EtIndonesia. Sekitar tahun 2008, perekonomian global mengalami penurunan tajam. Demi menghemat pengeluaran, banyak orang mulai mengubah kebiasaan konsumsi mereka—tidak lagi rutin pergi ke kafe untuk minum kopi. Perubahan ini memberikan pukulan telak bagi jaringan kedai kopi terbesar di dunia, Starbucks, yang mengalami penurunan pendapatan secara signifikan.
Untuk membawa Starbucks keluar dari krisis, sang pendiri, Howard Schultz, kembali ke perusahaan setelah delapan tahun meninggalkannya dan kembali menjabat sebagai CEO, bertekad menyelamatkan perusahaan dari keterpurukan.
Saat Schultz kembali, Starbucks berada pada titik terendah. Laba dan pendapatan merosot tajam, harga saham anjlok drastis, dan perusahaan berada di ambang ancaman akuisisi. Namun, alih-alih langsung melakukan perombakan besar-besaran atau menyusun kebijakan keuangan baru, Schultz memilih memulai dari hal-hal kecil—mengencangkan ikat pinggang dan mencari sumber penghematan dari detail operasional.
Setelah melakukan pengamatan menyeluruh, Schultz menemukan bahwa banyak pemborosan terjadi justru pada hal-hal sepele. Demi menghasilkan secangkir kopi dengan cita rasa sempurna, para barista sering kali harus mencoba berulang kali perbandingan susu dan gula. Masalahnya, takaran susu sulit dikontrol—sedikit saja lengah, susu bisa tertuang berlebihan. Untuk menjaga kualitas rasa, kopi yang sudah terlanjur tidak sesuai standar sering kali dibuang dan dibuat ulang. Jika dihitung secara keseluruhan, pemborosan bahan baku ini mencapai puluhan juta dolar setiap tahun.
Schultz pun mendorong seluruh karyawan untuk berpikir bersama, mencari solusi atas kebocoran kecil yang berdampak besar ini.
Seorang karyawan kemudian mengusulkan ide sederhana namun brilian: memasang cincin bergerigi di bagian dalam teko susu agar barista lebih mudah mengontrol jumlah susu yang dituangkan. Kantor pusat Starbucks menguji ide tersebut dan menemukan bahwa cara ini memang efektif mengurangi pemborosan. Karyawan tersebut pun diberi penghargaan besar, dan seluruh teko susu di gerai Starbucks kemudian dimodifikasi dengan desain serupa.
Hanya dari satu perubahan kecil ini saja, perusahaan berhasil menghemat jutaan dolar. Keberhasilan tersebut memicu semangat inovasi di kalangan karyawan. Ide-ide perbaikan lain pun bermunculan, semuanya berfokus pada penyempurnaan detail.
Di bawah dorongan Schultz, Starbucks terus melakukan berbagai penyesuaian kecil—mulai dari desain meja bar, alur kerja di gerai, hingga peralatan penyeduh kopi lainnya. Serangkaian perbaikan detail ini secara perlahan membantu Starbucks keluar dari krisis. Perusahaan bukan hanya berhasil menghindari akuisisi, tetapi justru tumbuh semakin kuat setelah badai berlalu.
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa Schultz telah menyelamatkan Starbucks untuk kedua kalinya.
Dalam sebuah wawancara dengan majalah Fortune, Schultz pernah berkata: “Apa istimewanya sebuah teko susu? Namun di Starbucks, benda itu sangat penting. Karena sering kali, hanya dengan menyelesaikan masalah-masalah kecil, barulah kita bisa menemukan sumber keuntungan. Detail, selalu lebih mampu mengubah nasib sebuah perusahaan dibandingkan hal-hal besar lainnya.” (jhn/yn)





