Dari "Penggerak" Menjadi "Pejuang Digital": Akrobat di Panggung Pendidikan

kumparan.com
3 jam lalu
Cover Berita

Ada sebuah lelucon yang beredar pada guru, dari Sabang sampai Merauke, setiap kali pelantikan kabinet/Pergantian Menteri usai dilaksanakan: "Siapkan binder baru, Bu. Sebentar lagi ganti istilah, ganti seragam, dan ganti aplikasi."

Tawa yang menyertai kalimat itu bukan tawa bahagia, melainkan tawa getir. Sebuah mekanisme pertahanan diri menghadapi penyakit kronis pendidikan Indonesia: sindrom "Ganti Menteri, Ganti Kebijakan". Atau lebih tepatnya dalam konteks hari ini: "Ganti Rezim, Ganti Judul".

Baru-baru ini, publik dan para guru kembali disuguhi wacana perubahan nomenklatur. Istilah "Guru Penggerak" primadona kebijakan era sebelumnya (Era Nadiem) kini mulai dibayangi oleh terminologi baru yang didengungkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) di era baru: "Guru Pejuang Digital".

Sekilas, ini terdengar heroik. Namun, bagi mata yang terlatih mengamati pola birokrasi pendidikan Indonesia, ini tak lebih dari sekadar akrobat semantik. Ini adalah upaya memberi label baru pada botol lama, sebuah praktik rebranding yang menghabiskan energi, memboroskan anggaran, dan yang paling fatal mengaburkan substansi masalah pendidikan kita yang sebenarnya.

Jebakan Sinonim dan Ilusi Kebaruan

Apa bedanya "Penggerak" dan "Pejuang Digital"?

Secara filosofis, "Guru Penggerak" didesain sebagai pemimpin pembelajaran yang mendorong tumbuh kembang murid secara holistik, aktif, dan proaktif dalam mengembangkan pendidik lainnya. Kata kuncinya: inisiatif dan kepemimpinan.

Lalu, apa itu "Guru Pejuang Digital"? Narasi yang dibangun adalah guru yang mampu menaklukkan tantangan teknologi, membawa literasi digital ke ruang kelas, dan adaptif terhadap zaman. Kata kuncinya: adaptasi teknologi.

Pertanyaannya sederhana: Bukankah seorang "Penggerak" di abad 21 sudah pasti harus melek digital? dan bukankah seorang "Pejuang Digital" tidak akan ada gunanya jika dia tidak mampu "menggerakkan" murid dan rekan sejawatnya?

Irisan kedua istilah ini mungkin mencapai 90 persen. Namun, di tangan birokrasi, perbedaan 10 persen itu seolah menjadi jurang pemisah yang mengharuskan lahirnya program baru, anggaran baru, bimbingan teknis (Bimtek) baru, dan tentu saja: proyek baru.

Pemerintah seolah terjebak dalam falasi (sesat pikir) bahwa mengubah nama program akan otomatis mengubah kualitas di lapangan. Padahal, mengganti kata "Penggerak" menjadi "Pejuang" tidak lantas membuat atap sekolah yang bocor menjadi rapat, atau membuat sinyal internet di daerah 3T tiba-tiba menjadi 5G.

Lelahnya Guru di Akar Rumput

Para pemangku kebijakan di Senayan atau di Gedung Kemendikdasmen mungkin tidak merasakan apa yang terjadi di ruang guru SD Inpres di pedalaman Kalimantan atau madrasah swasta di pelosok Jawa.

Bayangkan posisi seorang guru. Selama lima tahun terakhir, mereka dipaksa "berlari" mengejar status Guru Penggerak. Mereka lembur mengisi esai, mengikuti pelatihan berbulan-bulan, meninggalkan keluarga demi memenuhi standar "Merdeka Belajar". Belum kering keringat mereka, belum lunas lelah mereka beradaptasi dengan Platform Merdeka Mengajar (PMM), kini mereka dihadapkan pada wacana baru "Pejuang Digital".

Apa dampaknya? Confusion and exhaustion. Kebingungan dan kelelahan massal.

Setiap pergantian istilah membawa konsekuensi administratif yang masif. Juknis (Petunjuk Teknis) berubah. Aplikasi pelaporan kinerja mungkin akan berganti antarmuka atau lebih buruk, berganti vendor aplikasi. Guru yang seharusnya fokus menyiapkan materi ajar yang kreatif, kembali tersedot waktunya untuk mempelajari "kamus baru" kemendikdasmen. Energi mereka habis bukan untuk siswa, melainkan untuk melayani ego administratif pusat.

