Kita hidup di masyarakat yang gemar menyebut dirinya ramah. Senyum mudah dibagi, sapaan terdengar hangat, dan kata “tidak apa-apa” kerap diucapkan meski hati sedang keberatan. Namun, di balik semua itu, muncul pertanyaan yang jarang kita ajukan secara jujur: apakah kita benar-benar sopan, atau hanya pandai berpura-pura?
Sejak kecil, sopan santun diajarkan sebagai standar moral. Ia dianggap tanda kedewasaan dan kecerdasan sosial. Bersikap halus, menahan emosi, dan menjaga perasaan orang lain sering dipuji sebagai kebajikan. Dalam batas tertentu, nilai ini memang penting. Tanpa sopan santun, relasi sosial mudah retak oleh ego dan emosi yang tak terkendali.
Masalahnya, sopan santun kerap bergeser menjadi tuntutan sosial. Kita dipaksa ramah pada orang yang meremehkan kita, tertawa demi menjaga suasana, atau diam agar tidak dianggap “bermasalah”. Di titik ini, sopan santun tidak lagi berfungsi sebagai etika, melainkan sebagai topeng. Kita menyesuaikan diri bukan karena hormat, tetapi karena takut dikucilkan.
Kepura-puraan sosial semacam ini sering dilegalkan dengan dalih profesionalisme atau kedewasaan. Padahal, dampaknya tidak sepele. Menekan perasaan secara terus-menerus menciptakan jarak antara apa yang kita rasakan dan apa yang kita tampilkan. Lama-kelamaan, kelelahan emosional menjadi hal yang wajar, bahkan dianggap harga yang harus dibayar demi diterima.
Media sosial mempertebal fenomena ini. Semua orang dituntut terlihat baik, santun, dan positif setiap saat. Kritik dianggap kebencian, ketidaksetujuan dianggap drama. Akhirnya, banyak orang memilih aman: bersikap manis di permukaan, menyimpan keresahan sendirian. Ruang diskusi berubah menjadi panggung pencitraan.
Namun, kejujuran bukan musuh sopan santun. Yang bermasalah bukan kejujuran itu sendiri, melainkan cara menyampaikannya. Kejujuran tanpa empati memang menyakitkan, tetapi sopan santun tanpa kejujuran hanya melahirkan relasi palsu. Keduanya tidak seharusnya dipertentangkan, melainkan diseimbangkan.
Sopan santun yang sehat lahir dari kesadaran, bukan kepura-puraan. Ia memberi ruang untuk berkata tidak setuju tanpa harus merendahkan, untuk jujur tanpa harus melukai. Dalam masyarakat yang matang, perbedaan pendapat tidak dianggap ancaman, melainkan tanda hidupnya dialog.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti bertanya, “Apakah aku cukup sopan?” dan mulai bertanya, “Apakah aku masih jujur pada diriku sendiri?” Karena sopan santun sejati tidak pernah meminta kita kehilangan kejujuran—ia justru menjaganya agar tetap manusiawi.




