FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Rizal Fadillah, menyebut bahwa polemik dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI, Jokowi, kini telah melampaui ruang klarifikasi personal.
Dikatakan Rizal, wacana saling memaafkan yang belakangan mencuat justru tidak etis karena substansi persoalan belum pernah diputuskan secara tuntas.
Ia kemudian menyinggung pernyataan Jokowi yang memberi sinyal akan memaafkan sebagian pihak yang menuduh ijazah sarjananya palsu.
Rizal mempertanyakan dasar sikap tersebut, mengingat status benar atau salah dalam perkara ini belum pernah dipastikan secara hukum.
“Lucu pihak yang benar dan salah saja belum ada kepastian kok bisa-bisanya menyatakan akan memaafkan,” ujar Rizal kepada fajar.co.id, Jumat (26/12/2025).
Ia menegaskan, pihak-pihak yang kini berstatus tersangka dalam kasus tersebut justru masih meyakini bahwa ijazah Jokowi tidak asli.
Keyakinan itu, menurut Rizal, membuat posisi Jokowi bukan sebagai korban, melainkan pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban.
“Bagi pemburu yang kemudian berstatus tersangka justru hingga kini sangat meyakini bahwa ijazah Jokowi memang palsu. Artinya Jokowi adalah pihak yang bersalah,” tegasnya.
Rizal juga mengkritik langkah Jokowi yang dianggap bermain dengan aparat kepolisian untuk membangun narasi bahwa ijazah tersebut asli.
Ia menyebut, gelar perkara khusus yang dilakukan Polda Metro Jaya justru memperkuat keyakinan para penuduh.
“Semakin yakin setelah Polda Metro menunjukkan ijazahnya saat gelar perkara khusus. Sebaliknya penampakan itu membuat para tersangka sumringah karena semakin mantap bahwa ijazah Jokowi itu palsu,” katanya.
Ia turut meragukan hasil uji forensik yang dilakukan kepolisian dan mendesak agar pemeriksaan ulang dilakukan oleh lembaga independen.
Baginya, keraguan publik tidak akan terjawab jika proses hukum hanya berputar di institusi yang sama.
Di tengah proses yang belum selesai itu, Rizal menilai wacana maaf-maafan justru terkesan dipaksakan.
Ia menyebut gagasan tersebut pertama kali disampaikan oleh pengurus Bara JP, Willem Frans Arsanay, usai bertemu Jokowi, lalu kembali ditegaskan langsung oleh Jokowi sendiri.
“Di tengah proses yang belum tuntas tersebut tiba-tiba muncul wacana maaf-maafan,” ucap Rizal.
Ia mengutip pernyataan kuasa hukum Ahmad Khozinudin yang menyebut wacana tersebut sebagai upaya memecah belah konsolidasi publik.
Rizal pun menganggap langkah itu sebagai bagian dari strategi komunikasi Jokowi yang selama ini dinilainya defensif.
“Permainan khas Jokowi yang selalu merasa tidak pernah salah dan mahir dalam berbohong itu patut untuk diabaikan,” terang dia.
Lebih jauh, Rizal menyebut kepercayaan publik terhadap dugaan kepalsuan ijazah Jokowi sudah terlanjur menguat. Karena itu, tuntutan utama yang berkembang bukan lagi soal klarifikasi, melainkan pertanggungjawaban hukum dan politik.
“Saat ini fokus saja pada uji forensik ijazah Jokowi secara independen,” imbuhnya.
Ia mempertanyakan alasan penolakan terhadap uji ulang jika memang hasil pemeriksaan sebelumnya menyatakan ijazah tersebut asli.
“Tidak perlu takut apapun hasilnya. Polisi adalah penegak hukum bukan pembela Jokowi,” tegas Rizal.
Rizal bilang, saat ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara soal maaf. Ia menyebut agenda tersebut terlalu dini dan tidak menyentuh akar persoalan.
“Lebaran masih lama, pak,” kuncinya.
(Muhsin/fajar)




