Bumi yang Kita Khotbahi, tapi Tak Kita Jaga

kumparan.com
6 jam lalu
Cover Berita

Di kampung saya, sungai kini tak lagi bisa diajak becermin. Airnya keruh, penuh plastik, dan sesekali mengantarkan bau tak sedap yang entah dari mana asalnya. Padahal, dulu sungai adalah tempat anak-anak belajar berenang, ibu-ibu mencuci dengan riang, dan bapak-bapak menakar musim tanam. Sekarang, sungai lebih mirip tempat penitipan dosa kolektif: semua dibuang, tak satu pun mau bertanggung jawab.

Kita sering mengutuk banjir, longsor, dan cuaca yang makin tak bisa ditebak. Namun, kita jarang sekali bertanya dengan jujur: Apakah bencana itu benar-benar datang sendiri, atau kita yang terlalu rajin mengundangnya? Kita menebang dengan semangat, menimbun dengan bangga, lalu heran ketika alam datang menagih dengan cara yang tidak ramah.

Yang menarik, negeri ini bukan kekurangan nasihat moral. Mimbar-mimbar kita penuh dengan khotbah, buku-buku agama dicetak berjilid-jilid, dan ayat suci dikutip di mana-mana. Sayangnya, bumi jarang masuk sebagai jamaah yang perlu diperhatikan. Alam lebih sering diperlakukan sebagai properti, bukan sebagai amanah.

Dalam tradisi Islam, hubungan manusia dengan alam sebenarnya sangat sederhana, tapi tegas: manusia bukan pemilik mutlak, melainkan penjaga. Alam bukan barang habis pakai, melainkan titipan.

Sayangnya, dalam praktik sehari-hari, kita lebih sering bertindak seperti pewaris yang rakus daripada penjaga yang bertanggung jawab. Kita mengambil seolah tidak akan pernah diminta kembali.

Kita gemar menyebut pembangunan sebagai kemajuan, tanpa sempat bertanya siapa yang benar-benar maju dan siapa yang tertinggal. Ketika hutan digunduli, kita menyebutnya investasi. Ketika sungai tercemar, kita menyebutnya konsekuensi. Bahasa kita terlalu sering memoles luka agar tampak seperti prestasi. Dan karena sudah lama dipoles, luka itu dianggap wajar.

Barangkali inilah masalah terbesar kita: kerusakan lingkungan telah dinormalisasi. Ia tidak lagi terasa sebagai kesalahan moral, melainkan sekadar statistik. Kita membicarakan hektare, ton, dan persentase, tapi lupa menyebut rasa bersalah. Padahal dalam etika Islam, merusak keseimbangan adalah soal akhlak, bukan sekadar soal teknis.

Islam sangat berhati-hati terhadap sikap berlebihan. Bahkan, dalam hal yang dibolehkan sekalipun, ada peringatan agar tidak melampaui batas. Namun, keserakahan sering pandai menyamar sebagai kebutuhan. Eksploitasi dibungkus dengan narasi kesejahteraan, sementara dampaknya dititipkan kepada generasi yang belum sempat protes.

Yang ironis, masyarakat kecil sering menjadi pihak yang paling dulu merasakan akibatnya. Ketika banjir datang, yang tenggelam bukan gedung-gedung tinggi, melainkan rumah-rumah sederhana. Ketika tanah longsor terjadi, yang kehilangan bukanlah para pemodal besar, melainkan petani dan warga desa. Alam seakan memilih menagih kepada mereka yang paling sedikit menikmati hasil perusakan.

Di titik ini, agama seharusnya hadir bukan sebagai pengeras suara, melainkan sebagai pengingat nurani. Bukan dengan vonis halal-haram yang kaku, melainkan dengan kesadaran bahwa setiap tindakan terhadap alam adalah tindakan moral. Merusak lingkungan bukan sekadar melanggar aturan, melainkan juga mengkhianati amanah.

Mungkin kita perlu mengubah cara pandang. Alam bukan objek ceramah, melainkan subjek yang ikut menentukan masa depan kita. Menjaga lingkungan bukan tren hijau atau proyek musiman, melainkan bagian dari tanggung jawab spiritual. Ibadah tidak berhenti di sajadah; ia berlanjut pada cara kita memperlakukan tanah, air, dan udara.

Pada akhirnya, masalah lingkungan bukan karena kita kurang pintar, melainkan karena terlalu sering lupa. Lupa bahwa bumi juga punya hak untuk bernapas, lupa bahwa pembangunan tanpa kebijaksanaan hanyalah cara lain untuk mempercepat penyesalan, dan lupa bahwa agama, sejatinya, tidak pernah mengajarkan manusia untuk menaklukkan alam, tetapi untuk hidup berdamai dengannya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Relawan Kemenkeu Peduli dan Bea Cukai Salurkan Bantuan ke Bener Meriah dan Aceh Tengah Usai Akses Terbuka Terbatas
• 2 jam lalupantau.com
thumb
BLT Rp200 Ribu/Bulan Berlanjut, Korban Bencana Sumatra Dapat Bantuan hingga Rp8 Juta
• 1 jam laluwartaekonomi.co.id
thumb
7 Tanaman Hias Pengganti Pohon Natal yang Mirip Cemara untuk Dekorasi Rumah
• 6 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Menkeu Purbaya Sebut Dana Penanganan Bencana Sumatera Tak Ganggu Anggaran MBG
• 17 jam lalukompas.tv
thumb
Kadin: Perjanjian Dagang Eurasia Diversifikasi Ekspor RI di Tengah Tarif Trump
• 23 jam lalubisnis.com
Berhasil disimpan.