Dalam pandangan agama, bencana alam untuk mengingatkan manusia agar tidak arogan dan serakah dalam mengekploitasi sumber daya alam. Agama juga mendorong manusia agar memiliki kesalehan ekologis untuk merawat, menjaga, dan mengelola bumi untuk kemakmuran seluruh umat manusia tanpa harus menghancurkan alam.
Sejatinya, bencana alam bisa dilihat dari dua faktor, dari faktor alam dan sudut pandang agama. Dari faktor alam, bencana bisa saja terjadi karena pergeseran lempeng tektonik, kadar curah hujan yang tinggi dan cuaca ekstrim. Namun, dari sudut pandang agama, bencana alam menjadi teguran, peringatan dan pelajaran bagi manusia yang merusak alam dan lingkungan.
Dalam pandangan agama, bencana bukan sekadar peristiwa alam yang kebetulan terjadi, tetapi juga bisa jadi ulah manusia sehingga tampak kerusakan di darat dan di laut. Inikah yang akan kita wariskan kepada generasi selanjutnya tanpa bisa bisa menikmati alam indah Indonesia sesungguhnya.
Menjelang akhir tahun, bencana datang silih berganti. Bukankah kita bisa mengambil pelajaran dari bencana sebelumnya, ketika menghadapi perubahan cuaca alam yang ekstrem hingga terjadi bencana dan banyak menimbulkan kerusakan bahkan korban melayang.
Hal ini harusnya membuka kesadaran dan mata hati kita untuk lebih waspada, hati-hati, untuk mempersiapkan dengan segala kemungkinan yang terjadi agar dapat memiliki tata kelola lingkungan yang baik, menjaga habitat dan ekosistem di darat dan lautan, dan ini menjadi peringatan bagi orang-orang yang rakus dan serakah yang ingin eksploitasi SDA hingga hilang keseimbangan alam.
Fenomena banjir bandang dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat adalah contoh nyata bagaimana ulah manusia memperparah dampak bencana alam. Bukan hanya curah hujan ekstrem yang memicu longsor dan banjir, tetapi destruksi lingkungan yang telah berlangsung puluhan tahun memainkan peran besar dalam memperparah dampaknya.
Bencana ini tidak datang tanpa tanda, menjadi konsekuensi dari perbuatan yang mengabaikan keseimbangan alam dan mengorbankan habitat demi keuntungan sesaat. Mengorbankan alam hanya untuk kekuasaan dan keserakahan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui website bnpb.go.id merilis bahwa sebanyak 52 kabupaten/kota berdampak, 158.096 ribu rumah rusak, 1.9 ribu fasilitas umum hancur, 737 jembatan rusak, 806 rumah ibadah rusak, 875 fasilitas pendidikan rusak, 176 dinyatakan hilang, 7 ribu jiwa terluka, dan 1112 jiwa meninggal. Data ini masih terus bertambah dan berubah.
Membaca data diatas menjadi perhatian kita semua. Ini adalah tragedi yang luar biasa besar, dan terus bergerak karena proses pencarian dan pertolongan masih berlangsung di berbagai lokasi terdampak.
Kerusakan alam yang masif memperlihatkan betapa rapuhnya tata kelola lingkungan saat ini. Tebangan pohon di daerah hulu masuk ke pemukiman warga, potongan kayu ikut terbawa arus deras banjir, sementara tanah yang kehilangan daya serap akibat deforestasi tidak lagi mampu menahan air hujan.
Akibatnya, banjir bandang dan tanah longor terjadi secara tiba-tiba, tanpa kompromi, menerjang desa-desa dan menelan banyak korban. Semua material yang seharusnya menjadi bagian dari ekosistem yang menahan aliran air, kini justru menjadi mesin penghancur ketika badai datang.
