FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pemerhati Politik dan Kebangsaan, Rizal Fadillah, merasa muak terhadap sikap pemerintah dalam menangani bencana alam yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Ia bahkan menyebut Indonesia tengah berada dalam posisi negara miskin tapi sombong.
Rizal menyinggung keputusan pemerintah yang menolak penetapan status bencana nasional, meski skala kerusakan dan penderitaan warga dinilainya sangat serius.
Padahal, menurut dia, sejumlah negara telah menyatakan kesiapan untuk memberikan bantuan.
“Desakan agar ditetapkan sebagai bencana nasional ditolak dan saat negara lain akan membantu, maka Presiden nyatakan kita masih sanggup mengatasi. Sombong sekali. Atau ada yang ditakuti?,” ujar Rizal kepada fajar.co.id, Rabu (24/12/2025).
Ia menuturkan, alasan penolakan bantuan asing patut dipertanyakan. Namun, Rizal memilih tidak mengulas lebih jauh soal kemungkinan ketakutan tertentu di balik kebijakan tersebut.
“Kita abaikan dulu soal ketakutan, karena perlu halaman tersendiri untuk itu,” katanya.
Rizal juga mengaitkan sikap pemerintah dengan apa yang ia sebut sebagai politik mercu suar.
Kata dia, pemerintah terlihat lebih sibuk menampilkan citra kuat ke luar negeri dibanding menyelesaikan persoalan di dalam negeri.
“Kesombongan apakah karena mampu ekspor bantuan ke Brazil? Sesungguhnya rakyat sudah mengetahui politik mercu suar Prabowo. Jago cuap dan aksi kehebatan di luar, di dalam keropos,” sindirnya.
Ia menegaskan, klaim pemerintah yang menyebut Indonesia masih mampu menangani bencana Sumatra tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Rizal menggambarkan situasi warga terdampak yang masih jauh dari kata layak.
“Fakta lapangan tidak seindah cuap-cuapnya. Bantuan belepotan dan kesengsaraan rakyat setempat dahsyat. Anak kelaparan, sakit, dan bantuan tak merata,” ungkapnya.
Rizal juga menyinggung minimnya alokasi bantuan untuk kebutuhan dasar anak-anak korban bencana. Ia menyebut anggaran makan anak yang hanya Rp10 ribu per hari sebagai potret kemiskinan negara.
“(Sementara) dana makan anak 10 ribu per hari. Miskin pisan, atuh,” tukasnya.
Lanjut dia, kondisi tersebut bahkan memaksa kepala daerah mencari bantuan dari lembaga internasional.
“Gubernur terpaksa bersurat minta bantuan UNICEF dan UNDP entah dalam atau luar negeri. Tetangga jiran yang siap kirim pun tertahan,” tambah Rizal.
Ia kembali menegaskan, pemerintah pusat terlalu percaya diri hingga enggan menetapkan status bencana nasional.
“Bencana nasional dihindari oleh Prabowo yang sangat percaya atau gengsi diri di tengah kemampuan yang hanya bisa duduk sambil menunggu kebun sawit,” sesalnya.
Rizal juga mempertanyakan keseriusan penanganan bencana yang dinilainya tidak maksimal.
“Keseriusan yang tidak gaspol. Konon informasi dari lingkaran dalam selalu lambat dan kadang tidak akurat,” timpalnya.
Meski demikian, Rizal mengakui secara pribadi Presiden Prabowo Subianto bukanlah sosok yang miskin secara ekonomi.
“Prabowo sebagai pribadi tentu tidak miskin. Sangat kaya dan kekayaannya melimpah, jauh dibanding orang kebanyakan,” kata dia.
Namun, menurut Rizal, Prabowo memimpin negara dengan kondisi ekonomi rakyat yang memprihatinkan.
“Meskipun demikian Prabowo memimpin negara yang ekonominya tertatih-tatih dan brat bret brot. Dengan angka kemiskinan dan pengangguran yang tinggi. Mengerikan jika kita menyelami keadaan rakyat di bawah,” lanjutnya.
Rizal kemudian mengaitkan sikap pemerintah tersebut dengan peringatan moral dan agama. Ia mengingatkan bahwa kesombongan orang miskin merupakan perilaku yang sangat dibenci Tuhan.
“Dalam agama orang miskin tetapi sombong dimurkai Tuhan. Pantas untuk disiksa pedih,” tegasnya.
Ia mengutip hadis Rasulullah SAW tentang tiga golongan manusia yang mendapat ancaman berat di hari kiamat.
“Rasulullah SAW bersabda tiga orang yang Allah enggan berbicara di hari kiamat, tidak bersihkan mereka dari dosa, dan tidak sudi memandang muka mereka. Bagi mereka disiapkan siksa yang pedih (yaitu) orang tua yang berzina, penguasa tukang bohong, dan orang miskin yang sombong,” katanya.
Rizal pun mengingatkan agar para pemimpin, termasuk Presiden Prabowo, tidak terjebak dalam sikap-sikap tersebut.
“Nah, siapapun pemimpin harus waspada pada tiga keadaan ini, tidak terkecuali Indonesia,” Rizal menuturkan.
“Menutup apalagi menolak orang atau institusi atau negara yang mau membantu dimana kita benar-benar dalam kebutuhan darurat, maka itu sama saja dengan perilaku orang miskin yang sombong,” tambahnya.
Rizal bahkan mengingatkan potensi masa depan yang lebih berat jika kondisi ini terus berlanjut.
“Allah akan terus turunkan siksa yang berat. Waspadai 2026 sebagai tahun kegetiran (year of bitterness),” kuncinya. (Muhsin/fajar)




