Perang Hampir 4 Tahun, Ukraina Ajukan Syarat Final: Rusia Terima atau Hadapi Konsekuensi?

erabaru.net
5 jam lalu
Cover Berita

EtIndonesia. Perang Rusia–Ukraina yang telah berlangsung hampir empat tahun kembali memasuki babak penting. Pada 23 Desember 2025, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy secara terbuka mempublikasikan Rencana Perdamaian 20 Poin Ukraina, sebuah dokumen komprehensif yang untuk pertama kalinya diumumkan secara lengkap kepada publik internasional.

Dokumen ini merupakan hasil konsultasi intensif selama beberapa hari antara Ukraina dan Amerika Serikat, yang dilakukan menjelang akhir tahun 2025. Rencana tersebut disusun dengan mengacu pada versi awal rencana perdamaian 28 poin yang pernah dibahas dengan pemerintahan Donald Trump, namun telah direvisi secara signifikan. Sejumlah klausul yang dinilai tidak dapat diterima oleh Ukraina—termasuk kewajiban untuk melepaskan tuntutan hukum terhadap penjahat perang—secara tegas dihapus.

Menurut Kyiv, versi 20 poin ini mencerminkan posisi final Ukraina, sekaligus menjadi garis merah yang tidak dapat dinegosiasikan lebih lanjut.

Tiga Pilar Utama Perdamaian Ukraina

Zelenskyy menegaskan bahwa inti rencana ini bertumpu pada tiga syarat utama yang mutlak harus dipenuhi agar perang dapat dihentikan secara berkelanjutan.

Pertama, pengakuan penuh atas kedaulatan Ukraina. Ini disebut sebagai prinsip paling fundamental dan tidak dapat ditawar. Ukraina menolak segala bentuk pengakuan terhadap pendudukan wilayahnya oleh Rusia.

Kedua, penandatanganan perjanjian non-agresi antara Rusia dan Ukraina. Perjanjian ini dimaksudkan untuk mengakhiri siklus invasi dan gencatan senjata semu yang berulang sejak aneksasi Krimea pada 2014.

Ketiga, jaminan keamanan nyata bagi Ukraina. Zelenskyy menekankan bahwa tanpa jaminan keamanan yang kuat, gencatan senjata hanya akan menjadi jeda sementara sebelum agresi berikutnya. Ukraina, menurutnya, telah “belajar dari kesalahan sejarah” dan tidak akan mengulang pengalaman pahit untuk ketiga kalinya.

Konsesi Militer dan Jaminan Barat

Sebagai bentuk kompromi, poin keempat menetapkan pembatasan jumlah personel militer Ukraina pada masa damai hingga maksimal 800.000 personel. Kyiv menilai angka ini rasional untuk negara dengan luas wilayah dan ancaman keamanan seperti Ukraina.

Poin kelima menyebutkan bahwa Amerika Serikat, NATO, dan negara-negara Eropa akan memberikan jaminan keamanan setara Pasal 5 NATO. Artinya, jika Rusia kembali menyerang, respons militer kolektif serta sanksi otomatis akan diberlakukan.

Selain itu, poin keenam mewajibkan Rusia memasukkan prinsip non-agresi terhadap Ukraina dan Eropa ke dalam hukum nasionalnya sendiri, bukan sekadar komitmen politik sementara.

Integrasi Eropa dan Rekonstruksi Pascaperang

Dalam poin ketujuh, Ukraina menuntut kejelasan jadwal keanggotaan di Uni Eropa, bukan sekadar janji politik tanpa batas waktu.

Sementara itu, poin kedelapan hingga kesepuluh berfokus pada pemulihan ekonomi pascaperang. Inti dari bagian ini adalah pembentukan Dana Rekonstruksi Ukraina senilai sekitar 800 miliar dolar AS, serta rencana penandatanganan perjanjian perdagangan bebas Amerika Serikat–Ukraina untuk mempercepat pemulihan ekonomi.

Pada poin kesebelas, Ukraina menegaskan kembali komitmennya untuk tidak mengembangkan senjata nuklir, sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas regional.

PLTN Zaporizhzhia dan Sengketa Wilayah: Titik Paling Sensitif

Ketegangan paling tajam muncul pada poin kedua belas, yang membahas PLTN Zaporizhzhia. Amerika Serikat sempat mengusulkan pengelolaan bersama oleh Ukraina, AS, dan Rusia dengan kepemilikan setara. Namun Kyiv menolak keras keterlibatan Rusia dan menegaskan bahwa pengelolaan hanya boleh dilakukan oleh Ukraina dan Amerika Serikat, tanpa transaksi energi apa pun dengan Moskow.

Isu paling kompleks tercantum dalam poin keempat belas, yakni soal wilayah. Rusia menuntut penarikan penuh pasukan Ukraina dari Donetsk. Ukraina menyatakan bersedia menarik sebagian pasukan, dengan syarat Rusia juga melakukan penarikan secara seimbang, termasuk dari wilayah-wilayah yang mengancam daerah inti Ukraina seperti Dnipropetrovsk dan Sumy.

