Naypyidaw: Myanmar akan menggelar tahap pertama pemilihan umum pada Minggu, 28 Desember 2025, menjadi pemilu nasional pertama dalam lima tahun terakhir. Namun, pemungutan suara ini dinilai para pengkritik tidak akan memulihkan demokrasi rapuh yang runtuh akibat kudeta militer 2021, maupun mengakhiri perang saudara yang dipicu oleh pemerintahan militer.
Militer membingkai pemilu ini sebagai langkah kembali menuju sistem multipartai. Namun, banyak pihak menilai pemungutan suara tersebut dimaksudkan untuk memberikan legitimasi semu bagi kekuasaan junta, yang mengambil alih pemerintahan setelah menggulingkan pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi empat tahun lalu.
Baca Juga :
PBB Peringatkan Eskalasi Kekerasan di Myanmar Jelang Pemilu Bentukan MiliterPemilu akan digelar dalam tiga tahap, dengan pemungutan suara lanjutan dijadwalkan pada 11 Januari dan 25 Januari. Namun, kelompok hak asasi manusia dan oposisi menilai pemilu ini tidak akan berlangsung bebas dan adil, serta kekuasaan pada akhirnya tetap berada di tangan pemimpin militer Senior Jenderal Min Aung Hlaing. Pemilu Dinilai Tak Kredibel Richard Horsey, analis Myanmar dari International Crisis Group, menegaskan pemilu ini diselenggarakan oleh institusi militer yang sama dengan pihak yang melakukan kudeta.
“Pemilu ini sama sekali tidak kredibel,” katanya kepada The Associated Press dan dikutip TRT World, Jumat 26 Desember 2025.
“Tidak ada satu pun partai politik yang menang besar pada pemilu terakhir atau pemilu sebelumnya yang ikut serta,” tambahnya.
Menurut Horsey, strategi militer adalah memastikan Partai Union Solidarity and Development Party (USDP) yang didukung militer meraih kemenangan besar, sehingga Myanmar beralih dari pemerintahan militer langsung menuju pemerintahan dengan “selubung sipil” yang tetap mempertahankan kendali tentara.
Langkah tersebut juga dinilai akan digunakan militer untuk mengklaim adanya kemajuan menuju inklusivitas, sejalan dengan proposal perdamaian dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang menyerukan dialog konstruktif di antara semua pihak.
Kondisi ini sekaligus memberi alasan bagi negara-negara tetangga seperti Tiongkok, India, dan Thailand untuk melanjutkan dukungan mereka dengan dalih menjaga stabilitas Myanmar.
Sebaliknya, negara-negara Barat tetap memberlakukan sanksi terhadap para jenderal penguasa Myanmar karena tindakan antidemokrasi dan operasi militer brutal terhadap lawan-lawan politik.
Kontestasi Politik Dibatasi Pada Minggu ini, pemungutan suara hanya akan berlangsung di 102 dari total 330 wilayah administratif Myanmar. Sebanyak 65 wilayah tidak akan ikut memilih karena konflik yang masih berlangsung dengan kelompok gerilya etnis dan pasukan perlawanan.
Sebanyak 57 partai mencalonkan kandidat, tetapi sebagian besar hanya bertarung di wilayah asal masing-masing. Hanya enam partai yang berkompetisi secara nasional dan berpeluang meraih kursi signifikan. Aturan pemilu yang berlaku dinilai menguntungkan USDP untuk memimpin pemerintahan baru
Hampir 5.000 kandidat bersaing memperebutkan lebih dari 1.100 kursi di parlemen nasional serta legislatif daerah dan negara bagian. Namun, jumlah kursi yang terisi diperkirakan lebih sedikit karena tidak semua daerah ikut memilih. Komisi Pemilihan Umum belum merilis jumlah pemilih tetap, meski pada pemilu 2020 tercatat lebih dari 37 juta pemilih. Oposisi Dilarang Berpartisipasi Aung San Suu Kyi yang kini berusia 80 tahun tidak ambil bagian dalam pemilu. Ia tengah menjalani hukuman penjara 27 tahun, sementara partainya, National League for Democracy, dibubarkan setelah menolak mendaftar ulang sesuai aturan baru militer.
Sejumlah partai lain juga memboikot pemilu atau menolak berpartisipasi karena menilai persyaratannya tidak adil. Kelompok oposisi pun menyerukan pemilih untuk tidak menggunakan hak suara.
Analis Asian Network for Free Elections, Amael Vier, mencatat bahwa partai-partai yang meraih 90 persen kursi pada pemilu 2020 kini tidak lagi eksis. Undang-Undang Perlindungan Pemilu yang diberlakukan tahun ini juga memberlakukan sanksi berat dan secara efektif melarang kritik publik terhadap pemilu. Lebih dari 200 orang telah didakwa hanya karena selebaran atau aktivitas daring. Krisis Kemanusiaan Berlanjut Konflik berkepanjangan telah menimbulkan dampak kemanusiaan yang besar. Data Assistance Association for Political Prisoners mencatat lebih dari 22.000 orang ditahan atas pelanggaran politik dan lebih dari 7.600 warga sipil tewas akibat operasi pasukan keamanan sejak kudeta.
Lebih dari 3,6 juta orang kini mengungsi di dalam negeri, sebagian besar akibat pertempuran, menciptakan krisis kemanusiaan serius.
Kantor HAM PBB menyatakan Myanmar mengalami peningkatan kekerasan, represi, dan intimidasi menjelang pemilu yang dikendalikan militer, dengan ancaman datang baik dari otoritas militer maupun kelompok bersenjata oposisi.
Peneliti Amnesty International Joe Freeman menyebut banyak pihak khawatir pemilu ini justru akan memperkuat kekuasaan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pembunuhan di luar hukum selama bertahun-tahun.
Horsey menilai bahwa pascapemilu, konflik justru berpotensi meningkat karena para penentang berupaya menunjukkan bahwa militer tetap tidak memiliki legitimasi publik.



