Lanskap Baru Gerakan Mahasiswa

kumparan.com
9 jam lalu
Cover Berita

Getaran gerakan sosial pada penghujung dekade kedua abad ke-21 meninggalkan sebuah citra yang tak mudah dilupakan: lautan jaket almamater yang berhadapan dengan barikade polisi, gas air mata yang memerihkan mata, dan tuntutan yang diteriakkan serempak. Itu adalah potret klasik perlawanan mahasiswa, sebuah ritual politik yang diwariskan dari generasi ke generasi, dari Malari 1974 hingga Reformasi 1998.

Namun, jika kita amati lebih saksama, terutama pada gelombang protes seperti #ReformasiDikorupsi pada 2019 atau penolakan UU Cipta Kerja dan semakin terlihat dengan demonstrasi besar di bulan Agustus- September 2025, ada sesuatu yang telah bergeser secara fundamental. Lanskap gerakan telah berubah. Ia tidak lagi dimonopoli oleh menara gading universitas; arenanya telah meluas ke ruang-ruang digital yang efemeral (sementara, singkat), dan aktornya pun kian beragam.

Panggung perlawanan kini tak lagi hanya mimbar bebas di pelataran kampus atau rapat-rapat konsolidasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Panggung utamanya telah berpindah ke sebuah agora digital yang riuh rendah: TikTok, Instagram Live, dan X (sebelumnya Twitter). Di sinilah narasi dibangun, kemarahan dipupuk, dan panggilan aksi disebarluaskan dengan kecepatan yang tak pernah terbayangkan oleh para aktivis dekade lalu.

Logika gerakan pun turut berubah. Jika dulu gerakan dibangun di atas fondasi ideologi yang kokoh, kajian mendalam, dan rilis pers yang terstruktur, kini ia lebih banyak didorong oleh konten viral yang menggugah emosi. Video berdurasi singkat di TikTok yang menampilkan potongan pernyataan kontroversial pejabat publik, atau cuplikan aksi represif aparat, terbukti jauh lebih efektif dalam memobilisasi massa ketimbang puluhan halaman kajian akademis.

Tiktok dan Instagram Live dari garis depan demonstrasi menciptakan sensasi kehadiran dan urgensi kolektif, menarik ribuan pasang mata untuk menjadi saksi—dan kemudian, partisipan dari aksi-aksi yang tak hanya berlangsung di kota besar tapi juga di kota-kota kecil bahkan kita yang dulunya tidak terdengar gaung aksinya.

Algoritma menjadi panglima baru. Ia menentukan narasi mana yang akan mengemuka, tagar mana yang menjadi tren, dan pada akhirnya, isu apa yang layak untuk diperjuangkan di jalanan. Gerakan tidak lagi sepenuhnya lahir dari ruang-ruang diskusi yang hening, melainkan dari gemuruh algoritma yang dinamis dan sering kali tak terduga.

Simpul Baru: Influencer dan Pelajar STM

Perubahan medium ini secara alamiah melahirkan aktor-aktor baru yang mengambil peran sentral. Posisi juru bicara gerakan yang secara tradisional diisi oleh ketua BEM atau koordinator lapangan kini sering kali diisi—atau setidaknya ditopang—oleh para influencer dan kreator konten. Mereka adalah simpul-simpul informasi baru yang memiliki jangkauan audiens ribuan kali lipat lebih besar daripada buletin kampus paling populer sekalipun.

Ketika seorang influencer dengan jutaan pengikut menyuarakan sebuah tagar atau mengunggah konten yang mengkritik kebijakan, dampaknya bersifat eksponensial. Mereka mungkin tidak memiliki kedalaman ideologis seorang aktivis kawakan, tetapi mereka menguasai bahasa audiensnya. Mereka mampu menerjemahkan isu-isu kompleks—seperti perampasan aset koruptor, "pembubaran" DPR, pelemahan KPK atau pasal-pasal kontroversial dalam sebuah undang-undang—menjadi slogan, meme, dan narasi yang mudah dicerna dan dibagikan. Dukungan mereka memberikan legitimasi populis dan, yang terpenting, menarik segmen masyarakat yang selama ini apolitis untuk setidaknya menaruh perhatian.

Di sisi lain, lanskap baru ini juga menyorot kehadiran massa yang tak terduga: para pelajar, khususnya dari Sekolah Teknik Menengah (STM)/ Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Dalam banyak aksi besar belakangan ini, justru mereka yang sering kali tampil di garis depan, menunjukkan "keberanian" yang melampaui kakak-kakak mereka di universitas. Mengenakan seragam abu-abu atau dalam demo sekarang berkaos hitam, mereka menjadi simbol perlawanan yang lebih spontan, dan tanpa beban.

