jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Rumah Pilar Kemajuan Robbi Syahrir secara tegas membantah pernyataan mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu yang menyebut Peraturan Kepolisian (Perpol) Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 (Perpol 10/2025) sebagai bentuk ‘kudeta senyap’.
Dia meniai tudingan tersebut tidak berdasar secara hukum, berlebihan, dan berpotensi menyesatkan publik.
BACA JUGA: Lilin Nusantara: PP Bentuk Dukungan Strategis Pemerintah untuk Perpol 10/2025
“Perpol 10/2025 justru disusun sebagai tindak lanjut langsung atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang mengatur batas penempatan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian,” ujar Robbi Syahrir dalam keterangan tertulis pada Sabtu (27/12/2025).
Menurut Robbi, Perpol 10/2025 bukan perluasan kewenangan, melainkan instrumen pembatasan.
BACA JUGA: Tanggapi Polemik Soal Perpol 10/2025, Febry Wahyuni Sabran: Rencana Penerbitan PP Memberi Kepastian Hukum
“Ia memastikan penugasan personel Polri tetap berada dalam koridor hukum dan sesuai putusan MK,” tegas Robbi.
Robbi menjelaskan Perpol tersebut disusun melalui konsultasi dengan kementerian dan lembaga terkait dengan prinsip bahwa penempatan personel Polri pada jabatan sipil hanya dimungkinkan pada posisi tertentu dan berdasarkan kebutuhan objektif organisasi jabatan sipil yang bersangkutan.
BACA JUGA: Prabowo Perkuat Perpol dengan PP, Desakan KRP Kandas, Kebijakan Polri Naik Kelas
Oleh karena itu, menurutnya, tidak tepat jika regulasi tersebut dituding sebagai upaya penyelundupan agenda politik.
Menanggapi pernyataan Said Didu, Robbi menilai penggunaan istilah “kudeta sunyap” merupakan narasi yang keliru dan tidak proporsional.
Pernyataan Said Didu tersebut adalah pernyataan yang tendensius dan cenderung provokatif. Ia menegaskan bahwa dalam konteks ketatanegaraan, kudeta memiliki makna serius, yakni pengambilalihan kekuasaan di luar mekanisme konstitusional.
“Hingga saat ini tidak ada argumentasi hukum yang menjelaskan di mana letak muatan kepentingan politik dari Perpol Polri tersebut. Menyebutnya sebagai kudeta, apalagi ‘kudeta senyap’, adalah klaim yang tidak didukung fakta hukum dan provpkatif sehingga berpotensi menyebabkan kegaduhan serta tidak kondusifnya kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.
Robbi mengingatkan kritik terhadap kebijakan negara adalah hal yang sah dalam demokrasi.
Namun, kritik tersebut harus disampaikan dengan argumentasi hukum yang jelas, bukan dengan istilah sensasional yang berpotensi menciptakan kegaduhan dan memperkeruh ruang publik.
Menurutnya, perdebatan mengenai relasi antara kepolisian dan jabatan sipil seharusnya ditempatkan dalam kerangka konstitusi dan mekanisme pengawasan demokratis, bukan dalam logika kecurigaan yang berlebihan.
Dia menilai tudingan tanpa dasar justru dapat mengaburkan substansi reformasi yang sedang berjalan.
Dalam kesempatan itu, Rumah Pilar Kemajuan juga mengajak publik untuk mengawal dan mengawasi secara rasional kerja Tim Reformasi Polri, baik yang berasal dari internal Polri maupun yang dibentuk oleh Presiden.
Robbi menekankan bahwa kepercayaan terhadap proses reformasi harus berjalan beriringan dengan pengawasan publik yang ketat.
“Reformasi Polri tidak boleh direduksi menjadi isu politis sesaat. Ini adalah agenda berkelanjutan untuk meningkatkan profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas Polri dalam melayani dan mengayomi masyarakat,” kata Robbi.
Dia menambahkan keberhasilan Reformasi Polri justru akan memperkuat supremasi sipil dalam kerangka demokrasi, menjaga stabilitas politik nasional serta meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Oleh karena itu, dia menilai perdebatan publik seharusnya diarahkan pada penguatan mekanisme kontrol dan akuntabilitas, bukan pada pelabelan ekstrem yang tidak berdasar.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari




