Deretan bangunan bergaya art deco di sepanjang Jalan Braga, Kota Bandung, kembali menjadi magnet wisatawan saat libur Natal, Kamis (25/12).
Kawasan ikonik ini dipadati pengunjung yang datang silih berganti. Kamera ponsel terangkat, langkah kaki melambat, dan aroma kopi dari kafe-kafe tua berpadu dengan hiruk pikuk obrolan para pelancong.
Keramaian tersebut tak hanya terasa di trotoar. Di badan jalan, arus kendaraan bergerak tersendat. Mobil pribadi, sepeda motor, hingga angkutan daring saling berebut ruang di jalur yang relatif sempit. Kemacetan pun menjadi pemandangan yang nyaris tak terpisahkan dari ramainya kawasan Braga.
Meski demikian, sebagian wisatawan tetap memilih Braga sebagai tujuan wisata. Bagi mereka, suasana klasik dan nuansa sejarah kawasan ini menjadi daya tarik utama. Selain berjalan santai dan berfoto, banyak pengunjung menghabiskan waktu di kafe, restoran, hingga toko suvenir yang berjejer di sepanjang jalan.
Salah seorang wisatawan, Tedi Firdaus, mengaku berkunjung ke Braga karena lokasinya yang relatif dekat sehingga memudahkan dirinya mengajak seluruh anggota keluarga.
“Saya berkunjung ke sini karena lokasinya tidak terlalu jauh, jadi bisa mengajak semua anggota keluarga untuk liburan ke sini,” ujarnya.
Di sisi lain, padatnya arus kendaraan juga memicu keluhan dari wisatawan. Yuli, salah satu pengunjung, menilai kemacetan mengurangi kenyamanan, terutama bagi pejalan kaki dan wisatawan yang datang bersama keluarga.
Ia juga mengeluhkan penggunaan bahu jalan yang dijadikan area parkir sepeda motor, sehingga menghambat ruang gerak pejalan kaki.
“Sebetulnya nyaman jalan kaki di Braga, tapi alangkah baiknya kalau bahu jalan tidak dijadikan parkiran motor supaya wisatawan lebih leluasa berjalan,” kata Yuli.
Kawasan Braga kini berada di persimpangan antara romantisme kota tua dan tantangan urban modern. Di satu sisi, keramaian menjadi tanda hidupnya sektor pariwisata.
Namun di sisi lain, kemacetan masih menjadi pekerjaan rumah yang terus berulang. Meski begitu, bagi banyak wisatawan, padatnya Braga justru menjadi bagian dari cerita liburan mereka di Bandung—ramai, semrawut, tetapi penuh warna.

