Upaya Indonesia mempercepat transisi menuju energi bersih mulai menemukan jangkar kelembagaan. Badan Pengelola Investasi Danantara Indonesia menggandeng PT PLN (Persero) untuk memperluas investasi di sektor energi baru dan terbarukan (EBT), sejalan dengan peta jalan ketenagalistrikan nasional yang kian hijau.
Setelah memulai tender pengadaan teknologi pengolahan sampah menjadi energi untuk sejumlah kota, Danantara kini mengarahkan fokus pada proyek ketenagalistrikan nasional.
Melalui holding Danantara Investment Management (DIM), Danantara dan PLN menandatangani kesepakatan pokok (head of agreement) untuk mempercepat pengembangan pembangkit listrik berbasis EBT di Indonesia. Kesepakatan ini menjadi pintu awal penjajakan investasi strategis berskala besar.
Dalam kerja sama tersebut, DIM akan menjajaki peluang investasi pada proyek-proyek EBT yang dikembangkan oleh anak usaha PLN, yakni PLN Nusantara Renewables dan PLN Indonesia Power Renewables. Fokusnya adalah pembangkit yang siap dikembangkan dan memiliki kepastian eksekusi.
Chief Investment Officer Danantara Indonesia Pandu Sjahrir menyebut kolaborasi ini relevan dengan dua agenda besar nasional, yakni swasembada energi dan respons terhadap krisis iklim yang kian mendesak. Menurut dia, investasi energi masa depan tidak dapat dilepaskan dari aspek keberlanjutan.
”Danantara Indonesia berkomitmen mendukung pembangunan energi masa depan melalui investasi yang tidak hanya berorientasi pada imbal hasil finansial, tetapi juga pada keberlanjutan bagi generasi mendatang,” kata Pandu, dalam keterangan resmi yang dikutip Kompas, Jumat (26/12/2025).
Danantara memandang pengembangan EBT sebagai sektor prioritas seiring dengan meningkatnya kebutuhan transisi menuju sistem energi yang lebih bersih. Di tengah ketergantungan pada energi fosil, EBT dinilai menjadi fondasi penting ketahanan energi nasional.
Selain dampak lingkungan, sektor EBT juga dinilai memiliki efek berganda yang luas. Mulai dari peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, penguatan ekonomi daerah, hingga penciptaan lapangan kerja hijau yang semakin dibutuhkan dalam struktur ekonomi masa depan.
Penandatanganan kesepakatan pokok ini disebut sebagai tonggak awal untuk menjajaki kebutuhan investasi strategis yang besar. Tujuannya tidak hanya mendorong kapasitas pembangkit EBT yang andal, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam transformasi hijau global.
Kolaborasi dengan PLN memberi nilai tambah tersendiri. Kapasitas investasi yang dimiliki Danantara dipadukan dengan kesiapan operasional dan pengalaman PLN dalam mengelola sistem ketenagalistrikan nasional.
Melalui peran tersebut, lanjut Pandu, Danantara tidak hanya hadir sebagai penyedia pembiayaan. Institusi ini juga berperan aktif mengidentifikasi tantangan proyek, membuka akses permodalan yang kompetitif, serta mendukung terciptanya ekosistem investasi hijau yang berkelanjutan.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menilai kehadiran Danantara memperkuat langkah perseroan dalam mengembangkan energi terbarukan secara lebih terstruktur. ”Kerja sama ini diharapkan memastikan proyek-proyek hijau nasional berjalan tepat waktu,” ujarnya.
Untuk penambahan kapasitas pembangkit sebesar 20 GW saja, PLN memperkirakan kebutuhan investasi mencapai sekitar Rp 600 triliun atau setara 36 miliar dollar AS.
Menurut Darmawan, percepatan proyek EBT penting untuk memberikan manfaat jangka panjang, baik bagi masyarakat ataupun keandalan sistem ketenagalistrikan nasional yang terus menghadapi tantangan pertumbuhan permintaan.
Arah kerja sama ini sejalan dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Dalam dokumen tersebut, Indonesia merencanakan penambahan kapasitas pembangkit sekitar 70 gigawatt (GW), dengan sekitar 76 persen di antaranya berasal dari energi terbarukan.
Untuk penambahan kapasitas pembangkit sebesar 20 GW saja, PLN memperkirakan kebutuhan investasi mencapai sekitar Rp 600 triliun atau setara dengan 36 miliar dollar AS. Angka ini menunjukkan besarnya kebutuhan pembiayaan jangka panjang di sektor energi.
Kesepakatan antara Danantara dan PLN masih berada pada tahap awal. Bentuk dan struktur investasi akan diumumkan kemudian, setelah proses penjajakan proyek dan skema pendanaan disepakati kedua belah pihak.
Di tingkat kebijakan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah merilis RUPTL 2025–2034 yang diklaim sebagai rencana pengembangan ketenagalistrikan ”terhijau” sepanjang sejarah Indonesia.
Dalam konferensi pers perilisan RUPTL pertengahan tahun ini, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa RUPTL 2025-2034 disusun melalui kajian menyeluruh dan mengacu pada Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional serta Kebijakan Energi Nasional. RUPTL berfungsi sebagai penerjemah kebijakan ke dalam langkah operasional.
Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menempatkan kedaulatan energi dan transisi energi sebagai program prioritas nasional. Dalam konteks itu, RUPTL menjadi instrumen utama untuk memastikan ketersediaan listrik nasional sekaligus menurunkan emisi.
Berdasarkan paparan Kementerian ESDM, dari total tambahan pembangkit sekitar 69,5 GW hingga 2034, sebanyak 42,6 GW berasal dari EBT dan 10,3 GW dari sistem penyimpanan energi. Energi surya menjadi kontributor terbesar dengan target 17,1 GW.
Potensi tersebut mencerminkan anugerah sumber daya alam Indonesia. Namun, tantangan terbesar bukan pada ketersediaan potensi, melainkan pada konsistensi kebijakan, kesiapan pendanaan, dan kemampuan eksekusi di lapangan, ruang di mana peran Danantara sebagai lembaga penopang transisi energi bersih diuji.



