Kelabunya Cinta: Menyibak Rahasia Ilmiah di Balik Hubungan yang Bertahan Lama

kumparan.com
3 jam lalu
Cover Berita

Pernahkah anda merasa hubungan seperti roller coaster? Apakah barangkali anda merasa selalu bahagia, atau malah terjun bebas pada suatu konflik yang seolah tidak terselesikan? adang di puncak bahagia, kadang terjun bebas dalam konflik? Atau mungkin anda bertanya-tanya, “Apa rahasia pasangan di luar sana yang tetap solid bertahun-tahun?” Jawabannya ternyata tidak melulu tentang “jodoh” atau “keberuntungan”, apa lagi zodiak dan ramalan.

Sains justru punya banyak pembahasan soal cinta itu. Mungkin bukan tentang cinta secara ilmiah, tetapi tentang “relasi” kita dengan manusia lainnya. Dalam beberapa dekade terakhir, para peneliti telah memetakan prinsip-prinsip penting yang membuat sebuah hubungan tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang. Mari kita telusuri bersama, dengan bahasa yang mudah dicerna.

Konsep Teori Pemeliharaan Hubungan (Relational Maintenance Theory) adalah kuncinya. Pemikiran ini dicetuskan oleh Daniel Canary san Laura Stafford pada tahun 1990 melalui bukunya melalui bukunya yang berjudul “Maintaining Relationship Through Communication”. Kemudian dari sini, muncul banyak pemikiran lain yang membahas bagaimana caranya agar hubungan ini bisa bertahan lebih lama dan berkualitas.

Pikirkan hubungan seperti taman yang indah. Ia tidak akan indah dengan sendirinya; butuh penyiraman, pemupukan, dan perawatan rutin. Demikian juga hubungan, butuh strategi dan tindakan aktif dari kedua belah pihak untuk menjaga kehangatan, stabilitas, dan kepuasan.

Permasalahannya, antara pria dan wanita sering kali punya “pedoman” perawatan yang sedikit berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa wanita cenderung lebih memprioritaskan perasaan emosional yang terhubung dan obrolan mendalam sebagai bentuk perawatan. Sedangkan pria mungkin lebih sering menunjukkan kasih sayang melalui solusi praktis dan aktivitas bersama.

Perbedaan ini bukan kelemahan, melainkan keragaman gaya cinta. Kuncinya terletak pada sikap saling mengenali dan mengapresiasi gaya pasangan anda, lalu mencari titik temu. Dengan memahami teori ini, kita menyadari bahwa cinta yang langgeng adalah pilihan dan usaha, bukan hanya perasaan pasif.

Komunikasi yang Jelas Adalah Senjata Utama

Jika hubungan adalah taman, maka komunikasi adalah saluran airnya. Tanpanya, segalanya layu, kering, kemudian mati. Nah, komunikasi efektif terdiri dari dua jalur, yakni verbal (kata-kata) dan non-verbal (bahasa tubuh).

Dalam berdialog satu sama lain, anda harus mengerti seni bertutur dan mendengar. Alih-alih menuduh, mengapa kita tidak menggunakan “Pernyataan Aku”?

Katakanlah kasusnya pasangan terlambat dalam sebuah janji. Kemudian situasi setelahnya jadi canggung akibat rencana yang berubah. anda bisa mengutarakan perasaan dengan cara menyebutkan apa yang sebenarnya anda ekspektasikan. Daripada berdebat dan menuduh “Kamu terlambat lagi, kenapa sih?” akan lebih baik jika diucapkan “Aku merasa khawatir jika kamu telat dan tidak berkabar.”

Jika sudah selesai mengutarakan pendapat, usahakan menjadi pendengar yang aktif juga. Hindari menyela dan upayakan untuk fokus pada apa yang sedang dibicarakan oleh pasangan anda. Mengulangi perkataan pasangan dengan bahasa sendiri juga akan memvalidasi bahwa anda memahami apa yang sebenarnya dilihat dari perspektif pasangan anda.

Waspadai “Bahasa Diam” yang Keras

Setelah mendengarkan, tentu pembicaraan tidak selesai di situ bukan? Responi dengan apa yang anda pikirkan sebagai solusi yang baik kemudian minta pendapat dari perspektif pasangan anda. Sebuah jalan keluar harus ada meski tidak selalu bisa ditemukan saat itu juga.

