Di tengah tuntutan profesionalisme dan beban kerja yang kian meningkat, kesejahteraan dosen justru menyisakan persoalan mendasar. Tidak sedikit dosen di perguruan tinggi, terutama swasta, menerima penghasilan di bawah upah minimum regional, kondisi yang berpotensi menggerus martabat profesi pendidik.
Ketimpangan ini tidak berdiri sendiri, melainkan berkelindan dengan desain kebijakan yang belum sepenuhnya menghadirkan perlindungan dari negara. Gugatan terhadap Undang-Undang Guru dan Dosen ke Mahkamah Konstitusi menjadi penanda bahwa persoalan upah dosen telah bergeser dari isu internal kampus menjadi problem konstitusional yang menyentuh kepentingan publik luas.
Adalah Serikat Pekerja Kampus yang menjadi wadah bagi 1.735 pekerja kampus universitas negeri dan swasta membawa persoalan ini ke MK. Organisasi ini mengadvokasi kerugian konstitusional yang dialami secara konkrit oleh para anggotanya akibat keberlakuan Pasal 52 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal ini mengatur tentang penghasilan dosen.
Pada intinya, berdasarkan berkas permohonan yang dikutip dari situs resmi MK, Kamis (25/12/2025), para dosen ini menilai pasal tersebut melanggar hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, imbalan yang adil, serta kepastian hukum yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945.
Tak hanya secara lembaga, pemohon uji materi dalam perkara yang teregister dengan nomor 272/PUU-XXIII/2025 juga perorangan dosen. Isman Rahmani Yusron, dosen Program Studi Psikologi Fakultas Sosial dan Humanionra Universitas Muhammadiyah Bandung sejak tahun 2021 menjadi pemohon kedua dalam perkara ini. Saat diangkat menjadi dosen tetap, ia memeroleh gaji pokok senilai Rp 2.567.252, tidak berbeda jauh dengan Upah Minimum Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 2.191.238. Saat ini, penghasilan yang diterima (setelah dipotong iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan) menjadi Rp 2,8 juta (gaji pokok dan tunjangan kehadiran).
Pemohon ketiga adalah Riski Alita Istiqomah, dosen tetap pada Program Studi PGSD Universitas Halim Sanusi Persatuan Ummat Islam Bandung sejak September 2017. Namun, yang bersangkutan tidak memeroleh apresiasi dan kompensasi yang sebanding sebab Riski memeroleh upah kerja Rp 1,5 juta per bulan ditambah dengan uang makan Rp 20.000 per hari kehadiran, serta tunjangan peningkatan kinerja Rp 500.000. Jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan dengan UMP Jawa Barat senilai Rp 2,19 juta dan Upah Minimum Kota Bandung Tahun 2025 senilai Rp 4,2 juta.
Isman dan Riski tak sendiri. Ada banyak dosen dengan kondisi serupa. Ini setidaknya terlihat dari hasil penelitian terhadap 115 responden yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Kampus pada tahun 2025. Terdapat fakta empiris yang menunjukkan adanya ketimpangan ekstrem antara penghasilan riil dosen dengan standar upah minimum.
Banyak dosen yang menerima gaji pokok jauh di bawah nilai minimum yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Di DKI Jakarta misalnya, gaji pokok seorang dosen dengan jabatan lektor di salah satu universitas swasta hanyalah Rp 1,332 juta dan ada dosen (asisten ahli) Rp 1,5 juta padahal UMP Jakarta Rp 5,3 juta. Di Yogyakarta, seorang dosen dengan jabatan fungsional asisten ahli di salah satu perguruan tinggi swasta memiliki gaji pokok Rp 600.000 sementara UMP DIY sebesarRp 2,264 juta.
Demikian pula di Jawa Timur, ada dosen dengan jabatan fungsional asisten ahli bergaji pokok RP 600.000 sementara UMP Jatim Rp 2,16 juta. Di Jabar bahkan, ada gaji pokok seorang dosen hanya Rp 560.000.
