Liputan6.com, Jakarta - Penanganan pasca-bencana alam di Indonesia sering kali terjebak pada pola yang berulang dan kurang menyentuh akar permasalahan keselamatan jangka panjang bagi para korban.
Pemerintah kerap melupakan aspek historis kebencanaan dan memaksakan upaya rekonstruksi atau pemulihan di lokasi yang sama (restorasi), padahal kondisi bentang alam sering kali sudah berubah total dan tidak lagi layak huni.
Advertisement
Hal ini menjadi sorotan utama Pakar Hukum Kehutanan Sadino yang menekankan bahwa langkah mitigasi bencana tidak boleh hanya berhenti pada antisipasi semata, tetapi harus disertai tindakan nyata yang terukur saat bencana itu benar-benar terjadi.
Menurut Sadino, kelemahan mendasar dalam manajemen bencana di tanah air adalah pendeknya ingatan kolektif terhadap sejarah bencana di suatu wilayah.
"Kan bisanya hanya antisipasi, mencegah supaya tidak terulang. Tetapi di kita juga sejarah dalam konteks bencana itu sering juga dilupakan. Karena kapan lagi terjadi itu belum tahu," ungkap Sadino kepada Liputan6.com, Rabu 24 Desember 2025
Ketidakpastian inilah yang seharusnya mendorong pemerintah untuk lebih taat pada tata lingkungan yang baik, termasuk pemanfaatan hutan yang lestari dan bukan untuk dihabiskan.
Namun, ketika bencana sudah melanda, teori antisipasi tidak lagi relevan bagi masyarakat yang sudah menjadi korban. Sadino menegaskan bahwa tindakan pemerintah harus realistis melihat kondisi korban yang kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.
Ia mengkritisi wacana rekonstruksi ulang di zona merah atau titik nol bencana yang sering didengungkan. Menurutnya, memaksakan masyarakat untuk kembali hidup di tempat yang telah hancur seperti area semburan atau longsor adalah tindakan yang kurang bijaksana.
"Karena masyarakat ini adalah sekarang sudah korban. Bahkan belum tentu dia bisa hidup di tempat semburan," papar Sadino.
Ia menilai, solusi paling manusiawi dan logis secara teknis bukanlah membangun kembali puing-puing di lokasi yang sama, melainkan memindahkan masyarakat ke lokasi baru yang lebih aman.
Keraguan ini muncul karena restorasi wilayah terdampak belum tentu berhasil mengembalikan fungsi lingkungan seperti sedia kala, sementara kebutuhan hidup masyarakat terus berjalan mendesak.



