Tahun 2025 layak dicatat sebagai fase penting dalam perjalanan kebijakan publik Indonesia. Bukan karena banyaknya program baru yang diumumkan, melainkan karena satu hal yang lebih mendasar: negara berhenti membiarkan berbagai praktik yang selama bertahun-tahun dianggap “normal”, padahal merugikan kepentingan publik.
Dalam teori kebijakan publik, pembiaran (policy neglect) sering kali lebih berbahaya dibandingkan kebijakan yang salah arah. Ia menciptakan ruang abu-abu—di mana negara hadir secara formal, tetapi absen secara substantif. Tahun 2025 menunjukkan sinyal koreksi terhadap kecenderungan tersebut.
Koreksi ini tidak lahir secara sporadis. Kebijakan publik sepanjang 2025 dapat dibaca sebagai hasil dari gagasan dan perencanaan yang relatif matang, berlandaskan data empiris, dengan ramuan khas pendekatan top down dan bottom up. Orientasinya jelas: kesejahteraan dan keadilan sosial yang lebih merata. Yang menarik, pemerintah tidak terjebak pada euforia kebijakan baru semata, melainkan justru memperkuat pendekatan kebijakan inkremental—meneruskan program-program yang terbukti bermanfaat pada era sebelumnya, namun dengan formula yang lebih partisipatif, adaptif, dan inovatif.
Dalam realitas empiris kebijakan Indonesia sejak kemerdekaan, praktik kebijakan inkremental yang benar-benar dirasakan manfaatnya secara luas baru tampak nyata pada era kepemimpinan Prabowo Subianto. Pendekatan ini tidak hanya berdampak pada kelompok kelas menengah, tetapi secara signifikan menyentuh masyarakat berpenghasilan rendah, masyarakat marginal, warga miskin di pedesaan, serta kelompok-kelompok yang selama ini tersisih oleh struktur ekonomi yang timpang dan dominasi penguasaan modal.
Kita melihatnya dari sektor yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat: kualitas barang publik. Penegakan standar terhadap kualitas BBM, beras, dan minyak goreng menandai perubahan pendekatan negara. Isu ini bukan sekadar teknis atau administratif, melainkan menyangkut hak dasar konsumen dan keadilan kebijakan. Negara tidak lagi menempatkan masyarakat sebagai pihak yang “harus menerima apa adanya”, tetapi sebagai warga negara yang berhak atas kualitas.
Langkah ini penting karena selama bertahun-tahun, persoalan kualitas kerap diperlakukan sebagai isu pasar semata. Padahal, dalam perspektif kebijakan publik, kualitas barang strategis adalah bagian dari tanggung jawab negara untuk melindungi kepentingan umum. Ketika negara memilih untuk tidak membiarkan praktik-praktik yang merugikan konsumen, di situlah negara menjalankan fungsi korektifnya.
Perubahan serupa juga terlihat dalam penegakan hukum di sektor sumber daya alam dan lingkungan. Penertiban lahan sawit ilegal, tambang tanpa izin, serta perlindungan kawasan hutan dan geopark menunjukkan upaya negara untuk mengambil kembali kontrol atas ruang hidup publik. Kebijakan ini berpuncak pada penguatan kerangka regulasi, termasuk melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025.
Dari sudut pandang kebijakan publik, ini adalah upaya reassertion of state authority—negara kembali menegaskan perannya sebagai pengelola kepentingan bersama, bukan sekadar penonton dari dinamika ekonomi yang timpang. Penegakan hukum lingkungan bukan hanya soal ekologi, tetapi juga soal tata kelola, keadilan antargenerasi, dan kepastian kebijakan jangka panjang.
Tentu, langkah-langkah tersebut tidak selalu bebas dari perdebatan. Kebijakan publik yang bersifat korektif hampir selalu memunculkan resistensi, terutama dari pihak-pihak yang selama ini diuntungkan oleh status quo. Namun, justru di situlah letak signifikansi tahun 2025: negara memilih untuk tidak lagi menunda keputusan dengan alasan kompleksitas atau sensitivitas politik.
Menariknya, koreksi kebijakan ini tidak hanya terjadi di dalam negeri, tetapi juga tercermin dalam posisi Indonesia di panggung internasional. Keaktifan kembali Indonesia dalam forum global, inisiatif diplomasi perdamaian, serta berbagai kesepakatan ekonomi strategis menunjukkan bahwa keberanian mengambil sikap di dalam negeri berjalan seiring dengan kepercayaan diri di luar negeri. Negara yang tegas ke dalam biasanya lebih kredibel ke luar.
Namun, penting dicatat bahwa berhenti membiarkan bukanlah tujuan akhir kebijakan publik. Ia adalah titik awal. Tantangan sesungguhnya justru terletak pada fase berikutnya: bagaimana koreksi kebijakan ini dilembagakan agar tidak bergantung pada momentum politik semata.
Di sinilah tahun 2026 akan menjadi krusial. Jika 2025 adalah tahun penertiban dan koreksi, maka 2026 harus menjadi tahun pelembagaan dan delivery. Kebijakan publik tahun 2026 berpotensi menjadi lompatan signifikan dengan daya ungkit tinggi, yang mengarah pada penghayatan lebih konkret atas amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945—yakni pengelolaan ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, serta berkurangnya jurang kesejahteraan antara desa dan kota.
Program-program prioritas—seperti pemenuhan gizi, penguatan ekonomi desa, serta optimalisasi layanan pendidikan dan kesehatan—harus bergerak dari keberanian kebijakan menuju kepastian implementasi. Dalam literatur kebijakan publik, kegagalan seringkali bukan terjadi pada tahap perumusan, melainkan pada tahap implementasi. Karena itu, konsistensi kebijakan akan menjadi ukuran utama keberhasilan fase berikutnya.
Pada akhirnya, publik tidak hanya menilai negara dari seberapa keras ia bersikap, tetapi dari seberapa jauh kebijakan itu memperbaiki kehidupan mereka. Negara yang berhenti membiarkan adalah negara yang mulai memformulasikan orkestrasi kebijakan publik yang utuh—bertumpu pada kesejahteraan ekonomi, keadilan sosial, dan pembangunan berkelanjutan.
Tahun 2025 telah membuka jalan itu. Tantangannya kini adalah memastikan jalan tersebut tidak kembali ditinggalkan.



