Jelang pergantian tahun, isu sepinya wisatawan berkunjung ke Pulau Bali, khususnya wisatawan lokal, tersebar di jagat maya. Jika benar menurun, faktor kemacetan diduga menjadi salah satu penyebab wisatawan domestik memilih lokasi lain untuk berwisata.
Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana (Unud) I Putu Anom saat dihubungi, Jumat (26/12/2025) sore, mengatakan, selama ini banyak wisatawan domestik memilih kawasan Bali selatan, seperti Sanur, Nusa Dua, dan Kuta, sebagai tujuan wisata. Sementara kondisi jalur di segitiga emas ini sesak (crowded) dan sering macet sehingga membuat wisatawan bosan.
Wisatawan domestik biasanya datang secara rombongan bersama keluarga menggunakan kendaraan. ”Kondisi infrastruktur belum memadai, macet total. Begini, kan, susah. Pak Gubernur Bali merencanakan pembangunan underpass untuk mengurai kemacetan di berbagai tempat, tetapi belum terwujud,” katanya.
Kemacetan membuat waktu yang dimiliki oleh wisatawan menjadi terbuang di jalan. Sementara mereka tidak memiliki banyak waktu untuk berlibur. ”Kalau dari sisi cuaca, hujan saat ini sebenarnya tidak terlalu lebat. Jadi, lebih ke macet tadi sebagai penyebab. Kalau penyeberangan di Ketapang-Gilimanuk, tidak masalah,” ujarnya.
Soal kemungkinan menambah lokasi wisata di luar Bali selatan guna mengurangi konsentrasi wisatawan sebagai upaya ke depan, menurut Putu Anom, di kawasan Bali lain sebenarnya juga sudah ada destinasi wisata. Namun, Bali selatan tetap menjadi magnet paling diminati wisatawan domestik.
Akademisi Fakultas Pariwisata Unud, I Gusti Agung Oka Mahagangga, mengatakan, isu menurunnya kunjungan wisatawan domestik ke Bali tidak terlepas dari informasi di media sosial terkait Bali akhir-akhir ini, mulai dari cuaca buruk, banjir, macet, hingga sampah. Selain itu, kompetitor memiliki strategi untuk unggul dalam persaingan.
Isu-isu tersebut, menurut Oka, diunggah oleh beberapa praktisi pariwisata di media sosial. Hal itu patut menjadi perhatian para pihak terkait, yakni soal bagaimana mereka tanggap menyikapi isu dan mewujudkan Bali yang mengglobal, tetapi tetap memiliki keunggulan lokal, yaitu budaya yang intangible dan tangible yang telah mengharumkan nama Bali selama ini.
”Pak Gubernur dan jajaran pasti sudah cross check data dan mendalami apa yang sebenarnya terjadi dan mempersiapkan solusi lebih baik lagi pada tahun-tahun berikutnya,” ujarnya.
Sementara itu, Hari Purwanto (40), calon wisatawan asal Surabaya, Jawa Timur, mengaku sengaja tidak memasukkan Bali ke dalam agenda wisata libur panjang akhir tahun ini. Dia lebih memilih berlibur ke beberapa daerah di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, seperti Solo, Magelang, dan Semarang.
Menurut Hari, ada beberapa alasan dipilihnya obyek wisata di kedua wilayah tersebut, antara lain lebih mudah dijangkau jika ditempuh melalui jalur darat. Bersama keluarga besarnya, yang mencapai 12 orang, Hari berangkat dari Surabaya pada 28 Desember 2025 menggunakan kereta api, lalu turun di Solo.
Dari Solo, mereka menyewa kendaraan untuk menjangkau obyek-obyek wisata yang akan dikunjungi. ”Mengapa memilih kereta? Karena tiketnya relatif stabil. Kami juga menghindari kemacetan. Nanti saja saat mendekati lokasi wisata baru kami menyewa mobil,” ujarnya.
Tahun ini, Hari berencana memilih obyek wisata yang jauh dari hiruk pikuk, seperti desa wisata. Adapun Bali tidak masuk daftar karena bosan. Hari sering berwisata ke Bali. ”Kecuali, ada hal baru di Bali tengah, utara, timur. Itu pun kondisinya mungkin telah ramai wisatawan. Dari sisi transportasi juga sulit, mesti pakai pesawat. Saat momentum akhir tahun pasti harga tiket pesawat ke Bali naik,” tuturnya.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya membenarkan bahwa jumlah wisatawan domestik tahun ini sedikit turun dibandingkan tahun 2024. Target wisatawan domestik ke Bali sepanjang 2025 mencapai 10,5 juta orang dan kemungkinan turun 10 persen.
Menurut Agung, ada beberapa hal yang menyebabkan turunnya jumlah wisatawan domestik. Pertama, dampak kondisi ekonomi domestik. Selain itu, tidak ada kebijakan libur panjang atau cuti bersama sebagaimana terjadi pada pemerintahan sebelumnya.
”Karena itu, mereka lebih banyak berwisata di kota asal. Sekarang yang ramai, kan, Surabaya, Yogyakarta, Malang. Wisatawan lokal biasanya dari mana? Ya, dari Jawa karena penduduknya memang besar,” katanya.
Ada juga kemungkinan wisatawan domestik memilih melancong ke luar negeri. Mereka yang suka bepergian biasanya membandingkan harga tiket pesawat ke Bali dengan kota-kota lain di Asia Tenggara, seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Singapura.
”Artinya, ’aku bangga berwisata Indonesia’ harus dioptimalkan lagi. Caranya bagaimana? Pihak kementerian harus berkoordinasi bagaimana harga tiket jangan sama dengan Singapura. Coba kalau harga tiket ke Labuan Bajo, Lombok, Makassar, atau Bali ada promo, pasti ramai,” ujarnya.
