Musim Angin Barat: Ketika Nelayan Jakarta Terpaksa Bertahan di Darat

kumparan.com
3 jam lalu
Cover Berita

Setiap akhir tahun, pesisir utara Jakarta memasuki masa yang paling berat bagi nelayan kecil, yaitu musim angin baratan. Angin kencang, hujan lebat, dan gelombang tinggi membuat laut berubah dari ruang penghidupan menjadi "ancaman keselamatan".

Bagi masyarakat umum, hal ini mungkin sekadar fenomena alam tahunan. Namun bagi nelayan, musim angin barat merupakan masa krisis ekonomi yang datang secara berulang dan ujian bertahan hidup.

Musim angin baratan biasanya berlangsung sekitar bulan November hingga Februari. Musim tersebut membawa gelombang tinggi, hujan deras, dan angin kencang.

Bagi nelayan kecil di beberapa wilayah Jakarta—seperti Muara Angke, Kalibaru, hingga Marunda—kondisi ini kerap memaksa mereka menambatkan perahu di darat. Melaut bukan lagi pilihan rasional, melainkan pertaruhan nyawa.

Banyak nelayan kecil akhirnya “terpaksa” bertahan di darat; bukan karena enggan bekerja, melainkan karena kondisi alam tidak memungkinkan mereka melaut. Ketika perahu tidak berangkat serta jaring disimpan, penghasilan otomatis terhenti. Nelayan harian—yang bergantung pada hasil tangkapan hari—juga belum tentu memiliki tabungan yang memadai untuk bertahan selama berminggu-minggu tidak melaut.

Hasil tangkapan nelayan kecil dari melaut cenderung dihabiskan dan tidak dikelola dengan baik. Sangat jarang ditemui ada yang menyisihkan sebagian penghasilan untuk tabungan. Hal ini disebabkan karena pola pikir mereka cukup mudah mencari uang dari hasil tangkapan ikan saat musim angin timur. Di sinilah ironi kehidupan nelayan Jakarta terlihat jelas: tinggal di Kota Metropolitan, tetapi hidup dalam ketidakpastian ekstrem.

Selama musim angin barat, sebagian nelayan terpaksa untuk beralih pekerjaan sementara waktu, misalnya mereka akan menjadi buruh bongkar muat, ojek, atau pekerja serabutan lainnya. Namun, pilihan ini tidak selalu tersedia, terutama bagi nelayan lanjut usia. Tantangan lainnya, mereka tidak terbiasa bekerja di darat karena kemampuan mereka terbiasa di laut.

Bagi nelayan harian, tidak ada konsep gaji bulanan atau cadangan penghasilan. Ketika cuaca memaksa mereka tinggal di darat, beban ekonomi keluarga langsung terasa. Biaya dapur, kebutuhan sekolah anak, bahkan cicilan tetap berjalan, sementara pemasukan nihil.

Di beberapa keluarga nelayan, peran istri menjadi penyangga ekonomi dengan berjualan kecil-kecilan atau bekerja di sektor informal lainnya. Namun, strategi bertahan ini jelas tidak cukup untuk menutupi biaya hidup keluarga selama suami tidak melaut.

Musim angin baratan bukan hanya soal cuaca buruk, melainkan juga potret kerentanan struktural nelayan kecil. Namun sampai saat ini, belum ada skema perlindungan pendapatan yang memadai saat mereka tidak bisa melaut. Situasi ini diperparah karena beberapa nelayan kecil belum memiliki perlindungan sosial yang memadai.

Jika pun ada, perlindungan terhadap nelayan kecil tersebut belum menjangkau semua lini, sementara bantuan sosial kerap bersifat umum dan belum mempertimbangkan siklus musiman yang berulang setiap tahun.

Di sisi lain, perubahan iklim memperparah situasi. Angin baratan kini terasa lebih panjang dan tidak menentu. Pola cuaca yang sulit diprediksi membuat nelayan semakin kesulitan menentukan waktu yang aman untuk melaut. Pengetahuan tradisional nelayan yang selama ini menjadi pegangan mulai kehilangan kepastian.

Meskipun musim angin barat adalah peristiwa yang berulang setiap tahun, respons kebijakan pemerintah masih terlalu fokus pada produktivitas dan alat tangkap, bukan pada ketahanan hidup nelayan.

Nelayan sering diposisikan semata sebagai aktor ekonomi, bukan kelompok rentan yang membutuhkan perlindungan adaptif terhadap risiko iklim dan musim. Skema perlindungan sosial belum sepenuhnya mempertimbangkan risiko musiman dan kerentanan spesifik nelayan pesisir perkotaan seperti di Jakarta.

Pada dasarnya, nelayan adalah pekerja informal yang sangat rentan terhadap guncangan eksternal, terutama cuaca ekstrem. Namun dalam praktiknya, mereka kerap belum terintegrasi secara memadai dalam sistem perlindungan sosial. Ketika tidak melaut karena faktor keselamatan, kondisi ini sering kali tidak diakui sebagai dasar kehilangan pendapatan yang layak mendapatkan perlindungan.

Situasi ini menjadi semakin kompleks ketika dikaitkan dengan perubahan iklim. Musim angin barat berpotensi berlangsung lebih lama dan sulit diprediksi, sehingga memperpanjang periode nelayan tidak bisa melaut. Tanpa intervensi kebijakan yang adaptif, kerentanan nelayan akan semakin dalam dan berulang dari tahun ke tahun.

Bagi nelayan Jakarta, angin barat bukan sekadar hembusan alam, melainkan juga pengingat tahunan bahwa hidup di laut selalu penuh risiko. Kehadiran negara sangat menentukan apakah mereka bisa bertahan atau tenggelam sering waktu.

Musim angin baratan seharusnya menjadi pengingat bahwa pembangunan pesisir tidak cukup dengan infrastruktur pelabuhan atau reklamasi semata. Negara perlu hadir melalui skema perlindungan sosial adaptif dan ketahanan ekonomi masyarakat pesisir.

Diperlukan skema perlindungan sosial yang berbasis musim dan risiko iklim, seperti bantuan pendapatan sementara saat nelayan tidak dapat melaut, program padat karya pesisir, diversifikasi mata pencaharian, pelatihan manajemen keuangan kepada nelayan, dan akses pekerjaan alternatif yang layak selama periode cuaca ekstrem.

Musim angin barat akan selalu datang setiap tahun. Nelayan akan terus dihadapkan pada pilihan sulit antara melaut dan keselamatan. Oleh karena itu, negara seharusnya hadir untuk melindungi dan menjamin kehidupan yang layak bagi mereka. Negara semestinya bersama mereka, tidak dibiarkan bertahan sendirian.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pesan Natal: Saatnya Pulihkan Relasi Alam dan Manusia
• 20 jam lalukompas.id
thumb
Rafarrel Haerul Kini jadi Andalan Timnas Futsal: Dari PSM ke Panggung Futsal Asia
• 21 jam laluharianfajar
thumb
Kebiasaan yang Sering Kebanyakan Orang Lakukan tapi Dihindari Orang dengan IQ Tinggi
• 1 jam lalubeautynesia.id
thumb
Potensi Hujan Sepekan ke Depan, Masyarakat Terdampak Bencana Sumatera Diimbau Waspada
• 3 jam laluliputan6.com
thumb
Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Karantina Bali Rp4,07 Triliun
• 22 jam lalumediaindonesia.com
Berhasil disimpan.