Manifesto Kaum Rebahan yang Diam-diam Mendirikan Gerakan Anti-Kapitalis

kumparan.com
3 jam lalu
Cover Berita

Kita hidup di bawah tirani jam alarm dan deadline, sebuah tatanan yang mengagungkan kelelahan sebagai lambang kehormatan, dan menuntut agar setiap detik kita diubah menjadi keuntungan atau pencapaian.

Kapitalisme global, dengan mesin produktivitasnya, telah mengkomodifikasi waktu luang, mengubahnya dari kebutuhan manusia menjadi sekadar jeda singkat yang harus segera diisi dengan side hustle atau pengembangan diri berbayar. Di tengah tekanan yang tak terhindarkan ini, lahir sebuah gerakan perlawanan paling sunyi, paling jujur, dan paling radikal: Kaum Rebahan.

Kaum Rebahan bukanlah kaum pemalas; kami adalah aktivis energi kinetik negatif. Kami memilih menolak ilusi kesibukan dengan cara mendeklarasikan Zona Nol Kinerja di ruang-ruang privat kami. Ini adalah pemogokan batin (a mental strike), sebuah penolakan untuk berpartisipasi dalam perlombaan yang didesain agar kita kehabisan napas. Kami menyadari bahwa jika nilai diri diukur dari seberapa banyak yang kita hasilkan, maka kita tidak akan pernah cukup.

Istirahat sebagai Kewajiban Moral

Keputusan untuk merebah adalah tindakan filosofis yang melawan narasi bahwa tubuh harus selalu bekerja. Sebagaimana ditulis oleh Jenny Odell dalam bukunya "How to Do Nothing: Resisting the Attention Economy" (2019), perlawanan sejati sering kali bukan ditemukan dalam tindakan heroik, melainkan dalam upaya untuk menjauh, untuk menolak memberikan perhatian dan energi pada mesin yang terus menuntut. Odell menyarankan bahwa doing nothing—atau dalam konteks kita, merebah—adalah cara untuk mengklaim kembali waktu dan pikiran kita dari jeratan ekonomi perhatian.

Sejarah bahkan mendukung argumen ini. Para filsuf Yunani Kuno sangat menghargai konsep Skhole, yang merupakan waktu luang yang dikhususkan untuk belajar dan refleksi filosofis. Skhole ini kontras dengan A-skhole (tidak ada Skhole), yang secara ironis berevolusi menjadi kata school (sekolah) dalam bahasa Inggris.

Sekolah modern, yang seharusnya menjadi wadah waktu luang unutk mencari kebijaksanaan, malah menjelma menjadi institusi pertama yang membunuh waktu luang—menuntut tugas, nilai, dan kompetisi tanpa henti. Ini adalah ironi terbesar peradaban kita.

Maka, kita butuh Skhole Baru yang diciptakan sendiri, di luar kurikulum dan jam kerja. Bagi kaum Rebahan, istirahat adalah prasyarat untuk kebijaksanaan agar akal sehat berfungsi secara optimal.

Studi Kasus Burnout dan Efeknya

Ironisnya, obsesi terhadap produktivitas justru menghasilkan kontra-produktivitas. Kasus-kasus sindrom Burnout—yang secara resmi diakui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai fenomena pekerjaan yang dihasilkan dari stres kronis yang tidak berhasil dikelola—adalah bukti nyata bahwa tubuh memiliki batas.

Ambil contoh di Jepang dengan fenomena Karoshi (kematian karena kerja berlebihan). Kisah-kisah tragis ini menunjukkan konsekuensi ekstrem dari budaya korporat yang menuntut loyalitas total dan jam kerja yang tidak manusiawi. Kaum Rebahan belajar dari kisah-kisah ini: jika kita tidak menciptakan jeda kita sendiri, sistem akan menghancurkan kita.

Maka, Rebahan adalah tindakan konservasi diri, sebuah keputusan cerdas untuk menjaga sumber daya mental dan fisik. Ini adalah penerapan prinsip Hukum Pengembalian yang Berkurang (Law of Diminishing Returns) yang pada titik tertentu, penambahan jam kerja tidak lagi menghasilkan peningkatan output, melainkan justru penurunan kualitas dan kebahagiaan.

Republik di Balik Pintu: Menciptakan Otonomi Diri

Kaum Rebahan tahu bahwa perubahan besar dimulai dari skala terkecil. Kami membangun Republik Otonom di ruang pribadi kami—kamar tidur, sofa pojok, atau bahkan selimut tebal. Ini adalah zona bebas nilai pasar.

Di sana, Anda tidak diukur dari seberapa banyak Anda telah mencapai, tetapi dari seberapa baik Anda telah beristirahat. Kebahagiaan tidak dicapai melalui pembelian barang mewah, melainkan melalui hak untuk memilih tidak berbuat apa-apa.

Saat kita merebah, kita sejenak keluar dari Matriks tuntutan sosial. Kita tidak lari; kita berakar. Kita memberikan waktu bagi pikiran untuk memproses informasi, bagi emosi untuk mereda, dan bagi tubuh untuk memulihkan diri. Ini adalah revolusi tanpa spanduk, yang dimenangkan hanya dengan menutup mata.

Kerja adalah kewajiban untuk hidup, ya, tetapi rehat sejenak juga adalah bagian dari kebahagiaan, bahkan kewajiban. Karena hanya dalam ketenangan dan kejernihan yang dihasilkan oleh istirahat total, kita bisa kembali pada kewajiban dengan makna yang sejati, bukan sekadar respons otomatis terhadap perintah sistem.

Manifesto ini ditutup dengan seruan: Ambil bantal, rebahkan diri. Jangan merasa bersalah. Anda sedang menangkan revolusi.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Tinjau 2 Gereja, Kapolri Pastikan Pengamanan dan Pelayanan Misa Malam Natal
• 5 jam lalurctiplus.com
thumb
BNPT Gandeng Gus Baha Perkuat Deradikalisasi dengan Pendekatan Islam Wasathiyah dan Dialog Keagamaan
• 18 jam lalupantau.com
thumb
Bulog Catat Realisasi Penyaluran Beras SPHP Capai 784 Ribu Ton
• 4 jam lalukumparan.com
thumb
4 Jaksa Terjaring OTT, Jaksa Agung: Saya Bersyukur Dibantu KPK
• 1 jam laluviva.co.id
thumb
ASI Keluar dari Ketiak, Apa Penyebabnya? Cek di Sini!
• 8 jam lalutheasianparent.com
Berhasil disimpan.