Banjir dan longsor yang menewaskan lebih dari 1.000 orang di Sumatera akhir November 2025 tak hanya menunjukkan parahnya kerusakan lingkungan. Kejadian bencana tersebut juga menyingkap rapuhnya sistem penanggulangan bencana di Indonesia.
Dengan memburuknya daya dukung lingkungan dan menguatnya krisis iklim, masyarakat menghadapi ancaman bahaya yang membesar tanpa dukungan mitigasi dan adaptasi memadai.
Laporan Badan Penanggulangan Bencana, hingga Kamis (25/12/2025), menyatakan, korban meninggal dalam banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, mencapai 1.135 jiwa dan 173 orang hilang. Banyaknya orang yang hilang hingga sebulan setelah kejadian menunjukkan besarnya skala bencana sekaligus lambannya evakuasi.
Standar golden time (periode emas) atau 72 jam pertama pasca-bencana untuk evakuasi dan pertolongan medis nyaris tak berlaku dalam bencana kali ini. Banyak laporan warga yang menunjukkan mereka berjuang sendiri dan saling bantu di hari-hari pertama banjir.
Peran petugas Search and Rescue (SAR) tidak memadai dibandingkan banyaknya korban. Kondisi tersebut menunjukkan ketidaksiapan menghadapi bencana.
Padahal, siklon tropis Senyar, bukan bencana yang datang tiba-tiba. Pada 21 November 2025, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah menerbitkan "Surat Siaga Bencana Hidrometeorologi" kepada Gubernur Aceh seiring terbentuknya bibit siklon. Berikutnya pada 22 November merilis potensi cuaca signifikan wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Peringatan itu dikeluarkan setidaknya lima hari sebelum terbentuknya siklon, tapi tak diikuti langkah tanggap dan persiapan. Tidak adanya aksi dini karena peringatan curah hujan ekstrem BMKG selama ini belum ditumpangtindihkan dengan peta rupa bumi terbaru, sehingga tidak bisa ditentukan mana daerah berpotensi terdampak banjir.
Untuk menghadapi siklon, yang dibutuhkan bukan hanya memberi sinyal cuaca ekstrem, tapi menyiapkan warga mengenai apa yang harus dilakukan ketika sinyal dikeluarkan. Hal itu termasuk jalur evakuasi, tempat perlindungan, kesiapan logistik, hingga penyiapan tim tanggap darurat.
Situasi ini jauh berbeda dengan negara-negara lain yang sudah bersiap menghadapi siklon tropis. Filipina, misalnya, mengeluarkan evakuasi wajib dan tim penolong telah bersiap sebelum badai mendarat.
Sebagai perbandingan kekuatan siklon Senyar yang mendarat di Aceh dalam kategori 1. Bayangkan ketika siklon super Rai atau dikenal juga Odette, yang kekuatannya memiliki kategori 5 mendarat di Filipina pada 2021 lalu dengan jumlah korban 410 jiwa dan hilang 80 orang.
Tidak adanya aksi dini karena peringatan curah hujan ekstrem BMKG selama ini belum ditumpangtindihkan dengan peta rupa bumi terbaru, sehingga tidak bisa ditentukan mana daerah berpotensi terdampak banjir.
Sesuai skala Saffir–Simpson, kekuatan angin dari siklon kategori 1 berkisar sebesar 119–153 kilometer (km) per jam. Siklon kategori 5 lebih memiliki kecepatan angin dari 252 km per jam, dengan dampak ikutan berupa hujan amat ekstrem yang bisa melebihi 500 mm per hari dan gelombang lebih dari 5–7 meter.
Contoh lain yang lebih siaga adalah Jepang. Begitu Japan Meteorological Agency (JMA) memproyeksikan siklon atau taifun berpotensi berdampak besar, maka pemerintah pusat dan daerah mengaktifkan Disaster Response Headquarters.
Mereka menerapkan status kesiapsiagaan bahkan sebelum hujan ekstrem turun, dengan perintah evakuasi untuk warga di daerah berpotensi terdampak, menutup sekolah, dan menghentikan transportasi. Sebelumnya, mereka juga telah memperkuat bangunan dan infrastruktur untuk menghadapi ancaman bahaya taifun.
Hasilnya, ketika taifun Lan yang memiliki kategroi 4 - 5 melanda Jepang pada 2017, data resmi menunjukkan jumlah korban jiwa total yang dikaitkan dengan badai ini sekitar 17 orang.
Selain korban relatif kecil, kerusakan bisa diminalkan padahal Lan merupakan taifun terkuat di negeri itu dengan intensitas hujan lebih dari 800 milimeter (mm) dalam dua hari berturut-turut.
Demikian halnya, Amerika Serikat kerap kali mengeluarkan deklarasi darurat dan perintah evakuasi, instruksi rute evakuasi, kesiapan publik sebelum musim badai termasuk logistik, serta alat analisis risiko untuk keputusan yang dipandu data.
Praktik ini menunjukkan bagaimana informasi prakiraan cuaca dipadukan dengan tindakan nyata untuk mengurangi korban jiwa dan cedera ketika badai mendekat.
