Mengapa Nilai TKA Matematika dan Bahasa Inggris Siswa Indonesia Sangat Rendah?

kompas.id
5 jam lalu
Cover Berita

Rendahnya capaian nilai tes kemampuan akademik (TKA) SMA 2025 membuka kembali persoalan mendasar mutu pembelajaran di Indonesia. Meski TKA bukan penentu kelulusan, hasil ini dipandang sebagai potret nasional kemampuan akademik siswa yang tidak bisa diabaikan.

Temuan ini sekaligus mengonfirmasi persoalan lama yang berulang dalam berbagai asesmen, termasuk PISA, yakni rapuhnya fondasi numerasi dan literasi sejak pendidikan dasar. Para pemerhati pendidikan menilai, lemahnya hasil TKA di jenjang SMA menunjukkan bahwa siswa ”sekolah, tetapi tidak belajar” secara substantif.

Soal-soal TKA dirancang tidak sekadar menguji hafalan, tetapi kemampuan menerapkan konsep dan bernalar. Namun, pendekatan pembelajaran mendalam yang diharapkan menopang kemampuan itu baru diterapkan dalam setahun terakhir, sementara peserta TKA 2025 baru pertama kali menghadapinya.

Beberapa informasi yang akan Anda dapatkan dalam artikel ini adalah:
  1. Bagaimana gambaran capaian hasil tes kemampuan akademik (TKA) siswa Indonesia?
  2. Apa penyebab rendahnya nilai Matematika dan Bahasa Inggris dalam TKA?
  3. Ada dampak dari rendahnya nilai TKA tersebut?
  4. Apa yang bisa orangtua, sekolah, dan pemerintah lakukan untuk mengatasi masalah ini?
Bagaimana gambaran capaian hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) siswa Indonesia?

Berdasarkan data Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), rata-rata nilai mata pelajaran wajib dalam tes kemampuan akademik (TKA) SMA tahun 2025 adalah untuk Matematika, 36,1. Sementara nilai TKA untuk Bahasa Inggris 24,93 dan Bahasa Indonesia 55,38.

Selain itu, mata pelajaran pilihan dengan rata-rata nilai rendah antara lain Ekonomi, Kimia, Fisika, dan beberapa mata pelajaran bahasa asing, seperti Bahasa Jerman, Bahasa Korea, dan Bahasa Perancis. Nilai TKA untuk semua mata pelajaran tersebut di bawah 35.

Sementara rata-rata nilai TKA yang cukup baik ada pada mata pelajaran Antropologi (70,4), Geografi (70,3), Bahasa Indonesia Tingkat Lanjut (68), serta Sejarah (62,7), Sosiologi (60), dan Bahasa Arab (64,9).

Nilai TKA yang rendah ini mengonfirmasi hasil asesmen nasional dan skor PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia.

Hasil PISA Indonesia cenderung berada di bawah rata-rata negara Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dengan skor 359 (membaca), 366 (matematika), dan 383 (sains) pada tahun 2022, menempatkan Indonesia di peringkat ke-70 dari 80 negara.

Baca JugaNilai Tes Kemampuan Akademik Matematika dan Bahasa Sangat Rendah
Apa penyebab rendahnya nilai matematika dan Bahasa Inggris dalam TKA?

Salah satu faktor penyebab rendahnya nilai TKA tersebut, khususnya pada mata pelajaran Matematika, adalah kemampuan murid untuk mentransformasikan masalah kontekstual ke dalam model atau persamaan Matematika yang masih rendah.

Hal ini disebabkan soal yang dibuat tidak hanya berorientasi pada penguasaan konsep, tetapi juga kemampuan menerapkan pengetahuan dan melakukan penalaran untuk memecahkan masalah. Soal-soal TKA menuntut murid untuk mengintegrasikan pengetahuan konseptual dan keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim berpandangan, numerasi dan literasi harus terus dibenahi dari jenjang pendidikan dasar sebab dua hal ini selama ini belum disentuh. Hasil TKA rendah pada SMA ini karena fondasinya yang belum utuh dan kuat.

