Bukan Cuma Polisi, Anthony Budiawan Desak Kejaksaan dan Kehakiman Ikut Direformasi, Alasannya Masuk Akal

fajar.co.id
8 jam lalu
Cover Berita

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menyebut, reformasi penegakan hukum di Indonesia tidak boleh berhenti pada institusi Kepolisian semata.

Dikatakan Anthony, Kejaksaan hingga lembaga kehakiman juga harus dibenahi secara menyeluruh.

Ia menegaskan, secara normatif Indonesia memang mengklaim diri sebagai negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Namun dalam praktiknya, prinsip tersebut dinilai hanya menjadi hiasan konstitusi.

“Negara Indonesia adalah negara hukum, hanya ada di atas kertas, sebagai hiasan konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,” ujar Anthony kepada fajar.co.id, Rabu (25/12/2025).

Ia menekankan, hukum kerap tidak menyentuh kelompok elite yang memiliki kekuasaan dan sumber daya ekonomi. Sebaliknya, hukum justru tampil keras kepada masyarakat kecil.

“Faktanya, hukum tidak berlaku bagi para elit yang mempunyai uang dan kuasa. Hukum adalah apa yang dikatakan penguasa dan penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman,” ucapnya.

Bahkan, kata Anthony, dalam kondisi tertentu Mahkamah Konstitusi pun tak luput dari sorotan. Ia menyebut praktik penegakan hukum di Indonesia mendekati konsep absolutisme kekuasaan.

“Kadang-kala termasuk Mahkamah Konstitusi. Frasa ‘I am the Law’, L’État, c’est moi, mendekati fakta nyata di Indonesia,” tegasnya.

Sebaliknya, hukum justru sangat tajam ketika menyasar rakyat kecil. Anthony mencontohkan kasus seorang kakek berusia 71 tahun yang dituntut dua tahun penjara karena menangkap lima ekor burung candet di Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur.

“Alasannya, kakek melanggar UU konservasi. Sedangkan yang melanggar UU konservasi di Taman Nasional lainnya yang mengakibatkan bencana yang menenggelamkan puluhan desa dan menewaskan lebih dari seribu nyawa di tiga provinsi, masih aman-aman saja. Itulah fakta hukum Indonesia,” ungkapnya.

Lebih jauh, Anthony mengatakan bahwa hukum kerap dijadikan alat politik untuk menekan pihak-pihak yang tidak sejalan, bahkan sebagai sarana pemerasan.

“Lebih parah lagi, hukum dijadikan alat politik, untuk menghukum para pihak yang tidak sejalan atau sepaham. Tidak jarang hukum juga dijadikan alat pemerasan,” katanya.

Ia menjelaskan, hampir semua pejabat negara, termasuk pejabat BUMN, bisa dengan mudah dijerat kasus korupsi hanya dengan dalih merugikan keuangan negara.

“Kalau tidak terbukti memperkaya diri sendiri, artinya tidak ada suap atau gratifikasi, maka tuduhan beralih menjadi memperkaya orang lain. Meskipun, semua itu murni urusan bisnis semata,” imbuhnya.

Anthony juga menyinggung perhitungan kerugian negara yang kerap dianggap tidak nyata dan sarat rekayasa.

“Perhitungan kerugian keuangan negara bisa dicari-cari: dari tidak ada bisa diada-adakan. Artinya, kerugian keuangan negara tidak nyata, hanya Ilusi. Alias Rekayasa,” tegasnya.

Ia mengutip pernyataan mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang menyebut dakwaan semacam ini masuk kategori kriminalisasi. Kata Anthony, indikasi tersebut tampak dalam sejumlah kasus besar.

“Beberapa kasus dakwaan tindak pidana korupsi nampaknya memenuhi unsur kriminalisasi seperti dimaksud Hendarman Supandji,” tukasnya.

Anthony juga menaruh perhatiannya pada kasus mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan mantan Dirut ASDP Ira Puspadewi yang, menurutnya, tidak terbukti menerima suap atau gratifikasi.

“Keduanya, tidak menerima suap atau gratifikasi: artinya, tidak melakukan korupsi,” terangnya.

Meski demikian, keduanya sempat divonis bersalah hingga akhirnya dikoreksi Presiden Prabowo Subianto.

“Tom Lembong diberi abolisi, Ira Puspadewi diberi rehabilitasi,” lanjut Anthony.

Namun ia menegaskan bahwa kejanggalan tetap terjadi karena pihak-pihak lain dalam perkara tersebut masih dinyatakan bersalah.

“Ini merupakan bentuk kriminalisasi secara terang benderang,” Anthony menuturkan.

Bukan hanya itu, Anthony juga menarik contoh lain pada kasus jasa pemurnian emas PT Antam hingga perkara dugaan korupsi pengadaan Chromebook di era Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim, serta kasus pengusaha BBM Kerry Adrianto Riza.

Baginya, pola yang muncul hampir seragam: tidak ditemukan suap atau gratifikasi, namun tetap dijerat dengan dalih merugikan keuangan negara.

“Tentu saja penegakan hukum seperti ini menimbulkan tanda tanya besar, dan patut diduga ada upaya kriminalisasi,” tandasnya.

Ia mempertanyakan konsistensi penegakan hukum, terutama terhadap proyek-proyek besar yang dinilai mubazir namun tidak tersentuh hukum.

“Bagaimana dengan status Bandara Kertajati, atau IKN, atau Kereta Cepat Jakarta Bandung, atau banyak pengadaan infrastruktur lainnya yang nyata-nyata tidak diperlukan dan mubazir, dan terbukti merugikan keuangan negara?,” timpalnya.

Anthony bilang, perhatian publik terhadap kasus Nadiem dan Kerry penting untuk memastikan hukum ditegakkan secara adil dan tanpa tebang pilih.

“Nadiem dan Kerry mungkin tidak populer di mata masyarakat Indonesia. Tetapi, kebenaran harus ditegakkan tanpa tebang pilih,” kuncinya.

(Muhsin/fajar)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pemprov Jateng Tetapkan UMP 2026 Rp2.327.386, Naik Rp158 Ribu
• 3 jam lalukompas.tv
thumb
China Kecam Daftar Hitam Drone Asing Milik AS
• 18 jam laluwartaekonomi.co.id
thumb
Cara BTN Pertegas Komitmen Dukung Keberlanjutan Lingkungan
• 17 menit laluviva.co.id
thumb
Psikolog Sebut Trauma Healing Belum Bisa Dilakukan untuk Korban Banjir, Apa Sebabnya?
• 42 menit lalujpnn.com
thumb
Prabowo: Puluhan Tahun Perambah Hutan Hina Negara, Anggap Pejabat Bisa Disogok
• 7 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.