Perkuat Industri Film, Beri Ruang Komunitas Bertumbuh

kompas.id
4 jam lalu
Cover Berita

Industri perfilman Indonesia tengah berkembang pesat. Jumlah penonton film nasional diproyeksikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2024, jumlah penonton film lokal telah mencapai 82 juta orang. Angka ini diperkirakan menembus 100 juta orang pada 2026, dengan estimasi pertumbuhan sekitar 10 persen per tahun, sebagaimana tercantum dalam Laporan Industri Film oleh Analytics Jogja–NETPAC Asian Film Festival (JAFF) Market bekerja sama dengan Cinepoint.

Meski potensinya besar, tingkat konsumsi film masih relatif rendah. Rata-rata frekuensi menonton film di bioskop hanya sekitar 0,45 kali per orang per tahun. Angka ini termasuk yang terendah secara global dan mencerminkan belum optimalnya pemanfaatan potensi pasar domestik.

Dari sisi infrastruktur, ketersediaan layar bioskop juga masih terbatas. Indonesia hanya memiliki sekitar 7,7 layar per satu juta penduduk, dengan mayoritas terkonsentrasi di Pulau Jawa. Kondisi ini menegaskan masih lebarnya ketimpangan distribusi bioskop antara Jawa dan wilayah lain di Indonesia.

Baca JugaJumlah Layar Bioskop di Indonesia Kurang dan Tidak Merata

Masih dalam laporan yang sama, kegiatan menonton film di bioskop Indonesia merupakan hak istimewa atau privilege bagi kelas menengah ke atas. Sebab, para penonton Indonesia harus merogoh kocek per tiket hingga enam kali lebih tinggi dibandingkan dengan penonton di Singapura dan Amerika Utara. Hal ini mengindikasikan kebutuhan model tontonan yang lebih beragam dan mudah diakses.

”Industri film Indonesia telah berkembang cepat, tetapi memahami di mana pertumbuhan itu terjadi sering kali terasa belum lengkap,” ujar Head of Data and Analytics Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) Market Gundy Cahyadi dalam laman JAFF Market.

Guna menjawab persoalan ini, pemerintah melalui Kementerian Ekonomi Kreatif (Ekraf) tengah berencana dengan Badan Pengelola Investasi Danantara untuk memperluas cakupan bioskop di Indonesia, khususnya di daerah-daerah. Hal ini dilakukan sesuai arahan dan perintah Presiden Prabowo Subianto.

”Ini harus menarik investor lokal dari kabupaten/kota untuk masuk ke bisnis ini. Jadi sebuah bisnis bioskop bagaimana ini tidak hanya menyalurkan hasil karya-karya film nasional yang saat ini juga terbatas, bisa tampil di layar-layar nasional karena rasionya juga masih sangat rendah,” tutur Menteri Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya dalam jumpa pers akhir tahun 2025 di Jakarta, Senin (22/12/2025).

Baca JugaTanpa Skema Kuat, Kredit Rp 10 Triliun untuk Industri Ekraf Bisa Tidak Merata 

Harapannya, skema bisnis bioskop yang sedang dibahas ini akan menampung hasil karya para sineas Indonesia pula untuk tampil. Pembahasannya juga mencakup strategi agar bisnis berjalan berkelanjutan.

”Karena, kan, kita ingin bisnis ini jangan jadi bisnis yang habis 1-2 tahun, terus gulung tikar. Nah ini yang masih disusun, kami lagi menunggu juga dari Danantara,” kata Teuku.

Ketika ditanya target realisasi rencana ini, Teuku menjawab, rencana ini bisa dieksekusi pada pertengahan atau akhir 2026. Sebab, pemerintah perlu memastikan agar bisnis ini menarik dan menguntungkan.

”Tidak kalah penting adalah hasil karya sineas Indonesia yang saat ini banyak dikeluhkan karena sulit masuk ke layar bioskop jaringan yang sudah ada. Ini bisa menjadi alternatif mereka. Hasil karyanya juga bisa ditampilkan dan dijual melalui bioskop-bioskop daerah,” tutur Teuku.

Ruang berbasis komunitas

Program untuk memperluas jangkauan layar film di Indonesia memang telah lama dinanti. Sebab, jangkauan layar yang luas dapat membangun pasar film majemuk, alih-alih tunggal seperti yang terjadi selama ini.

