2025; Negara yang terasa di kehidupan sehari-hari

antaranews.com
15 jam lalu
Cover Berita
Jakarta (ANTARA) - Beberapa waktu terakhir, warga perkotaan merasakan satu perubahan kecil yang terasa besar, jalanan menjadi lebih sunyi. Bukan karena lalu lintas lengang, melainkan karena suara tot-tot wuk-wuk sirine pengawalan pejabat yang dulu kerap memekakkan telinga, kini nyaris tak terdengar.

Perubahan ini mungkin tidak tercatat dalam laporan kinerja pemerintah. Tetapi bagi warga, inilah bentuk hadirnya negara yang paling mudah dirasakan.

Sirine kendaraan bukan sekadar bunyi. Ia adalah simbol mengenai relasi kuasa. Ketika suara itu meraung, warga tahu siapa yang harus menepi dan siapa yang didahulukan untuk melaju. Karena itu, ketika bunyi itu menghilang, pesan yang ditangkap oleh publik sederhana: negara sedang belajar menahan diri. Kekuasaan tidak selalu harus ditunjukkan dengan suara keras.

Perubahan kecil semacam ini penting karena ia menandai pergeseran pendekatan. Negara tidak hanya ingin terlihat tegas, tetapi juga ingin terasa dekat. Benang merah inilah yang membantu kita membaca perjalanan kebijakan sepanjang 2025 dan arah yang hendak ditempuh pada 2026.

Tahun 2025 dapat disebut sebagai tahun ketika negara berhenti membiarkan praktik-praktik kekuasaan yang merugikan warga. Isu kualitas minyak goreng, beras, dan bahan bakar minyak, yang selama bertahun-tahun menjadi keluhan publik, akhirnya ditangani secara terbuka.

Praktik oplosan barang dagangan tidak lagi dibungkus dengan bahasa teknis atau diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Presiden Prabowo Subianto sendiri yang mengungkap kasus-kasus ini ke ruang publik.

Bagi warga, ini bukan sekadar soal mutu barang yang mereka beli. Ini soal keadilan sehari-hari. Ketika minyak goreng tidak sesuai dengan standar, beras tidak sepadan dengan labelnya, atau BBM tidak sesuai spesifikasi, kerugiannya langsung dirasakan di dapur rumah tangga dan ongkos hidup. Ketika negara turun tangan memastikan kualitas yang sebenarnya, terasa negara hadir di titik yang paling dekat dengan kehidupan warga.

Perlindungan konsumen seperti ini sering kali luput dari sorotan besar kebijakan, tetapi justru di sinilah kehadiran negara paling nyata. Ia tidak hadir dalam jargon, melainkan dalam rasa aman warga saat berbelanja dan kepastian saat mengisi tangki kendaraan.

Kehadiran negara juga terasa melalui penegakan hukum lingkungan. Penyitaan jutaan hektare lahan sawit ilegal di sekitar kawasan hutan, penertiban tambang tanpa izin, serta perlindungan wilayah sensitif, seperti di Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, menunjukkan perubahan sikap yang tegas.

Bagi warga di daerah terdampak, kebijakan, ini bukan isu abstrak. Kerusakan lingkungan hadir dalam bentuk banjir, longsor, dan hilangnya mata pencaharian. Ketika negara mulai menertibkan, dampaknya, meski berjalan tahap demi tahap, dirasakan langsung oleh warga.

Di luar negeri, 2025 juga menandai kembalinya Indonesia ke panggung global. Kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam defile militer di Prancis, peran aktif di Sidang Umum PBB, hingga tawaran Indonesia dalam resolusi perdamaian Gaza membangun rasa percaya diri nasional. Negara ini kembali diperhitungkan, namun kebanggaan simbolik ini hanya bermakna jika sejalan dengan pengalaman keseharian warga di dalam negeri.

Di bidang ekonomi, 2025 juga dikenal sebagai tahun yang ideal. Kesepakatan dagang lintas kawasan, penguatan transaksi mata uang lokal, hingga QRIS lintas negara menjadi relevan ketika menghadirkan kemudahan nyata bagi masyarakat dan pelaku usaha. Lagi-lagi, negara terasa hadir, bukan karena istilah geopolitik, melainkan karena manfaat yang langsung dirasakan.

Keberanian negara juga tampak dalam keputusan politik, seperti pemberian abolisi dan amnesti oleh Presiden kepada pihak-pihak yang dinilai mengalami kriminalisasi. Kebijakan ini memicu perdebatan, dan itu wajar. Hanya saja, bagi sebagian publik, langkah ini mengirim pesan bahwa negara bersedia mengoreksi proses hukum yang dipersepsikan tidak adil. Negara tidak selalu benar, dan keberanian mengoreksi diri, justru memperkuat legitimasi.

Semua ini membawa perjalanan kita sebagai bangsa ke 2026. Jika 2025 adalah tahun keberanian dan penertiban, maka 2026 harus menjadi tahun responsivitas dan pemenuhan janji. Publik yang telah melihat ketegasan negara, kini menunggu apakah negara juga mau mendengar.

Isu sirine kendaraan pejabat di jalan raya menjadi contoh paling nyata. Ketika keluhan publik tentang tot-tot wuk-wuk direspons dan bunyinya menghilang dari jalanan Jakarta, pesan yang sampai ke warga sangat kuat: negara mendengar. Bukan melalui pidato, melainkan melalui tindakan sederhana yang langsung terasa.

Responsivitas semacam inilah yang akan diuji pada 2026, bersamaan dengan pemenuhan janji program prioritas. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang pada 2025 belum sepenuhnya mencapai target yang dijanjikan akan tuntas pada Juni 2026. Bagi publik, tenggat ini bukan lagi narasi, melainkan janji.

Negara tidak hadir dalam istilah kebijakan. Negara hadir ketika belanja harian warga terasa adil, jalanan terasa manusiawi, dan janji ditepati. Sering kali, kehadiran negara itu dimulai dari hal yang paling sederhana, ketika suara tot-tot wuk-wuk tak lagi mendahului kendaraan warga di jalan raya.



*) Iwan Setiawan adalah Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR)




Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Rekomendasi Destinasi Liburan Tenang di Tengah Ramainya Nataru 2025
• 3 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Sambut Natal, BRI Salurkan Puluhan Ribu Paket Sembako ke Masyarakat
• 11 jam lalucnbcindonesia.com
thumb
Bupati Banyuwangi lakukan patroli pada malam Natal
• 19 jam laluantaranews.com
thumb
PP Penempatan Polisi di Sipil Disetujui Prabowo, Bachrum Achmadi: Keputusan MK Cuma Dipakai Kalau Menguntungkan
• 4 jam lalufajar.co.id
thumb
Natal di Tengah Duka, Puan Maharani Mengajak Masyarakat untuk Empati Korban Bencana
• 12 jam laludisway.id
Berhasil disimpan.