Kerusakan bumi yang nyata ini bukan sekadar cerita bencana lokal, tetapi cerminan dari ulah tangan manusia yang serakah dan egois. Allah SWT berfirman dalam Surat Ar-Rum ayat 41 bahwa kerusakan alam tampak nyata akibat ulah tangan manusia dan kelalaian ini berakibat kepada sesama manusia dan lingkungan.
Ketika manusia lalai dalam menjaga alam, maka dampaknya dirasakan oleh manusia lain, yakni korban jiwa, kehilangan harta benda, dan penderitaan tiada henti. Bencana ini menjadi peringatan keras bahwa mengabaikan alam adalah mengabaikan amanah sebagai khalifah di muka bumi.
Ulah tangan manusia yang merusak alam tidak bisa dibiarkan terus menerus terjadi. Eksploitasi sumber daya alam secara rakus telah mencabut jutaan batang pohon dari tanah yang semestinya lestari.
Pembangunan gedung dan infrastruktur sering merusak struktur tanah mengakibatkan hilangnya daya serap. Pembuangan sampah sembarangan tanpa rasa peduli telah mencemari ekosistem laut, sungai dan lingkungan, sementara polusi dari kendaraan dan industri mempercepat pemanasan global. Semua tindakan ini tampak terpisah, namun semuanya berkontribusi pada tingginya frekuensi dan dampak bencana alam.
Bencana alam semestinya menjadi momen refleksi bersama. Umat manusia perlu menyadari bahwa sebagai khalifah, kita memiliki tanggung jawab terhadap alam dan lingkungan. Ini bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi amanah yang dititipkan Allah agar bumi tetap lestari, bersih, dan bisa diwariskan kepada generasi berikutnya.
Sebagai negara yang kaya sumber daya alam, Indonesia adalah surga yang dipenuhi keindahan. Seperti bait lagu Kolam Susu yang menggambarkan tanah air sebagai tempat di mana “tongkat kayu dan batu jadi tanaman,” keindahan ini seyogianya dijaga, bukan dirusak. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah harus disyukuri dengan menjaga keseimbangan ekologisnya, bukan dimanfaatkan secara semena-mena hanya untuk kepentingan segelintir pihak.
Kesalehan ekologis bukan hanya tugas individu, tetapi juga sosial dan kolektif. Kesalehan tidak hanya tampak pada individu dan sosial, tapi juga harus tampak pada kesalehan ekologis untuk senantiasa menjaga alam dan lingkungan agar tampak asri, indah dan bersih.
Dalam tragedi ini, sesama anak bangsa mesti mengulurkan tangan untuk membantu mereka yang terdampak. Apa pun yang bisa kita lakukan berupa donasi uang, makanan, pakaian, atau bantuan lain tentu akan meringankan penderitaan saudara-saudara kita di daerah terdampak bencana.
Solidaritas sosial bukan hanya menunjukkan kemanusiaan, tetapi juga bagian dari kesalehan ekologis yang memperhatikan sesama sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Bencana alam memang tidak bisa sepenuhnya dihindari, namun kita bisa meminimalkan dampaknya melalui tata kelola lingkungan yang baik dan tindakan pencegahan yang serius. Ini bukan sekadar tentang statistik korban, tetapi tentang bagaimana kita introspeksi diri sebagai manusia yang diberi amanah di bumi ini.
Teguran, peringatan, dan pelajaran dari peristiwa bencana ini harus membuka mata dan hati kita untuk kembali kepada Allah SWT, memperbaiki hubungan dengan sesama, dan memperbaiki hubungan kita dengan alam. Kita tanamkan kembali beragam pohon agar tampak asri dan terhindar dari erosi.
Mari kita jaga bumi ini bukan hanya untuk kita tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Kita tidak hanya menjadi hamba yang saleh secara individu, dan sosial, tetapi juga secara saleh secara ekologis agar bumi tetap asri, lestari, dan dikelola dengan bijak untuk maslahat umat tanpa mengorbankan kehidupan orang lain.