Dalam laporan Indonesia’s Cinema: From Resilience to Regional Powerhouse yang dirilis JAFF Market & Cinepoint, produser harus bernegosiasi langsung dengan pihak jejaring film dominan di Indonesia. Upaya ini dilakukan untuk mengamankan layar, tak hanya menahan risiko dan biaya penuh produksi serta tontonan, tetapi juga promosi dan duplikasi.

”Model secara langsung ini tumbuh karena adanya struktur terkonsolidasi dari sektor tontonan. Tiga operator terbesar (Cinema XXI, CGV, dan Cinepolis) mengontrol sekitar 80 persen film dan 87 persen dari total layar, meninggalkan sedikit ruang bagi para pemain independen kecil,” demikian tertulis dalam laporan tersebut.

Dengan perluasan layar bioskop, para produser dengan skala garapan lebih kecil akan memiliki ruang untuk bertumbuh. Hal ini dikemukakan pula oleh peneliti budaya populer dan produser film Hikmat Darmawan yang berpendapat, bintang-bintang lokal akan lebih mudah untuk bersinar karena memiliki wadah. Bisnis dan industri perfilman serta bioskop juga jauh lebih sehat.

”Dengan pasar majemuk, model disesuaikan lokal. Potential market itu akan memperbesar cakupan industrinya, memperluas revenue stream dan lapangan kerja. Kalau di daerah, ada pajak tontonan, bisa jadi pemasukan sehingga enggak melulu dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,” ujarnya.

Selama ini, pasar tunggal perfilman terjadi karena persebaran bioskop ditentukan kemajuan suatu kota serta tolok ukur pusat perbelanjaan atau mal. Ketika hanya terpusat di mal tertentu, maka rata-rata kelas ekonomi A dan B yang mendominasi. Hasilnya, minim keragaman di situ.

Baca JugaPasar Majemuk Jadi Penyelamat Industri Perfilman Dalam Negeri

Banyak orang ingin menonton film, tetapi tidak tersedia aksesnya. Padahal, sangat penting ketika jumlah layar bertambah, termasuk membangun skema per daerah sesuai karakteristik masing-masing. Jakarta, misalnya, berbeda dengan Bandar Lampung, begitu pula Balikpapan (Kalimantan Timur) dengan Batam (Kepulauan Riau). Wadah perfilman ini dapat dihubungkan dengan budaya lokal masing-masing.

”Itu krusial banget membangun pasar majemuk dengan menciptakan infrastruktur distribusi dan ekshibisi yang memenuhi standar lokal, spesifiknya pada tier 2-3,” kata Hikmat.

Aspek yang harus ada dan dijamin ketika merencanakan perkembangan layar di daerah, pemerintah perlu memiliki peta perfilman yang ada. Kemudian, konteks kelokalan perlu dikerahkan bersama komunitas dan bintang lokal. Itu artinya, pemerintah harus didorong bekerja sama dengan investor, serta komunitas lokal yang memahami pasar di daerah.

Komunitas akan menjadi basis model pengembangan ini. Skema dan model bisa direplika, tentu bekerja sama dengan pemilik lahan lokal. Standar perlu disusun. Harapannya, ada waralaba atau franchise yang bisa disebarkan dari satu daerah ke daerah lain. Dari situlah audiens terbangun, begitu pula dengan acara bersama komunitas. Budaya menonton pun terbangun.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
ASDP: Kuota Tiket Penyeberangan Pasca-Natal Masih 4 Persen
• 4 jam lalurealita.co
thumb
Kapolri Ziarah ke Makam Marsinah di Nganjuk, Resmikan Groundbreaking Museum Buruh
• 4 jam lalurctiplus.com
thumb
Investasi Semakin Mudah, BRI Hadirkan Fitur Reksa Dana di Super Apps BRImo
• 8 jam lalufajar.co.id
thumb
Aceh dan Seni Bertahan Hidup
• 15 jam lalukatadata.co.id
thumb
Pemerintah Uji Konsep Work From Mall, Pusat Belanja Disiapkan Jadi Ruang Kerja
• 13 jam lalukompas.tv
Berhasil disimpan.