Fenomena “traktir donat ketika resign” merupakan praktik yang cukup umum di berbagai lingkungan kerja. Sekilas, tindakan tersebut terlihat sebagai gestur ringan untuk berpamitan. Namun, jika dibaca melalui pendekatan tradisi sosiokultural dalam ilmu komunikasi, praktik ini dapat dipahami sebagai ritual komunikasi yang membantu membentuk makna bersama tentang perpisahan, relasi kerja, serta posisi sosial seseorang setelah keluar dari organisasi.
Dalam tradisi sosiokultural, komunikasi tidak dipahami semata sebagai proses penyampaian informasi, melainkan sebagai proses simbolik yang terhubung dengan budaya, norma, dan relasi sosial. Dengan kata lain, komunikasi dilihat sebagai tindakan sosial yang ikut “mengorganisasi” kehidupan bersama melalui kebiasaan, simbol, dan interaksi sehari-hari. Di dalam konteks ini, donat tidak hanya berfungsi sebagai makanan, tetapi juga sebagai simbol yang menandai perubahan status dan menegosiasikan hubungan sosial di lingkungan kerja.
Donat sebagai ritual komunikasi: komunikasi sebagai pemeliharaan kebersamaanJika merujuk pada gagasan komunikasi sebagai ritual (Carey), tindakan traktir dapat dipahami sebagai cara untuk menjaga kohesi sosial, bukan terutama untuk menyampaikan pesan informatif. Pada momen resign, terdapat potensi ketegangan karena resign dapat ditafsirkan sebagai bentuk konflik, ketidakpuasan, atau pengkhianatan terhadap tim. Melalui ritual “donat resign”, suasana perpisahan diarahkan menjadi lebih ringan dan dapat diterima oleh kelompok.
Dalam kerangka ini, traktir donat berfungsi sebagai media partisipasi sosial: rekan kerja datang, mengambil donat, mengucapkan selamat, bercanda, atau berfoto. Seluruh rangkaian interaksi tersebut menghasilkan kesan bahwa perpisahan terjadi secara baik-baik. Dengan demikian, praktik ini membantu organisasi menjaga narasi harmoni dan stabilitas dalam kelompok.
Menjaga muka dan mengelola emosi: facework dalam interaksi resignDalam konteks interaksi sosial, Goffman menjelaskan konsep facework sebagai upaya menjaga “muka” atau citra diri agar interaksi tetap berjalan tanpa memunculkan rasa malu atau konflik terbuka. Praktik traktir donat dapat dipahami sebagai bentuk facework dari pihak yang resign sekaligus dari pihak yang ditinggalkan.
Dari sudut pandang individu yang resign, donat dapat menjadi cara untuk menampilkan citra “pamitan baik-baik” dan mencegah interpretasi negatif. Sementara itu, bagi tim atau organisasi, momen donat dapat membantu menjaga citra bahwa lingkungan kerja tetap kondusif dan tidak ada persoalan struktural yang perlu dibicarakan secara terbuka. Dengan demikian, praktik ini bekerja sebagai alat pengelolaan emosi kolektif agar perpisahan tidak menimbulkan ketidaknyamanan sosial.
Hadiah sebagai kewajiban sosial: dimensi norma dan kontrol sosialWalaupun sering dianggap sebagai tindakan sukarela, praktik traktir donat juga memiliki unsur kewajiban sosial. Mauss dalam kajiannya tentang hadiah menekankan bahwa “pemberian” dalam banyak konteks sosial tidak sepenuhnya bebas, karena terdapat norma untuk memberi, menerima, dan membalas. Dalam budaya organisasi, norma ini bisa berwujud tekanan halus seperti ungkapan “tidak enak kalau tidak traktir” atau penilaian sosial bahwa seseorang tidak sopan bila tidak mengikuti kebiasaan.
Pada titik ini, donat resign tidak hanya menjadi simbol perpisahan, tetapi juga menjadi alat sosial untuk menentukan apakah seseorang dianggap “beretika”, “menghargai tim”, atau “tidak tahu budaya kantor”. Dampaknya, tradisi ini berpotensi menjadi mekanisme kontrol sosial yang bekerja lewat penilaian reputasi dan gosip, bukan melalui aturan formal.
KesimpulanSecara sosial, tradisi traktir donat saat resign memiliki fungsi: ia membantu menutup relasi kerja, menjaga suasana, serta mengurangi potensi konflik terbuka. Namun, fungsi tersebut tidak netral karena dapat memproduksi kewajiban sosial, terutama ketika tradisi berubah dari kebiasaan opsional menjadi norma yang “harus” diikuti.
Oleh karena itu, pembahasan ini tidak harus berujung pada penolakan tradisi. Alternatif yang lebih adil dapat dipertimbangkan, misalnya perpisahan model potluck (yang tinggal membawa makanan), dana perpisahan dari tim/organisasi, atau bentuk apresiasi non-material yang lebih bermanfaat bagi individu yang resign (misalnya surat rekomendasi, endorsement profesional, atau ucapan apresiasi kolektif yang substansial).




