Jakarta: Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda wilayah Aceh tidak hanya menyisakan kerusakan infrastruktur, tetapi juga meninggalkan luka psikologis yang mendalam bagi anak-anak. Menanggapi kondisi darurat ini, Yayasan Sukma bergerak cepat mengirimkan ratusan tenaga pendidik untuk memberikan pendampingan psikososial secara langsung.
Pendekatakan psikososial yang dimaksud ialah mengajak anak-anak pengungsi melakukan berbagai aktivitas kreatif. Mulai dari bernyanyi, menari, hingga belajar tahsin. Suasana kegembiraan ini diharapkan dapat menghilangkan kenangan buruk mereka akan bencana.
"Yang paling utama memperkenalkan lagi bagaimana ingatan-ingatan mereka ketika di sekolah itu, yang ingin kita bangkitkan dari suasana anak-anak itu adalah kegembiraan," ujar Direktur Eksekutif Yayasan Sukma, Ahmad Baidowi, dalam program Selamat Pagi Indonesia Metro TV, Sabtu, 27 Desember 2025.
Proses pendampingan psikososial dilakukan di sekolah-sekolah milik Yayasan Sukma yang tersebar di tiga kabupaten Aceh, yakni Bireuen, Pidie, dan Lhokseumawe. Mereka juga menjemput anak-anak untuk ditempatkan sementara di sekolah tersebut.
Baca Juga :
Satgas Gulbencal Percepat Pembangunan Huntara di Pidie Jaya"Kita menjemput anak-anak itu hanya ingin memastikan mereka sedikit terobati perasaan stresnya," kata Ahamad. Pendidikan tetap jalan Selain memberikan pendampingan psikosial, pihaknya juga tetap memberikan pendidikan kepada anak-anak lantaran banyak bangunan sekolah yang rusak. Ahmad menegaskan pendidikan adalah hak dasar anak. Dalam situasi darurat pun pendidikan harus tetap diberikan kepada anak-anak.
"Buat kami, pendidikan itu adalah hak dasar. Dia harus direspons cepat, sama seperti kita merespons kebutuhan perut. Kira-kira begitu," katanya.
Yayasan Sukma sudah menginstruksikan 230 guru yang ada di ketiga kabupaten tersebut untuk tetap memberikan pendidikan kepada anak-anak meskipun dalam suasana libur Natal dan Tahun Baru (Nataru). Langkah ini diambil guna memastikan anak-anak korban bencana tetap mendapatkan hak pendidikan dan pendampingan mental.
"Kami memutuskan sekolah tidak akan libur, terutama guru-guru di tiga lokasi itu. Dengan sangat antusias dan senang hati, mereka setiap hari menjemput anak-anak dari 12 titik pengungsian," kata Ahmad.

