Menggugah Peran Komisi Informasi sebagai Stabilisator Hak Berdemokrasi

harianfajar
7 jam lalu
Cover Berita

Oleh: Dr. Zulkarnain Hamson, S.Sos., M.Si.

Komisi Informasi telah menjalankan mandat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan berkontribusi besar dalam memperluas ruang keterbukaan bagi publik.

Namun, evaluasi tahun 2025 haruslah menjadi momentum refleksi, “pekerjaan rumah” masih besar, mulai dari resistensi birokrasi, lemahnya penegakan putusan, hingga ketergantungan pada dukungan politik.

Jika Komisi Informasi ingin benar-benar menjadi benteng transparansi dan akuntabilitas, harus berani melampaui sekadar prosedur dan benar-benar mengadvokasi keterbukaan sebagai hak demokratis yang melekat pada setiap warga negara.

Secara keseluruhan, gambaran tentang tugas dan peran Komisi Informasi sejak berdiri hingga 2025 menunjukkan transformasi menuju tata kelola digital (digital governance).

Namun, di balik narasi kemajuan tersebut, perlu dicermati bahwa penguatan akses informasi publik tidak selalu berjalan linier. Dorongan Komisi Informasi agar Badan Publik menyediakan dan membuka data secara daring masih sering terhambat oleh resistensi birokrasi, keterbatasan infrastruktur digital, serta keberlanjutan komitmen politik yang lemah.

Hingga kini, keterbukaan informasi publik belum sepenuhnya menjadi kesadaran institusional, melainkan masih dilihat sebagai kewajiban administratif yang sering dipenuhi sekadar demi kepatuhan prosedural.

Komisi Informasi dilahirkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sebagai lembaga mandiri, setidaknya secara normatif.

Dalam praktiknya, “kemandirian” itu masih menyisakan pertanyaan kritis: sejauh mana lembaga ini bebas dari intervensi atau tekanan politik ketika putusan-putusan mereka bersinggungan dengan kepentingan pemerintah maupun kelompok elit?

Krusialnya peran Komisi Informasi dalam membangun transparansi, akuntabilitas, dan pencegahan KKN justru membuat lembaga ini berada pada persimpangan kepentingan, di mana idealisme UU KIP sering berhadapan dengan kenyataan politik kekuasaan.

Tugas fundamental Komisi Informasi dalam menetapkan standar layanan informasi publik tampak sebagai prestasi administratif. Namun, efektivitas standar itu perlu diuji dari realitas lapangan: masih banyak Badan Publik yang tidak memperbarui daftar informasi publik, tidak menyediakan layanan permohonan daring yang responsif, bahkan mengabaikan kewajiban layanan informasi untuk publik marjinal.

Penguatan standar hingga akhir 2025 belum otomatis menjamin layanan informasi yang cepat dan tepat; yang lemah justru mekanisme penegakan kepatuhan dan sanksi terhadap pelanggaran.

Salah satu aspek yang sering dipuji adalah kewenangan yudisial menyelesaikan sengketa informasi publik. Namun efektivitas penyelesaian sengketa juga perlu dipersoalkan: berapa banyak putusan yang benar-benar dipatuhi Badan Publik? Berapa banyak kasus yang berakhir karena pemohon menyerah akibat proses yang panjang, birokratis, dan menguras energi?

Komisi Informasi memang menawarkan mediasi sebagai langkah awal, tetapi mediasi cenderung lebih menguntungkan Badan Publik yang kerap menunda atau menawarkan kompromi yang tidak proporsional.

Ketika mediasi gagal dan perkara berlanjut ke ajudikasi non-litigasi, tantangan berikutnya adalah keterbatasan publik dalam mengeksekusi putusan dan lemahnya mekanisme sanksi.

Monitoring dan Evaluasi (Monev) terhadap keterbukaan Badan Publik terus dilakukan, namun program ini juga patut dikritisi.

Publik sering tidak mengetahui tindak lanjut hasil Monev, dan penilaian terhadap “Badan Publik Informatif” lebih sering menjadi seremoni tahunan ketimbang menjadi alat tekanan publik dan instrumen reformasi struktural.

Tanpa mekanisme yang mengikat, Monev hanya akan menghasilkan ranking, bukan perubahan budaya transparansi.

Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) juga masih menyisakan persoalan metodologis. Meski IKIP 2025 diluncurkan sebagai tonggak capaian, perlu dipertanyakan akurasi indikator dalam menangkap ketimpangan akses informasi di wilayah non-perkotaan, daerah tertinggal, dan kelompok rentan.

Potret nasional yang komprehensif sering menutupi disparitas antar wilayah dan jarak antara regulasi dengan praktik di akar rumput.

Fungsi sosialisasi dan edukasi Komisi Informasi penting, tetapi pelaksanaannya cenderung bersifat elitis. Lebih sering menyasar kementerian, lembaga negara, dan birokrat, alih-alih komunitas basis yang justru paling membutuhkan akses informasi, seperti masyarakat adat, penyandang disabilitas, atau warga desa.

Literasi informasi tidak akan tumbuh jika pendekatan yang digunakan hanya seminar dan publikasi jurnal, tanpa strategi pemberdayaan publik secara langsung.

Dari sisi kewenangan pemanggilan pejabat dan pengambilan sumpah saksi, Komisi Informasi secara legal memang dilengkapi instrumen hukum.

Namun dalam realitas, kekuatan itu bisa tumpul apabila keputusan mereka tidak diperkuat dengan mekanisme eksekusi yang jelas dan dukungan politik. Banyak Badan Publik mengabaikan panggilan Komisi Informasi karena merasa tidak ada konsekuensi nyata.

Terakhir, kewajiban pelaporan Komisi Informasi kepada Presiden dan DPR RI, serta pelaporan di daerah kepada kepala daerah dan DPRD, membuka ruang kritik mengenai risiko kooptasi politik.

Bagaimana mungkin lembaga yang harus mengawasi keterbukaan suatu institusi justru melapor kepada mereka yang mungkin sedang berada dalam posisi terawasi?. Kita masih harus berjuang memperbaiki kontrol pada kinerja lembaga penegak hak demokrasi dalam hal menyuarakan kepentingan publik.(z)

Penulsi adalah Akademisi Komunikasi, Direktur ZH Konsultan


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Natal 2025, Kardinal Suharyo: Momentum Pemulihan Keluarga
• 5 jam lalutvrinews.com
thumb
AHY Cek Kesiapan Angkutan Nataru di Stasiun Gambir 
• 20 jam lalueranasional.com
thumb
Ayu Aulia Jadi Tim Kreatif Kemenhan RI?
• 1 jam laluintipseleb.com
thumb
Dianggap Penuhi Kriteria, 15 Warga Binaan di Seluruh Indonesia Terima Remisi Natal
• 5 jam lalusuara.com
thumb
Dipertanyakan Polisi, Analisis Roy Cs Soal Ijazah Jokowi Sudah Ilmiah? Begini Kata Reza Indragiri
• 13 jam lalukompas.tv
Berhasil disimpan.