Sejak Kecil Dibedakan: Akar Patriarki yang Meminggirkan Perempuan

kumparan.com
3 jam lalu
Cover Berita

Perempuan sering kali tumbuh dengan batas yang tidak mereka pilih sendiri. Sejak kecil, banyak dari mereka diajarkan untuk patuh, tenang, dan tidak terlalu menonjol, sementara laki-laki didorong untuk berani dan memimpin. Pola ini terus berulang hingga dewasa dan membentuk keyakinan bahwa ketimpangan gender adalah sesuatu yang wajar. Padahal, anggapan tersebut bukan kodrat, melainkan hasil dari sistem sosial yang telah lama mengakar, yaitu patriarki.

Selama berabad-abad, patriarki menjadi kerangka utama dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem ini menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan, sementara perempuan berada di posisi yang lebih rendah. Laki-laki dianggap sebagai pemimpin alami, sedangkan perempuan dilekatkan pada peran domestik. Pandangan ini diwariskan dari generasi ke generasi dan jarang dipertanyakan, meskipun dampaknya nyata dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.

Dari Kecil Sudah Dibedakan (Pola Asuh)

Patriarki mulai bekerja sejak usia dini melalui pola asuh yang tidak disadari. Anak laki-laki sering didorong untuk berani, mandiri, dan tegas, bahkan kerap disebut sebagai calon pemimpin. Sebaliknya, anak perempuan diminta untuk bersikap sopan, lembut, dan tidak banyak bicara.

Pesan-pesan sederhana ini secara perlahan menanamkan peran sosial yang kaku. Laki-laki tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka harus memimpin, sementara perempuan sering merasa ragu untuk bersuara atau mengambil keputusan besar. Padahal, perbedaan tersebut bukan berasal dari kemampuan alami, melainkan dari kesempatan yang sejak awal sudah dibatasi secara tidak seimbang.

Standar Ganda dan Ketimpangan yang Masih Nyata

Dampak patriarki dapat ditemukan di berbagai ruang kehidupan, mulai dari rumah, sekolah, hingga dunia kerja. Perempuan masih sering menerima upah lebih rendah meskipun memiliki beban dan kualitas kerja yang setara. Di ranah politik dan kepemimpinan, keterwakilan perempuan juga masih jauh tertinggal.

Selain itu, masyarakat masih memelihara standar ganda dalam menilai perilaku. Perempuan yang tegas sering dicap galak, sementara laki-laki dengan sikap yang sama dianggap berwibawa. Perempuan yang fokus bekerja dinilai egois, sedangkan laki-laki yang jarang di rumah justru dipuji sebagai pekerja keras. Pola penilaian ini membuat perempuan selalu berada dalam posisi serba salah dan membatasi ruang mereka untuk berkembang.

Sistem yang Tak Terlihat, tetapi Kuat

Patriarki sering kali tidak disadari karena bekerja secara halus dalam keseharian. Contohnya terlihat ketika pendapat perempuan diabaikan dalam rapat, atau ketika pekerjaan rumah dianggap bukan pekerjaan sungguhan. Hal-hal semacam ini tampak sepele, tetapi secara tidak langsung memperkuat anggapan bahwa perempuan berada pada posisi yang lebih rendah.

Yang lebih mengkhawatirkan, pola tersebut terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tanpa disadari, masyarakat ikut melanggengkan sistem yang membatasi potensi setengah dari penduduknya sendiri.

Melawan Sistem, Bukan Melawan Laki-laki

Masih banyak anggapan keliru bahwa melawan patriarki berarti memusuhi laki-laki. Padahal, yang dilawan adalah sistemnya, bukan individu. Bahkan, laki-laki pun sering menjadi korban dari tuntutan patriarki yang mengharuskan mereka selalu kuat, tidak boleh menunjukkan emosi, dan wajib berhasil dalam berbagai aspek kehidupan.

Tekanan semacam ini membuat laki-laki kehilangan ruang untuk menjadi manusia seutuhnya. Oleh karena itu, kesetaraan gender bukan soal siapa yang lebih unggul, melainkan tentang menciptakan ruang yang adil bagi semua orang untuk berkembang tanpa beban sosial yang tidak perlu.

Langkah Kecil Menuju Perubahan Besar

Perubahan menuju kesetaraan memang tidak dapat terjadi secara instan. Namun, ia bisa dimulai dari langkah-langkah sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan yang tidak membedakan peran berdasarkan gender, kesempatan yang setara di sekolah dan tempat kerja, serta penghargaan terhadap pekerjaan domestik merupakan bagian penting dari perubahan tersebut.

Media juga memiliki peran besar dalam membentuk cara pandang masyarakat. Representasi perempuan sebagai sosok yang cerdas, berdaya, dan berpengaruh dapat membantu mematahkan stereotip yang selama ini mengakar.

Kesetaraan adalah Keadilan

Sudah saatnya perempuan tidak lagi ditempatkan sebagai pelengkap atau pengikut. Perempuan adalah individu utuh dengan potensi besar yang layak mendapatkan ruang yang sama untuk tumbuh dan dihormati.

Masyarakat yang benar-benar maju adalah masyarakat yang berani menolak patriarki dan menjunjung keadilan bagi semua. Ketika perempuan diberi kesempatan yang setara, dunia akan menjadi lebih manusiawi, lebih seimbang, dan lebih adil. Sebab, kesetaraan bukan ancaman, melainkan fondasi bagi kemajuan bersama.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Prabowo: Di Tengah Perayaan Natal, Indonesia Tak Boleh Lupakan Bencana Sumatera
• 14 jam laluidxchannel.com
thumb
Bek Persib Federico Barba Akhirnya Respons Rumor Kepindahan ke Klub Italia Pescara
• 7 jam lalubola.com
thumb
Menteri PU Janji Jalan Nasional di Aceh Tamiang Pulih dalam Empat Hari
• 15 jam laluidxchannel.com
thumb
7 Kebiasaan Sederhana yang Membantumu Berhenti Overthinking
• 1 jam lalubeautynesia.id
thumb
Janji Federico Barba saat Persib Hadapi PSM
• 6 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.