JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK telah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan dalam dugaan kasus korupsi pemberian izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Alat bukti yang belum cukup menjadi pertimbangan KPK. Namun, keputusan KPK tersebut dipertanyakan karena kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp 2,7 triliun.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangan tertulis Jumat (26/12/2025) membenarkan bahwa KPK telah menerbitkan SP3 terkait kasus dugaan korupsi pemberian izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Perkara tersebut telah bergulir sejak 2009. Namun, setelah didalami, penyidik KPK tidak menemukan alat bukti yang cukup.
“Bahwa tempus perkaranya adalah 2009, dan setelah dilakukan pendalaman pada tahap penyidikan tidak ditemukan kecukupan bukti. Sehingga KPK menerbitkan SP3 untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak terkait,” tuturnya.
Menurut Budi, jika masyarakat memiliki informasi yang baru terkait perkara tersebut dapat melaporkannya kepada KPK.
Keputusan KPK menghentikan penyidikan perkara korupsi pemberian izin tambang Nikel itu pun dipertanyakan. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bahkan berniat untuk menggugat keputusan KPK itu ke pengadilan.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman menjelaskan alasan mengajukan gugatan ke pengadilan. Menurut dia, berdasarkan Pasal 158 huruf e KUHAP yang baru disahkan disebutkan bahwa penundaan penanganan perkara termasuk dalam objek praperadilan. Selain itu, KUHAP tersebut akan resmi berlaku mulai 2 Januari 2026. Karena itu, MAKI berencana mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada pertengahan Januari 2026.
Boyamin juga menjelaskan, gugatan diajukan karena pada 2017, pimpinan KPK saat itu, Saut Situmorang pernah mengungkapkan bahwa kerugian negara akibat korupsi di Konawe Utara itu mencapai Rp 2,7 triliun. Tak hanya itu, diduga pula ada aliran dana yang mengalir ke pejabat negara dalam proses pemberian izin tambang tersebut.
”Alasannya sederhana, karena pimpinan KPK, Pak Saut Situmorang kalau tidak salah, pernah mengatakan diduga juga ada aliran uang kepada oknum pejabatnya senilai Rp 13 miliar. Nah, kedua, juga ada dugaan kerugian dari proses pemberian izin yang itu kemudian dianggap tidak sah izinnya, sehingga pengambilan isi tambang yang Rp 2,7 triliun itu menjadi kerugian negara,” tuturnya.
Oleh karena itu, Boyamin menilai penerbitan SP3 oleh KPK itu janggal. Padahal, kasus di Konawe Utara itu pernah terungkap adanya dugaan pemberian suap senilai Rp13 miliar. Bahkan, mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman juga sudah ditetapkan tersangka tetapi hingga kini, belum pernah ditahan.
Sebab itu, lanjutnya, KPK harus menjelaskan kepada masyarakat tentang apa dasar hukum, dan alasan hukum penghentian penyidikan kasus tersebut. “KPK harus menjelaskan apa dasar hukum penerbitan SP3 itu,” kata Boyamin.
Berdasarkan catatan Kompas, pada Oktober 2017, Wakil KPK saat itu, Saut Situmorang, mengungkapkan, KPK telah menetapkan mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi perizinan tambang di daerahnya. Kerugian negara dalam kasus korupsi izin tambang tersebut diperkirakan mencapai Rp 2,7 triliun.
Indikasi kerugian negara Rp 2,7 triliun diperoleh KPK dari catatan penjualan hasil produksi nikel, yang diduga diperoleh akibat proses perizinan yang dikeluarkan Aswad selama menjadi bupati, sarat dengan praktik korupsi. Aswad juga diduga menerima suap dari sejumlah perusahaan pertambangan nikel swasta dengan mengabaikan prosedur yang berlaku.
Boyamin melanjutkan, selain menggugat KPK ke pengadilan, pihaknya juga berencana melaporkan kasus tersebut kepada Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung dinilai lebih berpengalaman dalam menangani kasus serupa, seperti pada perkara korupsi nikel dan timah. Dengan adanya laporan tersebut diharapkan akan dimulainya kembali proses hukum dari tahap pengumpulan keterangan hingga penetapan tersangka.
”Saya berharap ini juga bisa ditangani oleh Kejaksaan Agung, karena apa? Kejaksaan Agung nampaknya lebih berpengalaman. Jadi selain saya mengajukan gugatan, juga saya akan melaporkan ini ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan proses penanganan hukum secara dugaan korupsi,” katanya.
Sementara itu, mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, mengatakan, meski undang-undang memberikan kewenangan KPK untuk menerbitkan SP3, akan tetapi langkah itu tidak bisa dilakukan sembarang. Jika karena alasan bukti yang kurang makan penerbitan SP3 itu tidak dapat diterima.
Yudi mendesak KPK untuk memberikan penjelasan yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa transparansi dan akuntabilitas terkait SP3 tersebut maka kecurigaan dari masyarakat kepada KPK akan meninggi.
“KPK harus menjelaskan kepada publik Apa faktor penyebab mereka melakukan SP3 kasus yang merugikan negara begitu besar tersebut. Termasuk siapa dugaan orang-orang atau perusahaan yang telah diperiksa terkait penyidikan tersebut. Apakah calon tersangka meninggal? Mengapa SP3 alih-alih bertarung di pengadilan,” ujar Yudi.