Sebaliknya, kata Agung, kunjungan wisatawan asing ke Bali tahun ini meningkat 11,2 persen dari 6,3 juta (2024) menjadi 7 juta wisatawan. Angka ini melebihi target Pemerintah Provinsi Bali yang hanya 6,5 juta wisatawan.
Menurut Agung, dari sisi akomodasi, ada beberapa hotel yang menunjukkan penurunan okupansi mulai November sampai pertengahan Desember. Namun, hal itu wajar sebagai tren bisnis lantaran penurunannya masih di angka 60-70 persen. Kondisi itu tak lepas dari kebiasaan wisatawan yang memanfaatkan momentum Natal dan Tahun Baru untuk melakukan perjalanan wisata.
”Mereka menunggu anaknya liburan sekolah dan lainnya. Itu sudah biasa. Jadi, tidak bisa okupansi hotel sepanjang tahun harus 80 persen. Bisnis pariwisata itu ada up and down, tapi up-nya sampai 90 persen dan down-nya tidak akan turun dari 60-65 persen, itu masih bagus,” paparnya.
Kalaupun ada hotel yang mengalami penurunan okupansi, lanjut Agung, hal itu karena beberapa hal. Pertama, ada penambahan kamar dan sarana akomodasi pariwisata. Banyak hotel baru, begitu pula vila dan apartemen hingga pondok wisata. Guest house juga banyak di Bali.
”Mengapa mereka tidak tinggal di hotel? Karena menyesuaikan dengan kantong wisatawan itu sendiri. Hasil survei saya ke lapangan, wisatawan yang datang akhir-akhir ini menengah ke bawah (middle low) sehingga hanya beberapa saja yang tinggal di hotel berbintang,” ujarnya.
Meski demikian, secara umum, menurut dia, okupansi hotel di Bali bagus. Di kawasan Nusa Dua, misalnya, saat ini okupansinya 80 persen, Sanur 80 persen, Ubud 80 persen, dan Canggu naik sampai 85 persen.
Menurut I Gusti Agung Oka Mahagangga, isu Bali sepi tetap harus menjadi perhatian serius. Pada era digital, ketika aksi menimbulkan reaksi, akan berpotensi menimbulkan blunder jika isu-isu yang muncul tidak dikelola dengan baik.
”Artinya, agar citra Bali tetap menarik dan mengundang minat wisatawan untuk tetap datang, kualitas harus diutamakan sehingga apa yang di lapangan baik, linear dengan apa yang dicitrakan di medsos. Jika tidak sesuai kenyataan antara apa yang disampaikan dalam pemasaran dan promosi, misalnya, di medsos, maka dalam hitungan detik akan mendunia ketidakpuasan seorang wisatawan jika ia meng-upload-nya di medsos,” katanya.
Keadaan ini, menurut Oka, sering tidak disadari sehingga ke depan Bali harus semakin baik dan kembali ingat dengan ”produk utama” sejak zaman kolonial Belanda, yakni keunikan kebudayaan. ”Apa pun jenis wisata mungkin sudah ada di Bali, tetapi core product pariwisata budaya jangan dilupakan,” ujarnya.
Menurut Oka, secara evolutif, Bali telah mengalami beberapa kali fluktuasi yang mengkhawatirkan. Evolusi itu mulai dari isu diare wisatawan Australia tahun 1980-an dan wisatawan Jepang 1990-an, krisis Teluk 1990-1991, krisis moneter 1998, tragedi Bom Bali (2002), virus flu burung (2004-2005), hingga krisis keuangan global yang dipicu gelembung subprime mortgage di Amerika Serikat (2008). Selain itu, erupsi Gunung Agung (2017) dan pandemi Covid-19 tahun 2020-2021.
Jika diperhatikan, lanjutnya, setelah terjadinya peristiwa-peristiwa yang menyebabkan penurunan jumlah wisatawan dan terganggunya industri pariwisata di Bali, selalu dapat dilakukan pemulihan dan Bali kembali bangkit. Upaya pemulihan perlu dilakukan oleh segenap pihak guna mempertahankan dan meningkatkan citra Bali sebagai destinasi wisata internasional.
”Mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat Bali, para pengusaha yang memiliki investasi di Bali, hingga para wisatawan. Kita ingat, pascatragedi Bom Bali 2002 dan pandemi, betapa wisatawan domestik sangat membantu pemulihan,” ujarnya.
Perlu selalu diingat, lanjut Oka, tanpa sektor pariwisata, perekonomian Bali akan lumpuh. Sejak tahun 1990, sektor primer masyarakat Bali telah bergeser dari pertanian ke sektor jasa, yaitu pariwisata.
”Jadi, segenap komponen di Bali harus semakin berbenah meskipun tidak terkait langsung dengan sektor pariwisata. Filosofi Tri Hita Karana hendaknya jangan di atas kertas, tetapi diwujudkan karena sangat sejalan dengan isu pariwisata internasional, sustainable tourism,” ujarnya.
Menurut Oka, Bali sebenarnya sudah memiliki segalanya, tinggal ke arah mana Bali akan dibawa dan seberapa tinggi kesadaran segenap komponen untuk memahami bahwa Bali adalah pulau kecil yang memiliki ambang batas dan masih ada generasi-generasi mendatang yang harus dipikirkan keberlanjutannya.
Modal Bali sebagai destinasi wisata yang sudah berumur lebih dari seratus tahun dengan atraksi dan produk wisata, akomodasi, fasilitas pendukung, dan sarana prasarananya tetap akan menarik wisatawan, termasuk wisatawan domestik. ”Fenomena penurunan jumlah wisatawan domestik pada 2025 ini menjadi pelajaran berharga untuk semakin meningkatkan kualitas pariwisata,” pungkasnya.





