Job Hugging: Ketika Karyawan “Memeluk” Pekerjaannya dan Kenapa Itu Berbahaya?

kumparan.com
4 jam lalu
Cover Berita

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia kerja mengalami perubahan cepat dengan munculnya tren baru bernama job hugging. Fenomena ini terjadi ketika karyawan memilih bertahan di pekerjaan saat ini, bukan karena puas, tetapi karena takut menghadapi ketidakpastian pasar kerja. Dari melambatnya peluang rekrutmen, ancaman otomatisasi AI, hingga tekanan finansial, semua faktor ini mendorong pekerja untuk “memeluk” pekerjaan yang ada demi rasa aman.

Fenomena ini punya latar belakang yang kompleks.

1. Kondisi Pasar Kerja yang Melambat

Data BLS (Bureau of Labor Statistics) mencatat quit rate di AS turun ke level 2,1% pada awal 2025, terendah sejak 2018. Perekrutan juga menurun, sehingga peluang mobilitas kerja makin terbatas.

2. Kekhawatiran terhadap Otomatisasi dan AI

Survei PwC 2024 menunjukkan 37% karyawan global khawatir pekerjaannya akan digantikan oleh teknologi dalam lima tahun mendatang.

3. Tekanan Finansial dan Inflasi

Biaya hidup yang meningkat membuat banyak pekerja takut kehilangan stabilitas penghasilan.

4. Trauma PHK Massal dan Gejolak Sosial

Gelombang PHK global serta ketidakpastian politik menambah rasa tidak aman bagi banyak pekerja.

Ditambah lagi, trauma sosial akibat PHK massal dan gejolak politik menambah rasa tidak aman kolektif di kalangan pekerja.

Dari sisi psikologi, job hugging sangat selaras dengan teori loss aversion. Manusia lebih takut kehilangan sesuatu yang sudah dimiliki ketimbang mendapatkan hal baru yang mungkin lebih baik. Status quo terasa lebih aman, meskipun tidak memuaskan. Inilah yang membuat banyak pekerja memilih bertahan meskipun tidak berkembang, bahkan ketika mereka tahu pekerjaan itu tidak memberi kepuasan jangka panjang.

Meski sekilas terlihat aman, fenomena ini punya dampak serius baik untuk individu maupun perusahaan. Bagi pekerja, job hugging bisa berarti stagnasi karier. Mereka kehilangan peluang untuk belajar, berkembang, dan mendapatkan pengalaman baru. Dalam jangka panjang, hal ini bisa membuat mereka kalah saing ketika pasar kembali terbuka.

Lebih jauh lagi, bertahan dalam pekerjaan yang tidak memuaskan bisa memicu kelelahan mental. Laporan Gallup 2024 menyebut hanya 23% karyawan global yang merasa engaged dengan pekerjaannya, sementara 62% mengalami disengagement atau burnout tersembunyi. Angka ini selaras dengan meningkatnya gejala silent fatigue di banyak organisasi.

Bagi perusahaan, job hugging juga bukan kabar baik. Talenta yang sebenarnya bisa bergerak ke atas terhambat karena posisi tetap “dipeluk” oleh karyawan yang tidak mau pindah. Mobilitas internal menjadi tersendat, inovasi melemah, dan organisasi terjebak dalam stagnasi. Korn Ferry bahkan memperingatkan bahwa retention tinggi tidak selalu berarti sehat. Tanpa engagement, retention bisa menjadi jebakan yang justru melemahkan daya saing jangka panjang.

Fenomena ini juga berkaitan erat dengan tren lain. Quiet quitting membuat orang tetap ada tapi tanpa komitmen lebih. Presenteeism membuat karyawan hadir secara fisik tetapi tidak sepenuhnya produktif. Silent fatigue membuat mereka tampak baik-baik saja di luar, tetapi kosong di dalam. Semua ini saling berkelindan dan memberi gambaran bahwa dunia kerja modern sedang menghadapi kelelahan kolektif yang lebih halus dan sulit dideteksi.

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Bagi perusahaan, kuncinya adalah membangun psychological safety dan membuka jalur mobilitas internal. Memberi kesempatan reskilling, rotasi pekerjaan, atau proyek lintas tim bisa membantu karyawan berkembang tanpa harus keluar. Transparansi juga penting; kejujuran tentang kondisi bisnis dan peluang karier akan mengurangi ketakutan yang sering diisi oleh rumor. Bagi individu, penting untuk tidak hanya “memeluk” pekerjaan, tapi juga aktif merencanakan masa depan. Audit karier secara berkala, siapkan dana darurat, kembangkan skill baru, dan jaga kesehatan mental. Dengan begitu, keputusan bertahan bukan hanya karena takut, tetapi karena memang strategi yang paling tepat untuk saat ini.

Pada akhirnya, job hugging adalah sinyal, bukan nasib. Ia menunjukkan rasa tidak aman yang sedang meluas, sekaligus peluang untuk berpikir ulang tentang bagaimana kita bekerja, memimpin, dan membangun karier.

Perusahaan yang bisa membaca sinyal ini dengan tepat akan lebih siap bersaing ketika pasar pulih. Sementara bagi para profesional, memahami fenomena ini berarti punya kesempatan untuk mengubah “ketakutan bertahan” menjadi “strategi bertahan hidup yang cerdas.” Dan di atas semua strategi, ada satu kebenaran yang memberi ketenangan: bahwa hidup kita tidak hanya ditentukan oleh kondisi pasar kerja, tetapi ada Tuhan yang memegang kendali.

Rencana-Nya selalu yang terbaik, bahkan ketika jalan tampak buntu. Itu sebabnya, menjaga iman dan percaya pada penyertaan-Nya bisa memberi kita ketenangan di tengah ketidakpastian karena karier hanyalah bagian dari perjalanan, tapi makna sejati ada dalam rancangan-Nya yang indah dan tentunya memberikan impact ke sekitar kita.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kejagung Setor Uang Rp 6,6 Triliun ke Negara
• 7 jam lalujpnn.com
thumb
Jasa Marga Siagakan JMTC dan Teknologi AI untuk Kendalikan Lonjakan Arus Lalu Lintas saat Libur Nataru 2025/2026
• 20 jam lalupantau.com
thumb
Kemenpar Minta Rambu Evakuasi Dipasang di Lokasi Wisata Pandeglang
• 8 jam laludetik.com
thumb
Pemkot Bandung Tambah 25 Mesin Pengolah Sampah dan 1.597 Petugas
• 16 jam lalurepublika.co.id
thumb
BNI Siap Salurkan 17.356 Unit KPR FLPP pada 2026 demi Dukung Program 3 Juta Rumah
• 7 jam laluwartaekonomi.co.id
Berhasil disimpan.