Kedaulatan Rakyat Terancam, Pakar Kritik Keras Pilkada via DPRD!

jpnn.com
2 jam lalu
Cover Berita

jabar.jpnn.com, BOGOR - Wacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali menuai kritik.

Pakar Manajemen Publik Universitas Ibn Khaldun Bogor, Nandang Sutisna, menilai skema tersebut berpotensi melemahkan demokrasi lokal dan membuka ruang politik transaksional.

BACA JUGA: Puncak Bogor Masuk 3 Besar Destinasi Favorit Wisatawan di Libur Nataru Tahun Ini

“Jika kepala daerah tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, maka kedaulatan rakyat dipindahkan ke tangan elite politik. Ini jelas merupakan kemunduran demokrasi,” ujar Nandang, Senin (29/12/2025).

Menurut Nandang, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa Pilkada melalui DPRD sangat rentan terhadap praktik jual beli suara dan kompromi politik tertutup.

BACA JUGA: 5 Daerah di Jabar yang Jadi Primadona Kunjungan Wisatawan di Libur Nataru, Bogor Urutan Kedua

Proses pemilihan yang berlangsung di ruang elite dinilai jauh dari pengawasan publik sehingga memperbesar potensi terjadinya transaksi politik.

“Transaksi politik justru akan lebih masif karena tidak transparan,” katanya.

BACA JUGA: Libur Akhir Tahun Picu Kepadatan, 2 Ribu Kendaraan per Jam Masuk Puncak Bogor

Ia juga menyoroti dampak lanjutan terhadap tata kelola pemerintahan daerah. Kepala daerah yang terpilih melalui DPRD, lanjut Nandang, cenderung memiliki ketergantungan politik kepada fraksi atau kelompok tertentu yang memilihnya.

Kondisi ini berisiko membuat kebijakan publik lebih melayani kepentingan elite dibandingkan kebutuhan masyarakat luas.

“Akibatnya, kebijakan publik berpotensi tidak berpihak pada kepentingan rakyat,” ujarnya.

Selain itu, mekanisme tersebut dinilai dapat melemahkan fungsi pengawasan DPRD.

Relasi politik yang telah terbangun sejak proses pemilihan berpotensi menurunkan objektivitas DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan dan penyeimbang (check and balance).

“Sulit berharap pengawasan berjalan efektif jika sejak awal terdapat utang politik,” tegasnya.

Nandang juga menilai Pilkada melalui DPRD berpotensi menghambat lahirnya pemimpin-pemimpin lokal unggul.

Menurutnya, banyak kepala daerah berkualitas justru lahir dari kompetisi terbuka yang diuji langsung oleh rakyat.

“Pemimpin lokal unggul lahir karena dukungan publik, bukan hasil kompromi elite,” katanya.

Ia menambahkan, kepala daerah yang dipilih oleh DPRD belum tentu merepresentasikan aspirasi masyarakat secara luas.

“Mereka lebih merepresentasikan kepentingan partai atau kelompok politik tertentu, bukan kehendak rakyat,” ujarnya.

Lebih jauh, Nandang menyoroti tertutupnya ruang bagi figur alternatif di luar lingkaran kekuasaan. Skema pemilihan oleh DPRD dinilai hanya membuka peluang bagi calon yang dekat dengan struktur partai dan elite politik.

“Regenerasi kepemimpinan lokal menjadi sempit dan inovasi kepemimpinan bisa mati,” katanya.

Menurut Nandang, kondisi tersebut juga berpotensi mempermudah penguasa pusat dalam mengendalikan kepala daerah untuk kepentingan elektoral nasional, terutama menjelang pemilihan presiden.

“Kepala daerah akan lebih mudah diarahkan karena legitimasi politiknya tidak bersumber langsung dari rakyat,” ujarnya.

Ia mengajak publik untuk belajar dari pengalaman Pilkada serentak sebelumnya, termasuk munculnya fenomena kotak kosong di sejumlah daerah.

Menurutnya, praktik tersebut telah melukai demokrasi lokal karena menghilangkan pilihan rakyat demi konsolidasi kepentingan politik tertentu.

“Kotak kosong adalah simbol matinya demokrasi lokal demi kepentingan elektoral pusat,” tegasnya.

Nandang juga mengingatkan risiko menguatnya oligarki dan dinasti politik di daerah apabila Pilkada dikembalikan ke DPRD.

“Hal ini berpotensi melanggengkan kekuasaan elite dan menghambat lahirnya pemimpin baru dari bawah,” katanya.

Ia menegaskan bahwa alasan efisiensi anggaran tidak dapat dijadikan pembenaran atas perubahan mekanisme Pilkada tersebut.

“Penghematan biaya tidak sebanding dengan kerusakan demokrasi, menurunnya partisipasi publik, serta hilangnya kepercayaan rakyat,” ujarnya.

Menurut Nandang, solusi yang lebih tepat adalah memperbaiki kualitas Pilkada langsung melalui penguatan regulasi, pengawasan, dan penegakan hukum.

“Hak memilih harus tetap berada di tangan rakyat agar demokrasi lokal tetap hidup dan mampu melahirkan pemimpin daerah yang berkualitas,” pungkasnya. (mar7/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yogi Faisal (mar7)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Update Perburuan Riza Chalid, Menteri Imipas Beri Bocoran Masih di Malaysia
• 8 jam laluliputan6.com
thumb
Pratikno Imbau Warga Rayakan Tahun Baru 2026 dengan Galang Dana Korban Bencana
• 9 jam lalukumparan.com
thumb
Natal WNI di Jepang doakan korban bencana Sumatera
• 3 jam laluantaranews.com
thumb
Polda Sumsel Larang Petasan untuk Keamanan Malam Tahun Baru
• 8 jam lalukumparan.com
thumb
Menyoal Langkah KPK Hentikan Perkara Izin Tambang Nikel Konawe Utara
• 15 jam lalukompas.com
Berhasil disimpan.