Ukraina juga menegaskan bahwa garis kontak militer saat ini harus dibekukan, dengan gencatan senjata di posisi masing-masing.

Amerika Serikat mengajukan opsi kompromi berupa zona demiliterisasi atau zona ekonomi bebas di Donetsk, yang dikelola pasukan internasional atau diputuskan melalui referendum di masa depan. Sengketa wilayah akan “dibekukan” dan diserahkan kepada generasi berikutnya.

Pendidikan Perdamaian dan Ketentuan Penutup

Di antara pasal-pasal sensitif tersebut, poin ketiga belas muncul sebagai ketentuan yang unik. Ukraina dan Rusia diminta mengembangkan sistem pendidikan yang menanamkan toleransi, pemahaman lintas budaya, serta penghapusan rasisme dan prasangka di sekolah-sekolah.

Menurut Kyiv, jika generasi sekarang gagal menyelesaikan konflik sejarah, maka generasi mendatang harus dipersiapkan dengan kebijaksanaan yang lebih besar.

Poin-poin berikutnya mencakup larangan penggunaan kekuatan militer untuk mengubah perjanjian (poin ke-15), kebebasan Ukraina memanfaatkan Sungai Dnieper dan Laut Hitam (poin ke-16), pertukaran seluruh tawanan perang dan warga sipil (poin ke-17), serta penyelenggaraan pemilihan presiden Ukraina pascaperjanjian (poin ke-18).

Dalam poin ke-19, Ukraina bahkan mengusulkan Donald Trump sebagai ketua Dewan Perdamaian untuk mengawasi gencatan senjata, lengkap dengan sanksi langsung bagi pelanggar. Poin ke-20 menutup dokumen dengan seruan gencatan senjata total dan segera setelah perjanjian ditandatangani.

Respons Rusia dan Prospek Gencatan Senjata

Proposal ini telah diserahkan Amerika Serikat kepada Rusia. Dari Moskow, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menyatakan bahwa posisi Rusia telah disampaikan kepada Washington dan dialog akan terus berlanjut, tanpa memberikan penolakan atau persetujuan eksplisit.

Para analis menilai dua hambatan terbesar tetap sama: tuntutan Rusia atas penguasaan penuh Donetsk dan penolakan Moskow untuk melepaskan kendali atas PLTN Zaporizhzhia.

Meski demikian, Zelenskyy menyatakan optimisme terbatas. Ia menilai Rusia akan berhati-hati menolak rencana ini secara terbuka karena berpotensi memicu kemarahan Trump dan berujung pada peningkatan bantuan militer serta sanksi maksimum terhadap Moskow.

Situasi Medan Tempur Tetap Membara

Di luar meja perundingan, pertempuran masih berlangsung sengit. Menurut intelijen pertahanan Inggris, sepanjang tahun 2025 saja, korban Rusia diperkirakan melampaui 400.000 orang, dengan total korban sejak perang dimulai mencapai lebih dari 1,11 juta jiwa—angka yang bahkan melampaui jumlah personel aktif Angkatan Bersenjata Rusia pada 2021.

Ukraina juga terus berinovasi di medan perang. Menjelang akhir Desember 2025, Kyiv merilis rekaman langka Angkatan Udara Ukraina yang menunjukkan jet tempur F-16 berhasil mengejar dan menghancurkan rudal jelajah KH-101 Rusia, memperlihatkan fleksibilitas dan efektivitas pesawat tersebut.

Penutup

Kemunculan Rencana Perdamaian 20 Poin Ukraina menjelang pergantian tahun dipandang sebagai peluang diplomatik paling serius sejak perang dimulai. Apakah ini akan menjadi jalan menuju gencatan senjata pada awal 2026, atau justru sekadar jeda sebelum eskalasi baru, kini sepenuhnya bergantung pada respons Rusia.

Yang jelas, bagi Ukraina, dokumen ini adalah tawaran maksimal—dan mungkin kesempatan terakhir—untuk mengakhiri perang melalui meja perundingan, bukan melalui kehancuran total di medan tempur.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Selama Libur Nataru, Ragunan Buka Lebih Awal, Cek Harga Tiket di Sini
• 20 jam lalujpnn.com
thumb
Sunbaze, Band Shoegaze yang Pertahankan Nada Melankolis Khas Indonesia
• 2 jam lalukumparan.com
thumb
Berapa Kisaran Gaji Pensiunan PNS? Ini Jawabannya
• 7 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Pemprov Aceh Kembali Perpanjang Masa Tanggap Darurat Bencana
• 10 jam lalukompas.tv
thumb
Buron Kasus Peredaran Narkotika Jelang Konser DWP Menyerahkan Diri ke Bareskrim
• 21 jam lalusuara.com
Berhasil disimpan.