Kerugian ekonomi akibat bencana banjir dan longsor di Sumatera yang ditaksir mencapai Rp 68,67 triliun bukan sekadar angka statistik. Ia adalah alarm keras bagi dunia bisnis Indonesia bahwa model pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan daya dukung lingkungan pada akhirnya justru menjadi beban bagi keberlanjutan usaha itu sendiri.
Selama ini, bencana sering diposisikan sebagai external shock, sesuatu yang datang dari luar kendali ekonomi dan bisnis. Namun, rangkaian peristiwa di Sumatera menunjukkan bahwa banyak bencana justru merupakan produk dari keputusan bisnis dan kebijakan pembangunan yang salah arah, terutama terkait alih fungsi lahan, eksploitasi sumber daya alam, dan lemahnya tata kelola lingkungan.
Ketika Bencana Menjadi Biaya Tersembunyi Dunia UsahaDari perspektif bisnis, bencana Sumatera menghadirkan biaya ekonomi berlapis. Tidak hanya kerusakan fisik aset dan infrastruktur, tetapi juga terhentinya rantai pasok, penurunan daya beli masyarakat, terganggunya logistik, serta meningkatnya biaya operasional dan asuransi. Sektor perkebunan, pertanian, manufaktur, hingga UMKM lokal merasakan dampak langsung berupa gagal panen, distribusi tersendat, dan pasar yang menyusut.
Ironisnya, sebagian pelaku usaha selama ini menikmati keuntungan jangka pendek dari praktik ekstraktif seperti pembukaan lahan besar-besaran, tanpa menghitung biaya jangka panjang yang akhirnya ditanggung bersama oleh negara, masyarakat, dan dunia usaha itu sendiri. Dalam bahasa bisnis, ini adalah contoh nyata bad risk management.
Lingkungan Bukan Beban, tetapi Modal BisnisBencana Sumatera menegaskan satu hal penting: lingkungan adalah modal bisnis, bukan sekadar isu moral atau pelengkap laporan keberlanjutan. Ketika ekosistem rusak, biaya pemulihan selalu jauh lebih mahal dibanding biaya pencegahan. Dunia usaha yang mengabaikan aspek lingkungan sejatinya sedang menanam “bom waktu” bagi kelangsungan bisnis itu sendiri.
Konsep triple bottom line: people, planet, profit, bukan lagi jargon idealis. Dalam konteks ini, planet justru menjadi prasyarat agar profit bisa bertahan. Tanpa sungai yang sehat, hutan yang berfungsi, dan tata ruang yang tertib, stabilitas iklim usaha menjadi rapuh.
Krisis Komunikasi dan Reputasi KorporasiSelain kerugian ekonomi langsung, bencana juga membawa risiko reputasi bagi dunia usaha. Di era keterbukaan informasi, publik semakin kritis terhadap peran korporasi dalam kerusakan lingkungan. Perusahaan yang dianggap abai atau bahkan berkontribusi akan menghadapi tekanan reputasi, boikot konsumen, hingga risiko hukum.
Dalam konteks ini, penguatan komunikasi krisis yang terpadu antara pemerintah pusat, daerah, dan pemangku kepentingan lain akan membantu menciptakan iklim usaha yang lebih stabil, bahkan di tengah situasi darurat.
Dari Tanggap Darurat ke Strategi Bisnis BerkelanjutanBencana Sumatera seharusnya menjadi momentum bagi dunia bisnis untuk melakukan reorientasi strategi. Pertama, integrasi manajemen risiko lingkungan ke dalam keputusan investasi dan ekspansi usaha. Kedua, keterlibatan aktif dalam rehabilitasi ekosistem sebagai bagian dari strategi keberlanjutan, bukan sekadar CSR simbolik. Ketiga, kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat dalam membangun sistem mitigasi yang preventif.
Bisnis yang bertahan di masa depan bukanlah yang paling cepat mengeksploitasi, melainkan yang paling mampu beradaptasi dan menghitung risiko jangka panjang.
PenutupBencana Sumatera mengajarkan bahwa keuntungan yang dibangun di atas kerusakan lingkungan adalah keuntungan semu. Dalam jangka panjang, ia akan kembali sebagai kerugian kolektif (bersama), baik bagi negara, masyarakat, maupun dunia usaha. Jika bisnis ingin tetap relevan dan berkelanjutan, maka perubahan cara pandang bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.




