Di tengah masifnya berbagai pilihan transportasi online, Mukhtar (52 tahun) masih bersetia dengan profesinya sebagai sopir bajaj. Profesi itu telah ia lakoni sejak 1995, meninggalkan kampung halamannya di Pemalang, Jawa Tengah, menuju ibu kota Jakarta.
Selama hampir 3 dekade jadi sopir bajaj, Mukhtar mengungkapkan banyak tantangan mesti ia lalui. Terlebih sekarang saat begitu banyak pilihan transportasi daring. Meski hari ke hari penumpangnya kian sepi, Mukhtar mengaku musim hujan jadi berkah tersendiri.
“Kalau musim hujan banyak. Kalau (cuaca) panas kalah sama online (aplikasi ojol), kan dia tarifnya lebih murah,” kata Mukhtar saat kumparan ikut menumpang bajajnya di kawasan Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (23/12).
Menurut Mukhtar, saat cuaca tak menentu dan tiba-tiba turun hujan, para pekerja di ibu kota lebih memilih untuk naik bajaj ketimbang ojek online (ojol).
“Kalau pas lagi mau makan (siang), orang kan takut basah. Kalau tukang bajaj kan ngarep-ngarepnya hujan, tapi yang dirugikan kan ojol,” ujarnya sambil tertawa.
Ia mengakui tarif kendaraan online lebih murah. Meskipun ia juga tidak pernah mematok tarif pasti untuk jasa bajajnya. Alih-alih ada patokan harga, Mukhtar mengambil prinsip yang disebutnya sebagai prinsip ‘suka sama suka’.
“Mau dibawa saya suka, enggak ya wajar, enggak ada paksaan sama penumpang. Deal-dealan,” ujarnya.
Sambil menyetir, Mukhtar juga bercerita bahwa sopir bajaj tak memiliki waktu yang tentu untuk menunggu penumpang.
Sehari-hari, Mukhtar biasanya memang ‘ngetem’ di kawasan Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Sehari bisa lebih dari 14 jam, mulai terbit matahari sampai malam tiba. Meski begitu, jumlah penumpang yang datang dan menggunakan jasanya tak pernah pasti.
“Enggak menentu, kadang sampai 2 jam baru dapat. Saya dari pagi berangkat jam setengah enam, pulang jam 8 malam, itu dapat enggak dapat pulang,” cerita Mukhtar.
Mesti Tetap SetoranHingga kini Mukhtar memang masih menarik bajaj milik orang lain. Sehingga ia memiliki tuntutan untuk setoran. Sementara pendapatan hariannya tak pernah pasti.
Sepinya penumpang ini membuat dia terus memberikan pemahaman kepada pemilik bajaj agar bisa lebih fleksibel soal setoran. Kini ia tak lagi dituntut setoran per hari, namun setoran per minggu.
Meski sepi, Mukhtar berharap dalam sehari tetap bisa mendapat penghasilan kotor sebesar Rp 200 ribu.
“Jadi nanti untuk setoran paling enggak Rp 100 ribu, untuk pendapatan sayanya Rp 100 ribu,” kata Mukhtar.
Sudah Bisa Kuliahkan AnakMeski menghadapi banyak tantangan sebagai sopir bajaj, Mukhtar bercerita mengenai salah satu kebanggaannya. Kebanggaan tersebut adalah berhasil menguliahkan anaknya.
“Sudah lulusan setahun yang lalu, kuliah dia di Yogya, di UAD (Universitas Ahmad Dahlan),” cerita Mukhtar.
Kini, Mukhtar juga bercerita bahwa anaknya tersebut sudah diterima bekerja di salah satu perusahaan multinasional meski ia tak memberi detailnya.
Sementara dirinya tetap bersetia dengan menjadi sopir bajaj. Selain karena faktor usia, ia juga bingung untuk beralih dengan pekerjaan yang sudah dilakoni puluhan tahun.
“Karena sudah tua, profesinya kan mau ganti profesi, profesi apa yang kita mampu? Karena setara (sepantaran) anak saya aja cari kerjaan yang layak kadang susah. Apalagi kaya saya sudah tua nyari kerjaan yang kadang pendidikannya minim, sedangkan sekarang serba pakai IQ semua, pakai jasa, segala lah,” ceritanya.