Gaji dosen yang di bawah UMR juga menjadi temuan survei nasional yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan Universitas Mataram pada April 2023 terhadap 1.196 respon. Hasilnya, 42,9 persen dosen menerima pendapatan tetap di bawah Rp 3 juta per bulan, sementara 29,8 persen respon berpenghasilan tetap di rentang Rp 3 juta hingga Rp 5 juta. Hanya 27,3 persen responden yang memiliki penghasilan tetap di atas Rp 5 juta per bulan.
Padahal, dosen mengemban beban kerja maksimum tetapi dengan kompensasi minimum. Menurut para pemohon, telah terjadi kegagalan sistemik UU Guru dan Dosen untuk menjamin gaji atau upah pendidik sehingga memenuhi penghasilan layak bagi kemanusiaan. Kegagalan menjamin gaji yang layak tersebut berimplikasi juga pada pembayaran tunjangan hari raya keagamaan dan pembayaran kompensasi akibat pemutusan hubungan kerja seperti uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja.
Untuk itu, para pemohon menilai Pasal 52 Ayat (1) UU Guru dan Dosen perlu dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai: gaji pokok sekurang-kurangnya setara dengan upah minimum regional yang berlaku di satuan pendidikan tinggi tersebut berada, dan didukung kompensasi lainnya untuk memenuhi kebutuhan produktif dan profesional dosen yang bersifat tetap seperti tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
Para pemohon juga meminta MK untuk menyatakan kata “gaji” pada Pasal 52 Ayat (2) bertentangan secara bersyarat dengan konstitusi, khususnya jaminan penghidupan yang layak, hak untuk mendapatkan imbalan yang adil dan layak, serta kepastian hukum. Pasal tersebut tidak memberikan kepastian dan juga perlindungan bagi para dosen untuk mendapatkan upah minimum yang layak dan juga keamanan sosial.
Pasal tersebut juga berpotensi melanggengkan ketimpangan hubungan antara dosen dan perguruan tinggi swasta pemberi kerja. Apalagi Pasal 52 Ayat (3) UU Guru dan Dosen menyerahkan penentuan gaji dosen semata-mata pada perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama, tanpa ada jaring pengaman berupa standar upah minimum yang jelas.
”Negara tidak boleh menutup mata bahwa dalam hubungan kerja, dosen berada dalam posisi subordinat yang rentan ditekan untuk menerima upah murah dmei mendapatkan pekerjaan,” demikian diungkap dalam berkas permohonan.
Menurut para pemohon, menyerahkan nasib pengubahan dosen semata-mata pada perjanjian kerja atau kesepakatan seperti diatur pada Pasal 52 Ayat (3) UU Guru dan Dosen dinilai sebagai tindakan yang mengabaikan realitas sosiologis hubungan kerja. Sebab, dalam relasi antara Yayasan/Penyelenggara Pendidikan dengan dosen, tidak terdapat keseimbangan kedudukan yang setara.
“Oleh karena itu, prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) tidak dapat diterapkan secara membabi buta untuk melegitimasi upah murah,” demikian ungkap pemohon.
Negara pun tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya dalam menjamin kesejahteraan dosen dengan dalih bahwa hubungan kerja antara dosen dan penyelenggara pendidikan (terutama swasta) adalah ranah hukum privat atau keperdataan semata. Mengingat profesi dosen menyangkut hajad hidup orang banyak dan masa depan bangsa, hubungan kerja ini memiliki dimensi kepentingan publik yang sangat kuat. Oleh karena itu, negara wajib hadir melalui regulasi yang adil dan tidak diskriminatif.
Perkara ini pada akhirnya menempatkan MK pada peran strategis sebagai penjaga keadilan konstitusional. Putusan yang diambil tidak hanya akan menentukan nasib ribuan dosen hari ini, tetapi juga arah penghormatan negara terhadap profesi pendidik di masa depan.
Dengan menjunjung prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kemanusiaan, Mahkamah diharapkan mampu menghadirkan tafsir konstitusi yang berpihak pada martabat kerja dan keberlanjutan pendidikan tinggi, demi menjaga kualitas sumber daya manusia dan masa depan bangsa.




:strip_icc()/kly-media-production/medias/5455429/original/064157700_1766656833-WhatsApp_Image_2025-12-25_at_16.23.12.jpeg)