Indonesia memang tidak serentan Filipina, Jepang, atau Amerika Serikat yang dilintasi jalur siklon karena posisi geografisnya. Indonesia yang berada di dekat garis khatulistiwa, mestinya relatif aman dari dampak langsung siklon tropis. Namun dengan mendaratnya siklon Seroja pada 2021 dan Senyar tahun ini, kita mesti lebih serius menyiapkan mitigasi terhadap ancaman ini.
Tak hanya ancaman langsung dari bahaya siklon, hujan musiman juga telah menjadi sumber utama bencana berulang yang sejauh ini gagal diantisipasi. Hampir setiap tahun banjir dan longsor menelan ratusan korban jiwa karena buruknya sistem peringatan dini dan aksi dini kita.
Serial Artikel
Yang Mematikan Bukan Hujan
Siklon Senyar memicu hujan ekstrem. Namun, struktur ekologis Sumatera yang dihancurkan itulah yang memicu banyaknya korban jiwa dalam bencana banjir dan longsor.
Data BNPB menunjukkan sejak 2015 hingga 2025, bencana hidrometeorologi meliputi banjir, longsor dan angin kencang, selalu dominan terjadi dengan persentase di atas 97 persen.
Periode 1 Januari 2025 hingga 17 Desember 2025 saja telah terjadi 3.116 bencana di Indonesia yang mengakibatkan 1.498 orang meninggal, 264 orang hilang, 7.751 orang luka-luka, dan 10,27 juta orang mengungsi.
Mayoritas (99 persen) bencana tahun ini merupakan bencana hidrometeorologi, terutama banjir dan cuaca ekstrem. Dengan pemanasan global yang menguat, ancaman bencana terkait cuaca dan iklim bisa diproyeksikan akan terus meningkat.
Titik lemah penanggulangan bencana kita tak hanya pada mitigasi. Asesmen buruk dan meremehkan juga berdampak pada kelambatan penanganan bencana Sumatera kali ini. Hingga sebulan setelah bencana, sejumlah desa masih terisolasi dan pengungsi kekurangan makanan, air bersih, hingga pasokan listrik.
Tak mengherankan, banyak penyintas gempa bumi dan tsunami 2004 yang menyatakan penanganan bencana kali ini lebih buruk. Salah satunya karena keputusan politik pemerintah yang tidak menjadikan bencana nasional dan membatasi bantuan asing.
Perlu dicatat, besarnya skala bencana dan banyaknya korban jiwa dalam banjir dan longsor di Sumatera tahun ini juga disebabkan oleh kerusakan lingkungan yang parah, tidak semata-mata oleh intensitas hujan.
Data dari MapBiomas Indonesia menunjukkan, hutan di Aceh, Sumut dan Sumbar telah menyusut 1,2 juta hektar (ha) dari 9,49 juta ha tahun 1990 menjadi 8,26 juta ha pada 2024. Deforestasi ini terutama untuk perkebunan sawit, hutan tanaman industri, dan pertambangan.
Tak hanya di Sumatera, deforestasi, yang sebagian dilegalkan atas nama proyek strategis nasional terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Bahkan hal ini dilakukan di pulau-pulau kecil yang kaya keragaman hayati namun memiliki ekosistem rapuh seperti terjadi di sekitar Sulawesi, Kepulauan Maluku, Maluku Utara, hingga Raja Ampat di Papua.
Berulang kali banjir melanda daerah-daerah ini. Belum usai penanganan banjir bandang di Morowali, kabupaten sebelahnya, Morowalu Utara, yang sama-sama jadi pusat hilirisasi nikel mengalami hal serupa di awal Januari 2025. Banjir makin intens sejak penambangan nikel mulai beroperasi di kawasan ini pada tahun 2018, yang menjadi alarm bahaya ke depan.
Namun di awal tahun pula Menteri Kehutanan menyampaikan tentang 20 juta hektar area hutan yang dicadangkan untuk program pangan, energi, dan air. Wacana ini merupakan kelanjutan dari pernyataan Presiden Prabowo Subianto "tak perlu takut deforestasi" demi menambah sawit.
Prabowo mengulang tentang rencana ekspansi perkebunan sawit, ketika dampak bencana ekologi di Sumatera belum selesai ditangani. Dalam arahan kepada kepala daerah se-Papua di Istana Negara, Jakarta, pada 16 Desember 2025, Prabowo menyampaikan niatan menambah perkebunan sawit di Papua dengan alasan mewujudkan swasembada energi.
Tahun ini kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tidak meluas. Namun, itu bukan karena keberhasilan dalam mitigasinya. Hal ini lebih karena tahun ini cenderung basah dengan La Nina lemah yang diperkirakan bakal terjadi hingga trimester 2025 mendatang.
Namun jika di tahun-tahun mendatang kembali terjadi El Nino, maka bisa diduga bakal terjadi kebakaran hutan dan lahan secara masif sebagaimana terjadi pada tahun 2015 lalu.
Dengan kerusakan lingkungan yang kian masif, ditambah dampak perubahan iklim makin intens, bencana demi bencana hidrometeorologi, baik berupa banjir, longsor, hingga kebakaran hutan dan lahan, bakal kian intens. Dengan ancaman yang meningkat itu, belum terlihat peningkatan kapasitas penanggulangan bencana, terutama dalam hal mitigasi.