Selain itu, senyuman, pelukan, atau tatapan penuh perhatian bisa lebih bermakna dari seribu kata. Sebaliknya, tangan yang terlipat, tatapan menghindar, atau ekspresi dingin bisa mengirimkan sinyal penolakan, meski mulut berkata “tidak apa-apa”. Kita perlu memikirkan bagaimana sikap kita saat berbicara dan mendengarkan lawan bicara demi mendapatkan hasil yang diharapkan. Seperti yang diteliti oleh Nofali & Gasim (2024), kesadaran akan strategi komunikasi non-verbal ini penting untuk interaksi pasangan yang sehat.

Inti yang harus kita pahami, komunikasi bukan tentang siapa yang menang, tapi tentang memahami dan dipahami. Dengan jembatan komunikasi yang kuat, kita lebih siap menghadapi badai konflik yang pasti datang.

Ubah Konflik Jadi Bahan Perekat

Konflik itu wajar dan sehat. Masalahnya bukan pada konfliknya, tapi pada cara kita mengelolanya. Ada beberapa teknik yang terbukti efektif. Contohnya, jadwalkan “Rapat” konflik. Sebuah pembicaraan mendalam yang membahas permasalahan yang sedang terjadi di antara kalian berdua. Jangan selesaikan masalah saat emosi memuncak. Katakan, “Aku mau bahas ini, tapi kita tenang dulu ya. Bagaimana kalau nanti malam kita bicara?”

Sekali lagi, pendekatan gender bisa muncul. Seperti diungkapkan Jason (2023), wanita mungkin lebih menekankan kolaborasi dan komunikasi untuk menyelesaikan konflik, sementara pria cenderung ke solusi langsung dan tegas. Ini adalah duet, bukan duel. Gabungkan kekuatan kedua gaya tersebut, lalu bicarakan perasaan (gaya kolaboratif) dan tentukan langkah konkret untuk perbaikan hubungannya (gaya solutif).

Membangun Rumah bagi Hati dengan Dukungan & Keintiman

Setelah konflik reda, yang dibutuhkan adalah ruang aman secara emosional. Dukungan emosional adalah kemampuan untuk membuat pasangan merasa didengar, dipahami, dan dihargai, bukan selalu diberi solusi. Terkadang, yang dibutuhkan hanyalah pelukan dan ucapan, “Pasti berat ya hari ini, aku di sini untukmu.”

Dari dukungan inilah keintiman tumbuh. Keintiman bukan hanya soal jarak fisik, tapi lebih pada kedalaman keterhubungan emosional—berbagi cerita, ketakutan, mimpi, dan tawa. Penelitian Kapadia dkk(2020) menunjukkan, ketika kebutuhan dukungan emosional terpenuhi, kualitas hubungan meningkat pesat.

Dua pilar utama yang membuat rumah hubungan tidak roboh adalah kepercayaan dan komitmen. Kepercayaan ini dibangun dari konsistensi. Ia adalah keyakinan bahwa pasangan anda reliable, jujur, dan punya niat baik. Dibangun dari hal kecil seperti menepati janji, bersikap terbuka, dan setia. Sementara itu, komitmen adalah pilihan aktif untuk mempertahankan dan berinvestasi pada hubungan di masa depan, meski ada tantangan. Ini adalah tekad bahwa “kita adalah satu tim.”

Kita juga harus memahami bahwa hubungan tidak hidup dalam gelembung. Keberlangsungannya dapat dipengaruhi lingkungan sekitar. Ketahui jika pertemanan, keluarga, bahkan budaya dan norma sangat bisa mempengaruhi hubungan yang sedang dijalin. Perlu ada metode khusus bagi masing-masing pasangan agar bisa menyortir permasalahan yang harus diperbaiki bersama atau secara pribadi. Kunci menghadapinya adalah menjadi “benteng” satu sama lain. Diskusikan tekanan dari luar sebagai tim, cari solusi bersama, dan tetapkan batasan yang sehat terhadap intervensi pihak ketiga.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Berapa Usia Ideal Anak Diperbolehkan Main Padel? Ini Penjelasannya
• 22 jam lalugrid.id
thumb
Satu Jam Pintu Kantor Wali Kota Tangerang Selatan Ditutup Sampah
• 1 jam lalukompas.id
thumb
Insentif Guru Honorer Naik Jadi Rp400 Ribu per Bulan, Saleh Daulay: Tenaga Administratif Jangan Dilupakan
• 3 jam lalusuarasurabaya.net
thumb
Banggar Soal Pembayaran Tunai Ditolak: Rupiah Alat Tukar Sah, Bisa Dipidana Kalau Menolak
• 18 jam lalurepublika.co.id
thumb
Pilu 9 WNI Diperdaya Jadi Scammer di Kamboja: 1 Orang Hamil 6 Bulan, Disiksa
• 18 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.