Mengapa ini terjadi? Mahasiswa, terutama para pimpinan BEM, terikat pada birokrasi kampus, kalkulasi politik jangka panjang, dan citra institusional. Gerakan mereka cenderung lebih terukur dan prosedural. Sebaliknya, para pelajar STM datang dengan lebih sedikit beban. Mereka terorganisasi secara informal melalui grup-grup media sosial, bergerak dalam solidaritas korps yang kuat, dan memiliki toleransi risiko yang lebih tinggi. Kehadiran mereka adalah dekonstruksi atas mitos bahwa jalanan adalah monopoli mahasiswa. Mereka membuktikan bahwa kegelisahan sosial telah merembes jauh ke bawah, menjangkau generasi yang sering kali dianggap hanya peduli pada gawai dan tren sesaat.

Orkestrasi Senyap di Balik Layar?

Spontanitas yang tampak di permukaan ini, bagaimanapun, memunculkan sebuah pertanyaan kritis. Apakah gelombang kemarahan digital dan keberanian kolektif ini murni organik? Atau, ada "tangan-tangan tak terlihat" yang bekerja di belakang layar? Di sinilah kita perlu mempertimbangkan kemungkinan adanya desain oleh para "profesional" yang memahami betul psikologi massa dan dinamika media sosial.

Di era di mana data adalah komoditas dan perhatian adalah mata uang, mobilisasi massa dapat dirancang layaknya sebuah kampanye pemasaran viral. Para profesional ini—bisa jadi konsultan politik, agensi digital, atau kelompok kepentingan tertentu—memahami cara kerja algoritma, mengetahui titik picu emosi publik, dan mampu menciptakan narasi tandingan yang efektif.

Mereka tahu kapan harus melempar sebuah isu, bagaimana membingkainya agar menjadi perbincangan, dan influencer mana yang paling efektif untuk mengamplifikasinya. Mereka bisa jadi yang merancang meme-meme cerdas, mengidentifikasi "musuh bersama" untuk menyatukan sentimen, dan memastikan sebuah tagar terus bertahan di puncak tren. Ini bukan lagi sekadar aktivisme; ini adalah perpaduan antara sosiologi, psikologi komunikasi, dan big data analysis. Orkestrasi ini tidak selalu bersifat transaksional atau diperintah langsung oleh satu aktor tunggal.

Ia bisa saja bekerja secara lebih cair, di mana berbagai kepentingan bertemu dalam satu momentum dan saling memanfaatkan gelombang yang ada. Fenomena ini, seperti yang didokumentasikan oleh para peneliti tentang aktivisme digital, menunjukkan adanya ketegangan antara mobilisasi horizontal yang otentik dan potensi manipulasi vertikal oleh aktor-aktor tertentu (Tufekci: 2017).

Kehadiran desain profesional ini mengaburkan batas antara gerakan organik dan gerakan yang dimanufaktur. Ia menghadirkan tantangan baru: bagaimana kita membedakan kemarahan publik yang otentik dari kemarahan yang sengaja direkayasa untuk tujuan politik tertentu?

Sebuah Babak Baru

Lanskap baru gerakan mahasiswa—dan gerakan sosial pada umumnya—telah tiba. Ia bersifat hibrida, menggabungkan energi jalanan dengan jangkauan digital. Ia lebih cair, tidak terpusat, dan dimotori oleh aktor-aktor non-tradisional. Di satu sisi, ini adalah demokratisasi gerakan. Siapa pun yang memiliki ponsel pintar dan koneksi internet kini berpotensi menjadi penyebar api perlawanan.

Namun, di sisi lain, lanskap ini menyimpan kerentanan. Gerakan yang lahir dari tren media sosial cenderung berumur pendek, cepat menyala namun juga cepat padam. Ia rentan terhadap de-ideologisasi, di mana substansi tuntutan tergantikan oleh pertunjukan dan perburuan viralitas. Ia juga sangat rentan disusupi oleh disinformasi dan operasi pengaruh yang dirancang untuk memecah belah atau membajak arah gerakan.

Gerakan mahasiswa kini berada di persimpangan jalan. Jaket almamater mungkin masih menjadi simbol yang kuat, tetapi ia tidak lagi menjadi satu-satunya penanda perlawanan. Tantangan bagi para aktivis hari ini bukanlah menolak perubahan ini, melainkan beradaptasi dengannya. Bagaimana caranya memadukan energi mentah dari agora digital dengan kedalaman strategis dan keteguhan ideologis dari model gerakan yang lama? Menemukan jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan tidak hanya relevansi gerakan mahasiswa ke depan, tetapi juga arah denyut demokrasi di Indonesia.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pramono Beri Subsidi Khusus Pekerja Jakarta, Pangan hingga Transportasi
• 7 jam laluidntimes.com
thumb
Polda Metro Jaya Bongkar Pengoplosan Gas Elpiji di Jakarta Timur dan Depok, 3 Orang Jadi Tersangka
• 7 jam lalukompas.tv
thumb
Indonesia’s Embassy Files Police Report After Bonnie Blue Disrespects Flag in London
• 4 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Alexander Isak Absen Berbulan-bulan Akibat Patah Kaki,  Arne Slot Kecam Tekel "Sembrono" Micky van de Ven
• 18 jam lalumediaindonesia.com
thumb
Ridwan Kamil Mohon Ampun Ketiga Perempuan Ini, Ngaku Khilaf Selama 29 Tahun
• 2 jam laluviva.co.id
Berhasil disimpan.