FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Rendahnya rerata nilai Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025 kembali memicu polemik.
Setelah Kemendikdasmen menyebut soal Matematika tergolong sederhana, kritik mendadak datang dari berbagai kalangan, termasuk aktivis masyarakat sipil.
Aktivis Kolaborasi Rakyat Jakarta, Andi Sinulingga, mengatakan, pernyataan pemerintah justru menunjukkan persoalan lain yang lebih serius.
Ia menyindir narasi yang dibangun untuk merespons anjloknya capaian akademik siswa, khususnya pada mata pelajaran Matematika yang rerata nilainya hanya berada di kisaran 30-an.
“Bisa dimengerti kenapa industri buzzerp tumbuh subur di negeri ini,” ujar Andi, dikutip di X @andisinulingga (25/12/2025).
Baginya, alih-alih melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan, pemerintah terkesan mencari pembenaran dengan meremehkan persoalan yang ada.
Ia bahkan mempertanyakan pihak-pihak yang diuntungkan dari narasi tersebut.
Andi bilang, framing semacam ini kerap digunakan untuk meredam kritik dan membentuk opini publik.
“Siapa sebenarnya pembeli tetap jasa buzzerp itu?” tandasnya.
Sebelumnya, Kemendikdasmen resmi merilis hasil TKA 2025 untuk jenjang SMA/SMK sederajat.
Hasilnya cukup mengejutkan, terutama pada mata pelajaran wajib. Nilai Matematika dan Bahasa Inggris tercatat anjlok dibandingkan mata pelajaran lainnya.
Data Kemendikdasmen menunjukkan, rata-rata nilai Bahasa Indonesia berada di angka 55,38.
Sementara itu, Matematika hanya mencatatkan rerata 36,10 dan Bahasa Inggris lebih rendah lagi di angka 24,93. Skor TKA sendiri berada pada rentang nilai 0 hingga 100.
Jika dirinci lebih jauh, nilai Matematika Wajib bahkan berada di bawah Matematika Lanjut.
Rata-rata Matematika Lanjut tercatat sebesar 39,32. Kondisi serupa juga terlihat pada Bahasa Inggris Wajib yang tertinggal jauh dari mata pelajaran bahasa pilihan.
Rerata nilai Bahasa Arab mencapai 64,97, Bahasa Jepang 55,21, dan Bahasa Mandarin 57,66.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menegaskan bahwa hasil TKA tersebut bukan untuk menghakimi kemampuan siswa, melainkan menjadi pijakan perbaikan kebijakan pendidikan ke depan.
Menurutnya, TKA memang dirancang untuk memetakan mutu capaian akademik peserta didik secara nasional.
“Kita harapkan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dapat berpijak pada hasil tes ini. Kita menyebutnya dengan evident based policy atau kebijakan yang berbasis bukti, berbasis data,” ucap Mu’ti saat memaparkan hasil TKA di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta, Senin (22/12/2025).
Mu’ti juga menegaskan bahwa TKA tidak menentukan kelulusan siswa. Sebagai bagian dari assessment as learning, penetapan kelulusan sepenuhnya menjadi kewenangan masing-masing satuan pendidikan, berdasarkan evaluasi yang mereka selenggarakan sendiri.
Saat ini, siswa kelas XII pun masih menjalani proses pembelajaran dan mengikuti ujian akhir semester di sekolah masing-masing.
Meski demikian, hasil TKA tetap memiliki peran tersendiri, terutama bagi siswa yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi melalui jalur prestasi.
Nilai TKA akan menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam proses seleksi.
“Namun, bagi mereka yang tidak ikut TKA, itu tidak berarti akhir dunia. Mereka tetap memiliki nilai rapor yang juga menjadi dasar bagi perguruan tinggi dalam menelusuri calon mahasiswa barunya,” pungkas Mu’ti.
(Muhsin/fajar)