Kita sedang menciptakan generasi guru yang skeptis. Guru yang ketika mendengar program pemerintah, respons pertamanya bukan antusiasme, melainkan sinisme: "Ah, paling cuma bertahan dua tahun, nanti juga ganti lagi." Ini adalah bahaya laten bagi keberlangsungan pendidikan nasional.

Politik Gincu dan Kemiskinan Gagasan

Mengapa fenomena ini terus berulang? Jawabannya mungkin terdengar kasar namun perlu diucapkan: Kemiskinan gagasan yang ditutupi oleh politik gincu (kosmetik).

Bagi pejabat baru, meneruskan program pejabat lama seringkali dianggap "haram" karena tidak menaikkan portofolio politik pribadi. Ada hasrat narsistik untuk meninggalkan jejak, walaupun jejak itu hanya berupa stempel nama baru pada program yang isinya sama saja.

Menyebut "Guru Pejuang Digital" terdengar gagah dan futuristik. Tapi jika di dalamnya hanya berisi pelatihan daring, modul yang copy-paste, dan target angka partisipasi semu, maka apa bedanya dengan program-program sebelumnya?

Kritik ini bukan berarti kita anti perubahan, kita butuh perubahan. Tapi kita butuh perubahan yang substansial, bukan kosmestikal.

Jika pemerintah serius ingin menciptakan "Pejuang", jangan hanya beri mereka gelar. Beri mereka senjata yang layak. "Senjata" itu adalah kesejahteraan yang manusiawi, kepastian status bagi honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun, dan infrastruktur pendidikan yang setara.

Ironis sekali rasanya mendengar istilah "Pejuang Digital" digaungkan kepada guru honorer yang gajinya Rp300.000 per bulan dan harus memanjat pohon demi mendapatkan sinyal internet untuk mengunggah laporan kerja. Itu bukan pejuang, itu korban ketidakadilan sistem yang dipoles dengan kata-kata indah.

Berhenti Bermain Kata, Mulailah Bekerja

Melalui tulisan ini, saya ingin mengetuk atau mungkin menampar pelan kesadaran para pemangku kebijakan. Wahai Bapak dan Ibu Pejabat, sudahlah. Hentikan obsesi pada rebranding. Guru-guru kita tidak butuh nama baru yang keren untuk dipajang di bio media sosial.

Jika program "Guru Penggerak" memang memiliki kekurangan, evaluasi dan perbaiki isinya, bukan ganti bungkusnya. Jika tantangan digital semakin nyata, integrasikan kompetensi itu ke dalam sistem yang sudah ada, tanpa perlu memporak-porandakan struktur yang baru saja mulai mapan.

Anggaran triliunan rupiah yang disiapkan untuk sosialisasi istilah baru, mencetak spanduk baru, dan membuat seragam "Pejuang Digital" baru, akan jauh lebih bermartabat jika dialokasikan untuk mengangkat guru honorer menjadi PPPK atau memperbaiki ruang kelas yang nyaris rubuh.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang, bukan proyek lima tahunan yang bisa di-reset sesuka hati. Mari berhenti bermain akrobat semantik. Kembalikan fokus pada esensi pendidikan: memanusiakan manusia, bukan memanusiakan istilah.

Karena pada akhirnya, sejarah tidak akan mencatat seberapa kreatif

Anda membuat singkatan atau nama program. Sejarah akan mencatat apakah di masa Anda menjabat, guru menjadi lebih sejahtera dan murid menjadi lebih cerdas, atau sebaliknya: guru semakin bingung dan murid semakin tertinggal, sementara Anda sibuk bertepuk tangan merayakan peluncuran logo baru.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pengusaha Buka Suara Terkait Kenaikan UMP 2026
• 7 jam lalukumparan.com
thumb
BMKG Prakirakan Gelombang di Perairan Merak Bakauheni Selama Mudik Natal 2025 dan Tahun Baru
• 8 jam lalukompas.tv
thumb
Pantai Gading vs Mozambik: Pemain Man United Jadi Kunci Kemenangan Pantai Gading
• 17 jam lalumediaindonesia.com
thumb
Di Depan Prabowo, Kejagung Serahkan Hutan hingga Uang Rp 6,6 Triliun ke Negara
• 23 jam lalukatadata.co.id
thumb
Wapres Gibran Hadiri Natal di Jateng dan Pantau Arus Mudik
• 21 jam lalurepublika.co.id
Berhasil disimpan.