Selama ini, guru-guru kita baru sebatas mengajar kemampuan tingkat rendah. Mengacu pada PISA, kita baru level satu, negara Organisasi Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) lain sudah level empat. Jadi, mereka sekolah, tetapi tidak belajar. Kemampuan anak-anak kita itu baru sebatas mengingat atau menghafal,

Baca JugaTes Kemampuan Akademik, Cermin Baru Mutu Pendidikan
Ada dampak dari rendahnya nilai TKA tersebut?

Kemendikdasmen menyatakan bahwa transparansi penyampaian hasil TKA ini bukan untuk membandingkan capaian belajar siswa di Indonesia, melainkan komitmen pemerintah untuk membuka ruang dialog publik demi memajukan pendidikan secara kolektif. Harapannya, semua pihak bisa turut terlibat.

Kemendikdasmen tak membebankan sepenuhnya masalah rendahnya capaian nilai TKA Matematika dan Bahasa Inggris kepada para siswa. Sebab, murid kelas 12 SMA baru pertama kali mengikuti TKA. Artinya, murid belum menerapkan pendekatan pembelajaran mendalam yang baru diterapkan setahun terakhir.

Hasil TKA juga tidak dimaksudkan untuk memberi label, memeringkat sekolah, atau perbandingan daerah dengan makna yang sempit. Hasil TKA berfungsi sebagai cermin bersama untuk memahami kebutuhan nyata pembelajaran di kelas.

Hasil TKA ini akan menjadi bahan evaluasi kebijakan, penguatan pendampingan untuk seluruh satuan pendidikan, dan juga peningkatan kualitas pembelajaran ke depan, terutama dengan implementasi pembelajaran mendalam.

Meski TKA tidak wajib diikuti murid, sertifikat hasil TKA bisa digunakan sebagai dasar seleksi jalur prestasi dalam sistem penerimaan murid baru (SPMB) jenjang SMP, SMA, dan SMK. Selain itu, TKA bisa juga menjadi salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk perguruan tinggi jalur prestasi.

Baca JugaHasil Tes Kemampuan Akademik Berisiko Jadi Ajang Komersialisasi dan Labelisasi Sekolah
Apa yang bisa orangtua, sekolah, dan pemerintah lakukan untuk mengatasi masalah ini?

Langkah perbaikan capaian hasil TKA bisa dilakukan dengan meningkatkan kualitas guru dan metode pembelajaran yang diterapkan. Pelatihan guru yang komprehensif sangat diperlukan agar metode ajarnya relevan dengan kebutuhan pelajar masa kini.

Metode pembelajaran mendalam yang tengah dijalankan Kemendikdasmen, jika diterapkan dengan benar, seharusnya bisa menjawab persoalan tersebut. Pembelajaran tidak boleh lagi hanya dengan metode menghafal, tetapi memahami dan kontekstual.

TKA menjadi standardisasi nasional, padahal seharusnya yang perlu distandarkan bukan muridnya terlebih dahulu, melainkan sekolah dan gurunya. Sebab, kualitas pendidikan di Indonesia sangat timpang antardaerah, baik dari segi fasilitas, akses teknologi, maupun kualitas tenaga pengajar.

Dengan kondisi yang tidak setara, tes dengan standar nasional justru menekan siswa di daerah tertinggal dan menguntungkan sekolah-sekolah yang sudah memiliki sumber daya baik. Tes ini akan menekan sekolah-sekolah dengan fasilitas minim, sekaligus menguntungkan lembaga bimbel komersial.

Baca JugaMeski TKA Tak Wajib, Sertifikatnya Bisa Dipakai Lanjut Studi Jalur Prestasi

Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Seskab Teddy Usul ke Dirut KAI Stasiun Gambir Dikembangkan
• 6 jam lalurepublika.co.id
thumb
Catat! Pengunjung Ragunan Dilarang Lakukan Hal Ini
• 6 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Jelang Natal, Polda Metro Kerahkan Jibom hingga Anjing K9 Sterilisasi Gereja
• 1 menit laluokezone.com
thumb
Direksi dan Komisaris Waskita Karya (WSKT) Dirombak, Ini Susunan Terbarunya
• 8 jam lalukatadata.co.id
thumb
Pelapor Ogah Damai dengan Resbob, Tegaskan Tak Akan Cabut Laporan
• 15 jam laludetik.com
Berhasil disimpan.