Rentetan banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan lagi dapat disebut sebagai bencana alam semata. Ia adalah bencana hibrida—perjumpaan antara kekuatan alam dan kesembronoan serta keserakahan manusia. Dari pemberian izin investasi bersimbah kolusi, pembalakan hutan secara brutal, alih fungsi lahan atas nama pertumbuhan ekonomi, tata ruang yang diabaikan, hingga pembiaran pada tingkat kelembagaan yang sangat panjang.
Celios (Center of Economics and Law Studies) adalah salah satu lembaga yang menaksir kerugian ekonomi mencapai Rp 68,67 triliun memperkirakan kerugian ekonomi akibat bencana tersebut mencapai puluhan triliun rupiah, mencakup kerusakan rumah, jembatan, jalan, lahan pertanian, hingga hilangnya pendapatan keluarga. Angka itu hanya memotret sisi material. Yang tidak terhitung adalah runtuhnya kepercayaan publik kepada negara.
Selama sebulan penuh, alih-alih merasakan kehadiran negara, selama berminggu-minggu yang muncul justru kegaduhan pernyataan para pejabat: saling klarifikasi, saling menyelamatkan diri, bahkan memproduksi istilah-istilah yang terdengar lebih sebagai defensive narrative ketimbang empati. Bahkan, Presiden merasa perlu untuk meneduhkan kegaduhan yang tidak perlu, meski kadang ada beberapa peristilahan yang mungkin disiapkan para penulis pernyataan beliau yang justru menjadi bagian yang memperkuatnya.
Ada saran, agar para Pejabat Pemerintah sebaiknya “berhenti berbicara” kepada rakyat, “mulailah berkomunikasi” kepada rakyat. Apa bedanya? Yang pertama, menyampaikan apa yang ada di kepalanya saja, apa yang terpikirkan, bahkan sekadar terlintas, di kepalanya; apa yang diinginkannya saja, apa yg ingin dipikir dan dipatuhi rakyat.
Mereka cenderung hadir sekadar sebagai pejabat, karena lobi dan kekuatannya diangkat, dilantik, dan terbiasa melakukan semata-mata apa yg dipikirkan, kemudian saat pikirannya masih tergagap-gagap, langsung berbicara. Yang ke dua, menyampaikan apa yang ada di kepala dan di hati; ada empati yang mendalam dan sejati, orisinal, tidak dibuat-buat, kesadaran situasional, dan kepekaan moral. Ia berbicara bukan sebagai pemilik jabatan, tetapi sebagai pelayan publik.
Komunikasi semacam ini menuntut sesuatu yang lebih mendasar: pribadi profesional. Dan, rasanya inilah pondasi yang hilang. Bahkan, menjadi yang tidak senantiasa mudah, karena untuk itu diperlukan Pejabat Pemerintah yang profesional, dan definisinya tidak cukup dengan definisi di "berAHLAK", akronim budaya birokrasi yang dipaksakan itu.
Pribadi profesional tidak cukup didefinisikan oleh slogan birokrasi atau akronim etika. Profesional adalah Cerdas (smart), Cerdik (ingenuity), Terampil (skillful), Berintegritas—tidak melakukan apa yang ia tahu salah, seperti prinsip (Hippocrates (±460–370 SM) primum non nocere. Dalam istilah Laurence J. Peter, mereka adalah the competent, bahkan the super-competent.
Masalah muncul ketika organisasi negara justru dipenuhi oleh the incompetent, atau oleh the competent yang dipromosikan melampaui batas kompetensinya—sebuah gejala klasik Peter Principle (1969). Dan, satu ciri: mereka adalah tipe yang bertanggung-jawab, bukan tanggung-menjawab, apalagi menjawab secara tanggung-tanggung.
Krisis KepemimpinanPejabat pemerintah sejatinya adalah profesional yang diberi mandat politik secara sah. Ia bukan sekadar petugas partai yang kebetulan menduduki jabatan pemerintahan, menjadi pejabat publik, baik di eksekutif maupun legislatif. Ketika pejabat publik lebih merasa sebagai representasi partai daripada pelayan negara, yang terjadi adalah reduksi kepemimpinan menjadi loyalitas politik. Pemerintahan pun kehilangan manager of the public organization dan hanya menyisakan operator of power yang penuh ego. Pejabat pemerintah adalah mereka yang menyelenggarakan pemerintahan menjadi organisasi yang well-managed, dan bukan sekadar well-directed/instructed.
Meningkat, untuk menjadi negara yang hebat dan menang, di antara para Pejabat Pemerintah, adalah para Pemimpin Negara, mereka yang ada di puncak pemerintahan. Negara seperti itu memerlukan lebih dari pejabat pemerintah, melainkan the statesman—the real state’s leaders. Pemimpin Negara adalah mereka yang mampu memanajemeni organisasi bernama Republik Indonesia. Mereka adalah the Statesmen.
Dan puncaknya adalah Bapak Bangsa—pemimpin yang “memberikan dirinya bagi bangsanya, bahkan setelah ia tidak lagi menjabat.” Bapak Bangsa bukan produk masa jabatan, melainkan produk keteladanan. Sulit menunjuk contoh sempurna di Indonesia modern. Bahkan Soekarno dan Soeharto—dengan seluruh jasa historisnya—meninggalkan jejak yang problematik dalam jangka panjang, terlebih setelahnya. Kita kian kehilangan figur yang hadir sebagai pendamping bangsa, kadang yang ada malah beban bangsa.
Sepertinya, “penyakit” kita adalah hadirnya profesional semu, khususnya pada kriteria si bertanggung-jawab. Alhasil, keluarannya seperti satir wartawan senior
Parakitri Tahi Simbolon dalam Menjadi Indonesia (2006) bahwa Indonesia “tidak pernah berpeluang mengembangkan tradisi pemerintahan yang bertanggung jawab, karena sejak awal rakyat hanya diajar melihat kekuasaan sebagai alat penindasan, bukan amanat politik.” (hlm. 294).
Nampaknya, inilah akar dari kegaduhan hari ini, kita lebih piawai memproduksi drama ketimbang kinerja, lebih sibuk mencipta narasi, termasuk dan terutama melalui media sosial, ketimbang prestasi sejati—performativity menggantikan performance. David M. Cohen menyebutnya sebagai the Amateur Government (1998), meski saya memilih istilah government by amateur.
Jalan Masih PanjangUntuk menjadi bangsa yang berhasil dan dihormati, Indonesia membutuhkan rantai kepemimpinan yang utuh, dimulai dari Pribadi Profesional, menjadi Pemimpin Pemerintahan, kemudian puncaknya menjadi Pemimpin Negara, dan pada masa akhir menjadi Bapak Bangsa (“Bapak” bermakna laki-laki dan perempuan, dan “Bapak” tidak serta merta berkenaan dengan paternalisme, apalagi feodalisme).
Mungkin, yang kita miliki hari ini, kebanyakan adalah para petualang kekuasaan—dikemas dengan fantasi, tampil di hadapan rakyat yang kesulitan, menjadi kritis karena justru dicurigai ketika bersuara. Jauh di relung hati, adalah rakyat yang tergerus kepercayaannya, dan hadir di tengah kesendirian.
Maka, jika kita hendak mawas diri, kita perlu menyadari bencana yang kita alami bukan hanya banjir dan longsor yang hadir sebagai bencana hibrida. Ini adalah bencana kepemimpinan. Dan, ini adalah sinyal keras, agar setiap pemimpin Indonesia perlu belajar, dan belajar lagi. Melecut diri dengan keras, sembari menundukkan diri dalam-dalam ke arah bawah.


