumb
Cara Transfer BCA ke Seabank, Ini Kode Bank dan Biayanya
• 2 jam lalumedcom.id
Berhasil disimpan.